Silakan Maju atau Mundur (Kajian Surah al-Muddatsir: 32-37)


Bismillahirrahmanirrahim

Muqaddimah
Rangkaian ayat 32-37 ini diawali dengan tiga sumpah (qasam), yang mengindikasikan adanya sesuatu yang hendak dikuatkan dan diperteguh. Allah bersumpah dengan rembulan (al-qamar), malam (al-lail) dan pagi hari (ash-shubh). Dalam surah-surah Makkiyah, kalau kita perhatikan rangkaiannya, banyak sekali surah yang diawali maupun diisi dengan sumpah-sumpah semacam ini.
Sebagai contoh, jika kita amati urutan wahyu mulai al-'Alaq sampai an-Najm, yang pada kajian terdahulu pernah kita singgung sebagai 22 surah yang turun dalam Fase Makkah Pertama (Marhalah Makkiyah Ula), kita akan dapatkan qasam dengan fenomena-fenomena alam : wal-laili idza yaghsyaa (urutan ke-8), wal-fajri (ke-9), wadh-dhuhaa (ke-10), wal-'ashri (ke-12), kemudian wan-najmi idza hawaa (ke-22).
Dalam Fase Makkah Pertengahan (Marhalah Makkiyah Wasath), ada pula qasam yang serupa : wasy-syamsi wa dhuhaaha (ke-25), was-samaa'i dzaatil buruuj (ke-26), wat-tiini waz-zaituuni (ke-27), kemudian was-samaa'i wath-thaariq (ke-35).
Dengan kata lain, informasi yang disebutkan di sekitar sumpah-sumpah ini adalah sesuatu yang sangat serius, bukan main-main. Mari kita telusuri satu persatu.
Dalam surah al-Lail, setelah qasam disebutkan janji serta ancaman Allah bagi manusia yang beramal baik maupun buruk. Dalam al-Fajr, terdapat ancaman tidak langsung kepada para pendusta agama dengan menyebutkan nasib kaum 'Ad, Tsamud, dan Fir'aun. Mereka yang kuat dan perkasa itu telah hancur dibinasakan akibat kekufuran mereka. Dalam adh-Dhuha, Allah mengingatkan tentang akhirat, juga nikmat yang telah Dia berikan kepada Nabi Muhammad, sekaligus perintah yang berkenaan dengan anak yatim dan peminta-minta, serta mensyukuri nikmat-Nya. Dalam al-'Ashr, ada peringatan agar tidak menjadi orang yang merugi, dengan jalan beriman, beramal shalih, dan ber-taushiyah dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam an-Najm, Allah meneguhkan Rasulullah dan kebenaran al-Qur'an, serta menjelaskan kesesatan kepercayaan berhala. Tentu saja, secara tidak langsung, ayat semacam ini bernada ancaman di baliknya, yakni bagi mereka yang mendustakan Rasulullah dan menolak al-Qur'an.
Dalam asy-Syams, penghujung surah ini mengingatkan nasib kaum Tsamud yang dihancur-leburkan oleh Allah akibat mereka melawan Rasul dan mendustakannya. Nada ayat ini sudah jelas. Dalam al-Buruj, kisah Ash-habul Ukhdud sesungguhnya menjadi latar dari ancaman Allah kepada orang-orang yang menyiksa kaum mukminin. Allah menyatakan disini, inna bathsya rabbika la-syadiid. Dalam at-Tiin, Allah mempertanyakan mengapa mereka mendustakan hari pembalasan sesudah datang berbagai keterangan yang nyata? Terakhir, dalam ath-Thariq, informasi yang hendak disampaikan lagi-lagi menyangkut Hari Kiamat, saat segala rahasia dibongkar dan diperhitungkan. Di pertengahan surah-surah ini, juga yang lainnya, berbagai qasam lain disebutkan, sebagai peringatan serius kepada manusia.
Kembali ke surah al-Muddatsir ayat 32-37, informasi serius apa yang hendak diberikan setelah tiga sumpah yang beruntun ini?

"Innaha la-ihdal kubar"
) كَلاَّ وَالْقَمَرِ . وَاللَّيْلِ إِذْ أَدْبَرَ . وَالصُّبْحِ إِذَا أَسْفَرَ . إِنَّهَا َلإِحْدَى الْكُبَرِ . نَذِيْرًا لِلْبَشَرِ  (
Setiap qasam dalam bahasa Arab memerlukan al-jumlah (kalimat) yang menjadi al-jawab (penggenap) dari susunannya. Disini, kalimat innaha la-ihdal kubar adalah al-jawab dari qasam, yang dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa informasi yang tidak main-main itu adalah : neraka Saqar atau malaikat penjaga neraka yang 19 itu.
Kalimat ini menyatakan bahwa Saqar atau Ash-habun Naar (penjaga neraka) hanyalah salah satu dari perkara yang sangat besar. Al-Kubar adalah jama' dari al-kubra, bentuk mu'annats dari al-akbar. Maka, masih ada sangat banyak perkara-perkara sangat besar lain yang menunggu kita di balik tirai kegaiban. Berbagai ayat dan hadits menyitir perkara-perkara dahsyat dimaksud. Jika ayat ini kita kembalikan kepada konteks sirah, dimana Rasulullah masih berdakwah di Makkah pada periode-periode permulaan, maka ancaman (indzar) yang paling sering disebutkan adalah kedahsyatan Hari Kebangkitan. Sekilas penelusuran kita terhadap wahyu-wahyu lain – seperti sudah disinggung dimuka – memperlihatkan hal ini dengan sangat jelas.
Penafisran ini sejalan dengan fakta dalam sirah nabawiyah. Ketika turun surah asy-Syu'ara' : 124 yang memerintahkan untuk berdakwah secara terbuka, maka beliau berseru diatas bukit Shafa kepada kaum kerabatnya, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan akan tibanya siksa yang pedih." Sambutan pertama yang sangat terkenal datang dari paman beliau, Abu Lahab, "Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami? Celaka engkau Muhammad!!" Seketika, Allah membalik celaan ini dengan turunnya surah al-Lahab. Catatan peristiwa ini dapat dibaca lengkap dalam Sirah Ibnu Hisyam dan lainnya. Terlihat, bahwa perintah indzar dalam surah asy-Syu'ara' tersebut dilaksanakan oleh beliau dengan mengingatkan akan tibanya siksa pedih di Hari Kebangkitan.

Silakan Maju atau Mundur
) لِمَنْ شَآءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ (
Kembali, Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalannya, agar kelak tidak menuduh siapa pun saat menerima akibatnya. Ada sedikit perbedaan diantara mufassirin dalam memaknai ayat ini. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari mencatat, "(Maksud) firman Allah 'li-man syaa'a minkum an yataqaddama aw yata'akhkhar', lam disini (dalam kata li-man) berkait langsung dengan kata nadziran (dalam ayat sebelumnya), yakni peringatan bagi siapa saja diantara kalian yang berkehendak untuk maju ke arah kebaikan dan ketaatan, atau mundur ke arah  keburukan dan maksiat." Beliau juga menukil komentar al-Hasan al-Bashri, bahwa ayat ini adalah ancaman (wa'id) dan peringatan keras (tahdid) meskipun dalam bentuk yang sangat simpatik.
Menurut Ibnu 'Abbas, ini adalah peringatan keras dan ultimatum (i'laam) bahwasanya siapapun yang maju ke arah ketaatan dan mengimani Muhammad shalla-llahu 'alaihi wa sallam akan mendapat balasan pahala yang tiada terputus, dan siapapun yang mundur dari (jalan) ketaatan dan disertai mendustakan beliau, maka ia akan dihukum dengan hukuman yang tak terputus pula. Menurut as-Suddi, "Silakan maju masuk ke neraka yang sudah disebutkan (dalam ayat-ayat sebelumnya) atau mundur (dan menyelamatkan diri) ke surga." Imam al-Qurthubi dan as-Suyuthi juga mencatat riwayat-riwayat yang senada dengan ini.
Kebebasan memilih ini dapat ditemukan dalam beberapa tempat di al-Qur'an. Namun, ini bukan kebebasan mutlak, dimana manusia tidak dimintai pertanggungan jawab atas ijtihad-nya tersebut. Disamping memberi jalan untuk memilih sendiri, Allah juga menjelaskan mana yang baik mana pula yang buruk. Pilihan yang benar sangat tergantung kepada informasi yang akurat, metodologi berpikir yang lurus, setelah dibimbing oleh hidayah dan taufiq-Nya. Maka, petunjuk ke jalan lurus adalah salah satu poin permintaan yang diajarkan dalam doa-doa Rasulullah. Sehari, minimal, 17 kali kita meminta kepada Allah, dengan tulus dan merendahkan diri, agar diberi petunjuk kepada ash-shirath al-mustaqim, saat membaca surah al-Fatihah di setiap rakaat. Doa duduk diantara dua sujud pun merefleksikan permintaan itu, "Rabbigh-fir lii war-hamni wah-dini war-zuqni wa'aafini." (Wahai Tuhanku, ampuni aku, kasihi aku, beri aku petunjuk, beri aku rezeki, dan maafkan aku).
Uslub ini dapat kita temukan persamaannya, misalnya, dalam surah al-Baqarah : 256, "Laa ikraaha fi ad-diin" (tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam). Jika ayat ini dipenggal sampai disini, masalahnya akan rancu, seolah-olah manusia boleh beragama apa saja di dunia ini, semua agama benar, atau semua agama sama-sama diakui dan diterima di hadapan Allah. Mengutip ayat ini harus disambung dengan kalimat-kalimat berikutnya, "Qad tabayyana ar-rusydu min al-ghayyi" (sungguh telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dari jalan yang sesat). Ibaratnya, manusia disuguhi dua gelas minuman, satu berisi racun dan lainnya diisi susu, dengan label nama yang jelas, masih ditambah uraian panjang lebar tentang akibat yang akan ditanggung setelah meminumnya. Silakan pilih sendiri, telah sangat jelas mana yang baik mana pula yang buruk.
Akan lebih gamblang lagi jika ayat ini disempurnakan, "Fa man yakfur bi ath-thaaghuuti wa yu'min billahi fa qad-istamsaka bil 'urwatil wutsqaa lan-fishaama laha wa-llaahu sami'un 'alim" (karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang amat kokoh tidak akan terputus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Perbandingan yang dikemukakan bagian ini sangat jelas. Jika logika dalam ayat ini dibalik, maka siapa yang mengimani thaghut dan mengkufuri Allah telah berpegang kepada simpul tali yang sangat rapuh, tidak dijamin kekuatannya.
Qa'idah kebebasan memilih dalam al-Baqarah : 256 ini akan semakin nyata batasannya jika ayat 257 juga dibaca sebagai sebuah kesatuan, "Allah pelindung orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekufuran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah thaghut (syetan), yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya."
Wallahu 'alam bish-shawab.

(*) Senin, 16 Sya'ban 1426 H