Arah tahap bimbingan dan tingkatan-tingkatan keyakinan


بسم الله الرحمن الرحيم
“PASAL KEDUA”
ARAH TAHAP BIMBINGAN DAN TINGKATAN-TINGKATAN KEYAKINAN
Dikutip dari: Ihya'u 'Ulumiddin I/94, Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali

Ketahuilah bahwa semua yang telah kami sebutkan dalam pemaparan tentang akidah seyogyanya diberikan kepada anak-anak sejak awal masa pertumbuhannya, yakni agar mereka menghafalkannya secara sempurna. Kemudian, sedikit demi sedikit maknanya akan tersingkap saat mereka telah beranjak dewasa. Awal mulanya adalah: (1) hafalan (hifzh), kemudian (2) pemahaman (fahm), kemudian (3) kepercayaan (i'tiqad), (4) keyakinan (iiqan), dan (5) pembenaran (tashdiq). Semua ini bisa terwujud pada anak-anak dengan tanpa memerlukan bukti argumen (burhan).
Diantara karunia Allah ta'ala kepada hati manusia adalah dilapangkannya untuk beriman pada awal masa pertumbuhannya dengan tidak membutuhkan kepada bukti dan argumen. Hal itu tidak bisa dipungkiri, sebab semua kepercayaan kaum awam kenyataannya berlandaskan kepada membebek saja (talqin mujarrad) dan ikut-ikutan semata (taqlid mahdh). Benar, bahwa kepercayaan yang diperoleh hanya dengan ikut-ikutan tidak lepas dari kelemahan pada permulaannya, dalam artian bahwa mungkin sekali ia musnah ketika dihadapkan kepada hal yang berlawanan dengannya. Oleh karena itu pula kepercayaan seperti ini harus diperkuat dan diteguhkan dalam jiwa anak-anak dan kaum awam sehingga menancap dalam dan tidak mudah goyah.
Jalan untuk menguatkan dan meneguhkannya bukanlah dengan mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi dengan (1) menyibukkan diri membaca al-Qur'an berikut tafsirnya, (2) membaca hadits disertai maknanya, dan (3) menyibukkan diri dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah al-Qur'an yang mengetuk pendengarannya, juga oleh dukungan hadits-hadits beserta faidahnya yang ia temukan, kemudian oleh pendar cahaya ibadah dan tugas-tugasnya. Hal itu juga diiringi dengan (4) menyaksikan kehidupan orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka kepada-Nya.
Maka, awal mula yang berupa membebek dalam aqidah dapat diibaratkan menabur benih di dada, sementara seluruh sebab-sebab yang datang belakangan diatas merupakan upaya menyiram dan merawatnya, sehingga akhirnya benih tadi tumbuh berkembang, menjadi kuat dan meninggi sebagai pohon yang baik dan kokoh, akarnya teguh sedangkan cabang-cabangnya menjulang ke angkasa.
Seyogyanya pendengaran anak-anak dijaga dengan ketat dari menyimak perdebatan dan teologi. Sebab, apa yang dikacaukan oleh perdebatan itu lebih banyak dibanding apa yang dimantapkannya, dan apa yang dirusak lebih banyak dibanding apa yang diperbaikinya. Bahkan, memperkuat kepercayaan dengan menggunakan metode debat dapat disejajarkan dengan memukul pohon menggunakan palu godam dari besi, dengan harapan akan memperkuatnya serta memperbanyak bagian-bagiannya. Padahal, sangat boleh jadi hal itu malah membuatnya hancur dan rusak. Dan inilah yang umum terjadi.
Kesaksian dalam hal ini cukup sebagai penjelasan bagi Anda, dan fakta yang dapat dilihat mata telanjang sudah cukup sebagai bukti.
Coba Anda bandingkan aqidah orang-orang yang shalih dan bertaqwa di kalangan kaum awam dengan aqidah para teolog dan ahli debat itu, niscaya akan Anda dapati aqidah kaum awam itu keteguhannya ibarat gunung yang tinggi menjulang, yang tak tergoyahkan oleh gempa dan guntur, sementara aqidah para teolog yang berusaha menjaga aqidahnya dengan beraneka ragam debat adalah ibarat seutas benang yang dilepaskan ke udara, yang ditiup angin kesana kemari, kecuali jika mereka mau mendengarkan dalil keyakinan lalu bergegas mengambilnya dengan ikut-ikutan, sebagaimana jiwa mengambil kepercayaannya dengan cara ikut-ikutan pula. Sebab, dalam masalah ikut-ikutan ini, tidak ada bedanya antara mempelajari dalil dan mempelajari objek dalilnya. Membebek kepada dalil adalah satu persoalan tersendiri, sedangkan menggali dalil dengan menggunakan teori-teori tertentu adalah persoalan yang lain pula, dan keduanya jauh berbeda.
Jika seorang anak, pada awal masa pertumbuhannya, berada dalam proses penanaman aqidah seperti ini, kemudian ia tersibukkan untuk menekuni profesi duniawi tertentu setelah dewasa, maka ia tidak sampai mengetahui hal-hal lain dalam aqidahnya, akan tetapi ia selamat di akhirat kelak karena berpegang kepada aqidah ahlul haqq. Sebab, syari'at sendiri tidak membebani orang dusun yang bodoh melebihi kewajiban untuk membenarkan (tashdiq) secara bulat dan mantap terhadap aspek-aspek lahiriah dari aqidah ini. Adapun mengkaji, melakukan riset dan usaha keras untuk menyusun rangkaian dalil pada dasarnya tidak diwajibkan kepada mereka.
Jika dia ingin untuk menjadi bagian dari para penempuh jalan akhirat, dan bila taufiq dari Allah membantunya, sehingga dia: (1) menyibukkan diri untuk menunaikan amal, (2) berkomitmen dalam ketaqwaan, (3) menahan diri dari godaan hawa nafsu, dan (4) menyibukkan diri dengan latihan spiritual (riyadhah) dan mujahadah, niscaya terbuka baginya pintu-pintu hidayah, tersingkap untuknya hakikat-hakikat aqidah ini berkat nur ilahi yang dijatuhkan ke relung hatinya oleh sebab mujahadah yang dilakukannya itu, sebagai pemenuhan dari janji Allah ta'ala. Sebab, Dia berfirman, "Barangsiapa yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sungguh Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan." (Qs. al-‘Ankabut: 69). Ini adalah permata yang sangat berharga yang merupakan puncak keimanan kaum shiddiqin dan muqarrabin. Ini menjelaskan rahasia apa yang tertanam di hati Abu Bakr ash-Shiddiq radhiya-llahu 'anhu, dimana dengannya beliau mengungguli manusia lainnya.
Tersingkapnya rahasia itu, bahkan seluruh rahasia yang ada, mempunyai tingkatan sesuai dengan tingkatan mujahadah serta tingkatan batin seseorang dalam hal kebersihan dan kesuciannya dari apa-apa selain Allah ta'ala, juga tergantung pancaran cahaya keyakinan yang dimilikinya. Hal ini seumpama beragamnya manusia dalam memahami rahasia kedokteran, fiqh, dan seluruh ilmu lainnya. Sebab, semua itu berbeda-beda disebabkan perbedaan dalam kesungguhan (ijtihad) dan fithrah (bakat bawaan) berupa kecerdasan dan kecerdikan. Sebagaimana halnya tingkatan dalam masalah ini bisa tidak terbatas jumlahnya, maka demikian pula dalam masalah akidah ini.
Wallahu a'lam.
[]

(*) Dialihbahasakan 1429 H – 2008 M