TIDAK BERPENDIRIAN

 

Bismillahirrahmanirrahim

Persentuhan antar agama, keyakinan dan pemikiran di era global kini menjadi sesuatu yang tak terhindarkan, tak terkecuali Islam. Sebagai konsekuensi, acapkali terjadi perembesan dan pencampuradukan yang menjadikan warna asli agama, keyakinan maupun pemikiran itu tidak jelas lagi. Terlebih, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Khaldun, ketika tabiat bangsa yang kalah akan cenderung untuk mengekor bangsa yang dominan dan menang, maka tingkat pengekoran itu pun terkadang mencapai level yang sangat mengkhawatirkan.
Diantara penyakit yang muncul di tengah-tengah kaum muslimin dewasa ini adalah inferioritas, sehingga sering tidak percaya diri untuk berpegang kepada nilai-nilai dan ajaran agamanya sendiri. Betapa sering kita saksikan sebagian orang yang merasa malu dan kurang modern mengenakan pakaian sebagaimana dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagai ganti, mereka merancang mode tersendiri yang – katanya – lebih sesuai dengan tuntutan zaman, walau sebenarnya hanya penjiplakan dan mengamini tren umat lain. Jilbab dan pakaian muslim pun dimodifikasi sedemikian rupa, hingga kehilangan ruh aslinya sebagai pakaian yang mencerminkan ibadah dan ketaatan kepada syari’at. Semua menjadi tunduk dibawah “agama” baru yang bernama “selera gaul”. Ukurannya ketat, bahannya terlalu kurang dibanding ukuran pemakainya, warnanya mencolok, kainnya terlampau tipis, atau modelnya lebih memperlihatkan keinginan untuk pamer. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita memperlihatkan aurat, kecuali di depan muhrim.
Kurikulum pendidikan juga dirancang sedemikian rupa, dengan arah dan tujuan yang sebenarnya tidak bersinggungan dengan misi agamanya, namun lebih mencerminkan tuntutan materialisme dan pragmatisme. Sebagai misal, jam-jam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam diperbesar, namun samasekali tidak ditanamkan kepekaan untuk sekaligus mengingat siapa Sang Pencipta Alam. Murid-murid disibukkan untuk menghafal nama-nama Isaac Newton, Albert Einstein, Niels Bohr, Ernest Rutherford, dan ratusan penemu lainnya, namun tidak terbetik sedikit pun untuk bertafakkur bahwa semua materi Ilmu Pengetahuan Alam itu sesungguhnya adalah tanda-tanda kekusaan Allah. Ilmu Pengetahuan Alam telah menjadi bagian alami dari proses melupakan Allah, sehingga gagal menjadi alat untuk berdzikir dan menambah ketaqwaan. Padahal, Allah berfirman tentang ulul albaab (orang-orang yang berakal), Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal; (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran: 190-191).
Di bidang lain, pernikahan adalah ajaran Nabi, dan melaksanakannya merupakan upaya untuk “menggenapkan agama” dalam diri seorang pemuda, agar ia lebih terkondisikan untuk bertanggung jawab dan tenang dalam menyembah Tuhannya. Namun, entah mengapa upacara-upacara pernikahan kini digelar dengan tahap dan prosesi yang mengabaikan syari’at, mulai dari pencarian pasangan, prosesi pelamaran, sampai akad dan pesta yang nyata-nyata tidak memperdulikan agama. Jauh sebelum ijab-kabul diucap, jutaan pasangan muda-mudi telah “mengawinkan” diri mereka sendiri dalam budaya pacaran yang tak tahu malu; tanpa wali, tanpa mahar, tanpa akad nikah, tanpa walimah, tanpa aturan apapun selain selera-selera nafsunya sendiri. Pertunangan digelar dengan tukar cincin emas, tetapi kebanyakan orang lupa bahwa seorang pria muslim dilarang keras oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengenakan cincin emas. Jam delapan pagi akad nikah digelar dengan diawali melafalkan dua kalimat syahadat di depan penghulu, namun ketika adzan zhuhur, ashar, maghrib, dan isya’ berkumandang, pasangan pengantin tetap dalam riasannya sejak pagi, tidak juga beranjak untuk memenuhi panggilan Tuhannya. Baru saja syahadat diucapkan, namun tidak lama setelah itu perintah shalat ditinggalkan di depan semua tamu dan undangan!!
Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar menekankah kita untuk memiliki pendirian yang mantap dalam beragama, tidak plin-plan dan ikut-ikutan. Beliau bersabda, “Janganlah kalian menjadi orang yang tidak punya sikap dan pendirian. (Yakni), kalian berprinsip: ‘jika orang lain baik maka saya pun baik, namun jika mereka berbuat zhalim maka sayapun ikut berbuat zhalim’. Sebaliknya, teguhkan jiwa kalian! Jika orang lain berbuat baik, maka kalian pun berbuat baik. Namun jika mereka berbuat zhalim, maka kalian jangan ikut berbuat zhalim pula.” (Hadits riwayat at-Tirmidzi, dan menurut beliau: hasan-gharib).
Diantara sumber dari semua perasaan rendah diri itu, sebagaimana dijelaskan dalam hadits diatas, adalah sikap plin-plan dan tidak konsisten dalam beragama. Kita sekarang menyebutnya dengan sekedar “ikut tren dan mode”, tidak mempunyai sikap dan pendirian yang sebenarnya. Hidupnya bagai nyiur di pantai, akan condong ke arah manapun angin biasa bertiup. Maka, betapa berbahayanya sikap ini, karena samasekali tidak menjamin kita akan selamat di akhirat nanti, walau di dunia ini memang terkesan lebih nyaman karena tidak harus melawan arus.
Akhirnya, mari memohon kepada Allah, agar Dia memberi taufik kepada hati kita untuk lebih dekat ke jalan-Nya, diteguhkan, dan diberkahi. Amin.

[*] 24 Ramadhan 1430 H; pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah, BMH Malang.