Ilmu Nahwu - Al-Mabadi' Al-'Asyrah (13)


Bismillahirrahmanirrahim

ILMU NAHWU 

Definisi. Dua definisi berikut saling menjelaskan:
·         Menurut al-Qannuji, “Ilmu yang mengkaji tentang keadaan pola-pola kalimat yang disusun secara sengaja menurut jenisnya masing-masing, dimana setiap pola mempunyai satu makna tersendiri tergantung kepada maksud pembentukannya tersebut.”
·         Menurut penulis Syarh al-Lubb, “Ilmu yang dengannya bisa diketahui tatacara penyusunan kalimat dalam bahasa Arab yang benar maupun salah, juga tatacara yang berkenaan dengan berbagai kosakata ketika berada dalam suatu pola kalimat.”
Ruang lingkup. Berikut diuraikan obyek yang dikaji dalam ilmu ini, menurut berbagai pendapat, yaitu:
·         Murakkabat (pola-pola kalimat atau susunan kata-kata), mufradaat (kata-kata secara mandiri) ketika berada dalam suatu pola kalimat, dan adawaat (berbagai perangkat kalimat) yang berfungsi untuk merangkaikan kata-kata; atau
·         Lafazh yang dibuat secara sengaja, baik dalam kondisi tersusun maupun sendirian. Maksudnya, ilmu ini mengkaji kosakata yang secara sengaja diletakkan dalam suatu pola tertentu ditinjau dari kondisinya ketika berada dalam susunan tersebut, serta bagaimana ia dapat mengungkapkan makna yang diinginkan.
·         Al-kalimah (kata) dan al-kalam (susunan kalimat).
·         Pola kalimat yang dibuat dengan isnad (sandaran) asli.
Manfaat. Tujuan ilmu ini adalah menghindari kesalahan dalam menerapkan pola-pola kalimat berbahasa Arab ketika ingin mengungkapkan suatu makna yang dikehendaki. Manfaatnya adalah memperoleh suatu malakah (ketrampilan) untuk menyampaikan pola-pola kalimat yang ditujukan untuk mengungkap makna tertentu, juga untuk memahami makna yang dikehendaki dari suatu pola kalimat secara tepat.
Keutamaan. Sebagai bagian dari ilmu alat, nahwu adalah perangkat untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah yang keduanya berbahasa Arab. Jika seseorang ingin memahami Al-Qur’an dan Sunnah dengan benar, maka nahwu adalah salah satu alat yang harus dimilikinya.
Menurut Haji Khalifah, penulis Kasyfu azh-Zhunun, ilmu ini adalah bagian dari ‘uluum lisani al-‘arab (ilmu-ilmu bahasa Arab) yang mencakup al-lughah, nahwu, bayan dan adab (sastra). Keempat ilmu ini merupakan piranti dasar bagi pengkaji ilmu-ilmu syari’ah, sebab sumber-sumber pengambilan hukumnya berbahasa Arab. Perbedaan dalam memahami dalil dan kekuatan argumen seseorang juga tergantung seberapa baik ia menguasai ilmu-ilmu diatas. Secara sekilas, dapat dikemukakan bahwa yang terpenting adalah nahwu, sebab dengan menguasai ilmu ini maka dasar tujuan yang melatari pemakaian suatu dalil menjadi gamblang. Tanpa nahwu seorang pengkaji ilmu syari’ah akan terpaku tidak mengerti harus berbuat apa terhadap deretan dalil-dalil yang ada di hadapannya. Bahkan, ia sangat berpeluang untuk salah ketika tidak menguasai nahwu dengan baik. Maka, sudah seharusnya ilmu ini didahulukan dibanding tiga yang lainnya.
Hubungan dengan ilmu lain. Semula, salah satu bagian nahwu adalah tashrif atau sharf, sebelum akhirnya berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri, walau tetap tidak terpisahkan dari induknya. Oleh karenanya, berbagai karya di bidang nahwu seringkali masih menyertakan bab tashrif di belakangnya, dan para ahli nahwu adalah sekaligus ahli tashrif.
Sejarah dan tokoh. Awalnya, kefasihan berbahasa Arab adalah ketrampilan yang diwariskan turun-temurun, tanpa kaidah yang ditetapkan secara ilmiah dan terinci. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dan bangsa Arab bertebaran ke berbagai penjuru, mereka pun bercampur dengan berbagai bangsa lainnya. Pada generasi berikutnya, kefasihan itu meluntur dan bahkan nyaris hilang. Para ulama’ pun merasa khawatir jika bahasa Arab rusak dan ditinggalkan, yang berakibat terkuncinya pintu untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya mereka merumuskan berbagai kaidah yang diambil dari tradisi percakapan sehari-hari, seperti fa’il itu harus dibaca rafa’ dan maf’ul harus dibaca nashab. Mereka juga melihat bahwa perubahan maksud suatu kata tergantung perubahan harakat-nya. Mereka menyebut perubahan-perubahan tersebut sebagai i’rab, sementara faktor-faktor yang mendorongnya disebut ‘amil. Kaidah-kaidah tersebut kemudian semakin berkembang dan berbagai karya ditulis untuk mengumpulkannya, sehingga tumbuh menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Tokoh pertama yang menulis di bidang ini adalah Abu al-Aswad Zhalim bin ‘Amr bin Sufyan ad-Du’ali al-Bashri (w. 69 H) dari Bani Kinanah. Konon hal itu diperintahkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib radhiya-llahu ‘anhu. Setelah itu tampil berturut-turut Maimun al-Aqran, ‘Anbasah bin Ma’dan al-Mahri, ‘Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhrami dan Abu ‘Amr bin al-‘Ala’, dimana masing-masing menambahkan ke dalam ilmu ini aspek-aspek yang belum disentuh pendahulunya. Demikianlah ilmu ini terus tumbuh sampai tampilnya Abu ‘Abdirrahman al-Khalil bin Ahmad al-Azdi al-Farahidi al-Bashri (wafat sesudah tahun 160-an hijriyah), di zaman kekhilafahan Harun ar-Rasyid. Pada masa ini kefasihan asli bangsa Arab sudah nyaris punah sehingga nahwu menjadi kebutuhan mutlak.
Setelah tahap seleksi dan penyempurnaan oleh al-Farahidi, tampillah muridnya yang paling cemerlang dalam bidang ini, yakni Abu Bisyr ‘Amr bin ‘Utsman bin Qunbur al-Bashri, atau lebih dikenal sebagai Sibawaih (w. 180 H atau 188 H). Karyanya yang diberi judul al-Kitab merupakan induk seluruh karya nahwu yang ditulis setelahnya, sehingga al-Mazini – salah seorang muridnya – berkata, “Siapa pun yang ingin menulis sebuah kitab besar di bidang nahwu setelah (adanya) kitab Sibawaih, maka hendaklah ia merasa malu.” Dan, setiap kali ada orang yang ingin membaca kitab tersebut di hadapan al-Mubarrad (Abu al-‘Abbas Muhammad bin Yazid al-Azdi al-Bashri) – ulama’ nahwu di Baghdad setelah Sibawaih – beliau selalu berkata, “Saya rela menyeberangi lautan karena menghormati beliau (Sibawaih), dan karena mengakui kehebatan isi kitab ini.”
Di belakang mereka ada Abu Ishaq az-Zajjaj (w. 311 H) dan Abu ‘Ali al-Farisi (w. 377 H) yang menulis karya-karya ringkas sebagai pegangan bagi para pelajar. Metodenya masih menganut metode Sibawaih. Setelahnya bermunculan karya-karya dengan berbagai ukuran, aliran dan metode pengajaran. Jumlahnya nyaris tak terhitung. Aliran-aliran klasik, modern, Kufah, Bashrah, Baghdad, maupun Andalusia berbeda satu sama lain. Diantara ulama’ nahwu yang paling menonjol pada masa lebih akhir adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah bin Malik ath-Tha’iy (w. 672 H), penyusun Alfiyah Ibnu Malik yang termasyhur; lalu Abu Muhammad ‘Abdullah bin Yusuf bin Ahmad al-Anshari (w. 761 H di Mesir), atau lebih dikenal sebagai Jamaluddin Ibnu Hisyam an-Nahwi, penulis kitab Mughni al-Labib.
Nama. Selain nahwu, disebut juga Ilmu I’rab. Konon, sebab penamaan dengan nahwu adalah agar dalam berbicara orang memperhatikan atau mengarahkan pandangannya kepada tradisi bangsa Arab, baik dalam i’rab maupun bina’-nya. Sebab, arti kata nahwu adalah “menuju”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa nama itu berasal dari kata-kata Imam ‘Ali radhiya-llahu ‘anhu, dimana setelah mendiktekan pokok-pokok kaidah bahasa Arab kepada Abu al-Aswad ad-Du’ali, beliau kemudian menyuruhnya membuat nahwu (contoh, misal, padanan) untuk masing-masing kaidah tersebut.
Sumber bahan kajian. Studi dalam disiplin ilmu ini berpangkal kepada berbagai premis (muqaddimah) yang diperoleh dari penelusuran yang cermat terhadap berbagai pola kalimat yang dipergunakan oleh bangsa Arab dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karenanya, dalam kitab-kitan nahwu sangat sering kita dapati syawahid atau bukti otentik dari suatu kaidah tertentu yang berasal dari syair-syair Arab klasik. Sebab, syair merupakan salah satu "bukti arkeologis" paling otoritatif dalam penelusuran akar kebahasaan mereka.
Hukum mempelajarinya. Mengkaji ilmu nahwu adalah fardhu kifayah, sebab diantara fungsinya adalah meraih kemampuan menarik dalil dari suatu nash Al-Qur’an dan Sunnah untuk masalah-masalah yang ada; dan menarik dalil adalah tugas para ulama’.
Masalah yang dikaji. Ilmu Nahwu membahas berbagai definisi atau batasan yang dijadikan dasar untuk mengupas masalah-masalah di dalamnya, seperti definisi tentang mubtada’ dan khabar, atau premis-premis yang mendasari penentuan suatu bentuk kaidah. Premis tersebut, misalnya mengapa fa’il (subyek, pelaku) harus dibaca rafa’? Argumen yang diberikan: sebab fa’il adalah pilar kalimat yang paling kuat dan dominan, sementara rafa’ sendiri merupakan harakat yang paling kuat.
Dari sinilah dibangun hukum-hukum yang ditetapkan terhadap masing-masing obyek kajiannya, misalnya “setiap kata itu bisa mu’rab (berubah-ubah akhirnya) dan bisa pula mabni (selalu tetap akhirnya)”; atau bagian dari obyek tersebut, misalnya “akhir kata adalah tempat bagi i’rab (perubahan keadaan akibat adanya faktor tertentu)”; atau bersifat partikular (juz’iyyah), seperti “suatu isim (kata benda) itu tidak bisa menerima tanwin dikarenakan dua sebab”; atau berisi paparan obyek kajiannya, seperti “khabar itu bisa berupa satu kata atau satu susunan kalimat”; atau kekhususan obyek kajiannya, seperti “idhafah (susunan kalimat majemuk) itu akan mendesak keberadaan tanwin, walau dengan perantara”; atau pendahuluan yang menjadi penyebab timbulnya hukum lain, misalnya “suatu perintah itu menjadi wajib jika ada fa’ di dalam kalimatnya”; perintah adalah bagian dari kalimat insya’, dan insya’ sendiri merupakan bagian dari kalam; dan lain sebagainya.
Literatur penting. Diantara rujukan penting di bidang ini adalah al-Jumal fi an-Nahwi karya al-Khalil bin Ahmad, al-Kitaab karya Sibawaih, al-Luma’ fi al-‘Arabiyyah karya Ibnu Jinniy, al-Kafiyah karya Ibnu al-Hajib yang sangat populer, Lubb al-I’rab karya Taajuddin al-Isfara’ini, al-Mishbah karya al-Mathrizi, al-‘Umdah dan Alfiyah karya Ibnu Malik, Alfiyah karya Jalaluddin as-Suyuthi, Asraru al-‘Arabiyyah karya Abu al-Barakat al-Anbari, dan Muushilu ath-Thullab ila Qawa’idi al-I’rab karya Khalid bin ‘Abdillah al-Azhari. Masih banyak lagi kitab lainnya yang jumlahnya tak terhitung. [*]