SEORANG MUKMIN ADALAH CERMIN BAGI SAUDARANYA



Bismillahirrahmanirrahim

Apakah yang dapat kita ambil manfaat dari sebuah cermin? Ya, diantara manfaat terbesarnya adalah kita tahu persis kekurangan dan kelebihan kita, sehingga bisa terjaga dari aib dan kehormatan kita senantiasa terpelihara. Begitulah setiap cermin. Ia menampakkan bayangan diri kita sendiri padanya, lalu mendorong kita untuk membereskan yang buruk dan mempertahankan yang baik. Ini adalah manfaat cermin kaca bagi kita. Lalu, menurut Anda, bagaimana jika cermin itu adalah seorang manusia hidup dan aktif?
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Seorang mukmin adalah cermin bagi sesamanya. Bila melihat suatu aib pada saudaranya, maka ia akan memperbaikinya.” (Riwayat Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod. Sanad-nya hasan).
Berbahagialah seorang mukmin, dimana sesama mukmin yang ada di sekitarnya akan menjadi cermin baginya. Mereka akan menegur kesalahannya, menunjukkan kekurangannya, dan menasihati kekhilafannya. Sebaliknya, cermin-cermin hidup itu akan meneguhkan kebaikannya, mendorong ketaqwaannya dan menghargai prestasi-prestasinya. Betapa sering kita tidak bisa mengerti kekurangan diri sendiri, namun segalanya menjadi tampak jelas saat kita bercermin. Kejelasan bayangan itulah yang membuat kita lebih mudah bertindak secara tepat dan tuntas.
Namun, cermin-cermin kaca yang kita miliki biasanya diletakkan di area-area privat, tempat kita menyendiri untuk memeriksa dan memperbaiki kekurangan. Maka, demikian pulalah watak cermin-cermin hidup itu. Seorang mukmin akan mengingatkan saudaranya sendirian, bukan di depan umum dan di hadapan setiap orang. Maka, bila kita saksikan seorang mukmin yang mencela saudaranya di tengah-tengah khalayak ramai, sungguh ia telah melanggar hak saudaranya itu. Saat itu, ia bukan lagi cermin yang menyenangkan, namun bayangan teror yang menakutkan!
Bahkan lebih jauh lagi, seorang mukmin akan memenjaga agar saudaranya tidak rugi dan sia-sia hidupnya, entah itu dalam urusan agama, waktu, perdagangan, harta, keluarga, jabatan, atau aspek-aspek lain dari dirinya. Sudah barang tentu, tidak layak seseorang mengaku mukmin jika telah merekayasa dan mendalangi aksi-aksi keburukan dan penistaan terhadap saudaranya. Ini adalah pelanggaran terbesar; mengekor tindakan kaum kafir yang selalu mendengki seorang muslim, sehingga seharusnya ia bertaubat. Seyogyanya, seorang muslim berusaha menjaga kehormatan dan nama baik saudaranya. Maka, segala upaya menjatuhkan kehormatan dan nama baik sesama muslim adalah penistaan terhadap agamanya sendiri.
Akan tetapi, bagaimana jika cermin yang kita miliki buram dan bahkan retak dimana-mana? Tentu saja bayangan yang ditunjukkannya akan kabur dan sukar dimengerti. Pada gilirannya, kita bisa salah bertindak dan justru memperburuk keadaan. Maka, sudah sewajarnyalah kita memperhatikan siapa-siapa orang di sekitar kita, entah teman, tetangga, terlebih-lebih istri atau suami. Dikisahkan bahwa Abul Aswad ad-Du’ali – imam dalam ilmu nahwu dan bahasa Arab – mempunyai seorang tetangga yang jahat, sehingga beliau merasa sangat terganggu dan akhirnya menjual rumahnya. Dengan uang itu beliau membeli rumah di tempat lain. Orang-orang pun keheranan dan bertanya mengapa beliau menjual rumahnya. Dijawab, “Sebenarnya saya tidak menjual rumah saya, tetapi menjual tetangga saya!” Dari sinilah orang Arab kemudian membuat ungkapan, al-jaar qabla ad-daar (lihat dulu tetangga Anda sebelum memilih rumah Anda). Sebab, jika tetangga Anda buruk, maka hidup Anda pasti “terancam bahaya”!
Menurut Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ada seorang sahabat yang mengeluhkan keburukan tetangganya. Beliau kemudian menasihatinya untuk bersabar. Namun, orang itu kembali mendatangi beliau dua atau tiga kali dan mengeluhkan masalah yang sama. Akhirnya beliau bersabda, “Pulanglah, dan keluarkan semua isi rumahmu ke jalan!” Diturutinya perintah Rasulullah itu, sehingga setiap orang yang lewat pun selalu menanyainya tentang apa yang terjadi, dan setiap kali itu pula ia memberitahu mereka tentang keburukan tetangganya. Maka, semua orang yang mendengarnya pun melaknatnya dan mendoakan aneka macam keburukan baginya. Dengan tergopoh-gopoh, tetangganya yang buruk itu pun datang dan berkata, “Pulanglah, engkau tidak akan melihat lagi sesuatu pun yang tidak engkau sukai dariku!” (Hadits hasan-shahih, diriwayatkan Abu Dawud).
Memang benar, orang-orang yang tidak baik di sekitar kita harus selalu diingatkan dan diperbaiki. Inilah fungsi cermin itu. Kita menjadi cermin bagi mereka, dan mereka menjadi cermin bagi kita. Kita memperbaiki dan menjaga mereka, mereka pun memperbaiki dan menjaga kita. Namun, jika sudah ditegur dan tidak juga berubah, maka ia harus diberi sanksi agar kapok. Ketika orang-orang di sekitar kita buruk, mereka tidak akan menjadi cermin bagi kita. Justru akan mengganggu dan merusak. Ketika keburukannya tidak bisa lagi dibenahi, dan ketika kesabaran telah sampai di penghujungnya, maka benarlah Abul Aswad ad-Du’ali yang memilih “menjual tetangga buruknya” dan “membeli tetangga baik” di tempat lain. Pilihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah juga dilatari sebab yang mirip. Demikian pula Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang berhijrah bersama pengikutnya dari Babylonia ke Palestina. Setelah bertahun-tahun bersabar menyeru ke jalan Allah, ternyata hati kaum kafir lebih keras dari batu. Para kekasih Allah itupun diperintahkan untuk pergi dan mencari tempat baru; tempat dimana orang-orang di dekat mereka bisa menjadi cermin baginya. Wallahu a’lam.


[*] Senin, 06 Dzulhijjah 1430 H – 23 Nopember 2009; pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah, BMH Malang