SUNNAH SIAPAKAH INI?



Bismillahirrahmanirrahim

Suatu hari, ketika berkumpul bersama sebagian sahabatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah-sunnah kaum sebelum kalian jengkal demi jengkal, dan hasta demi hasta, sehingga andaikan saja mereka masuk ke liang biawak sekalipun, niscaya kalian akan turut juga masuk kesana!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, (apakah yang Anda maksud adalah) kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi?” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Sungguh menarik, dalam hadits ini Rasulullah menyebut bahwa ada sunnah-sunnah yang lain di luar sunnah beliau. Padahal, biasanya kita hanya mengaitkan istilah sunnah ini dengan Rasulullah, bukan kepada selainnya. Lebih celaka lagi, sebagian orang justru menyempitkan makna sunnah pada bagian-bagian kecilnya saja, dan sepertinya lupa kepada makna sesungguhnya dari sunnah itu sendiri. Ketika membicarakan sunnah Nabi, langsung saja ditunjuk hanya kepada jenggot atau celana setinggi betis, dan mengidentifikasi para pengikut sunnah hanya dari pertanda ini saja. Ini memang bagian dari sunnah, tetapi bukan seluruhnya.

Sunnah sesungguhnya bermakan jalan hidup, adat kebiasaan, manhaj, tradisi, entah itu terpuji atau bahkan tercela samasekali. Karena cakupan asal istilah ini yang luas maka ia secara khusus dikaitkan hanya dengan jalan hidup, adat kebiasaan, manhaj dan tradisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengapa demikian? Ya, agar hanya terbetik di benak kita untuk mengikuti apa yang berasal dari beliau, bukan selainnya. Bagaimanapun, di luar sana ada sangat banyak jalan hidup, adat kebiasaan, manhaj dan tradisi yang dengan satu atau beberapa alasan menjadi populer dan diikuti banyak orang.

Inilah yang ditunjuk oleh Rasulullah dalam sabdanya diatas, bahwa umat beliau sangat berpeluang untuk mengikuti seluruh adat kebiasaan, manhaj dan tradisi kaum Yahudi dan Nasrani. Sedemikian persis dan kuatnya penjiplakan itu, sampai beliau menyebutkan dengan “jengkal demi jengkal dan hasta demi hasta”. Maksudnya, ada masanya dimana umat beliau akan berubah tidak ada bedanya sedikit pun dengan kaum Yahudi dan Nasrani, dalam seluruh aspek kehidupannya, sehingga jika pun diteliti serta diperiksa jengkal demi jengkal dan hasta demi hasta, kita akan temukan persamaan itu merata dimana-mana. Hanya saja, persamaan ini dalam aspek kemaksiatan dan penentangan kepada syari’at, bukan dalam kekufurannya. Sungguh, bahkan Rasulullah menyebut, “andaikan saja mereka masuk ke liang biawak sekalipun, niscaya kalian akan turut juga masuk kesana”. Yakni, andai mereka melakukan sesuatu yang paling konyol dan tidak masuk akal sekalipun, niscaya akan ada dari kalangan umat beliau yang ikut-ikutan juga!

Karena sunnah bisa bermakna seluas itu, maka adalah sangat baik bagi kita untuk mengintrospeksi diri; melihat dengan lebih teliti bagaimana kita menjalani kehidupan kita setiap harinya. Ada baiknya kita sering bertanya pada diri sendiri, saat mulai melakukan sesuatu, besar maupun kecil, “Sunnah siapakan ini?”

Jika kita hendak berpakaian, dengan model dan cara tertentu, maka perhatikanlah! Sunnah siapakah ini? Jika kita mendapati yang ada di dalamnya adalah tuntunan Rasulullah, kita lanjutkan. Jika disana justru kita temukan tradisi dari selainnya, mari bertanya? Apakah Allah dan Rasul-Nya ridha? Apakah dengan pakaian seperti itu kita akan menampakkan diri sebagai umat Rasulullah, atau justru “jengkal demi jengkal” menjiplak kaum Yahudi?

Jika kita hendak menikah, dengan tahapan dan tradisi tertentu, mulai dari proses pemilihan dan penjajagan calon pasangan sampai resepsi walimah, sungguh layak bagi kita bertanya pada diri sendiri: sunnah siapakah ini? Jika kita yakin disana ada tradisi dan bimbingan Rasulullah, maka kita jalan terus. Jangan sampai justru “hasta demi hasta” kita malah menyerupai tradisi dan cara hidup kaum Nasrani.

Jika kita hendak memilih pemimpin, dengan tahapan dan proses tertentu, bukankah juga sangat tepat kita merenung: sunnah siapakah ini? Apakah seperti ini Rasulullah memberikan garis panduannya? Atau, justru segala kesibukan ini malah menjadikan kita sangat mirip dengan kaum Yahudi dan Nasrani, jengkal demi jengkal, hasta demi hasta? Perlahan-lahan, tanpa terasa dan sadar, sampai akhirnya kita mendapati telah berada di “lapangan” yang sama dengan mereka.

Sebab, fenomenanya bisa lebih parah lagi. Seperti dinyatakan Rasulullah sendiri, ada masanya sebagian dari umat beliau akan mengekor kaum Yahudi dan Nasrani dalam hal-hal yang sangat parah, konyol dan tidak masuk diakal. Beliau memberikan perumpamaan dengan “masuk liang biawak”. Adakah yang lebih konyol atau tidak berakal dari tindakan ini? Dan, yang lebih konyol serta tidak berakal – tentu saja – adalah mereka yang mengikutinya!

Wallahu a’lam.

(*) Ahad, 14 Jumadil Awwal 1430 H; pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah, BMH Malang