PENTINGNYA MENGIMANI HARI AKHIR



Bismillahirrahmanirrahim

"Hai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan!" (QS al-Muddatsir [74] : 1-2)


Dewasa ini, geliat dakwah serta spirit untuk kembali kepada Islam menunjukkan tanda-tanda penguatan. Di negara-negara Eropa dan Amerika, Islam ternyata menjadi agama yang semakin diminati. Bahkan, kampanye anti-terorisme yang semula ditujukan untuk merusak Islam justru membawa berkah tersendiri. Masyarakat non-muslim yang semula cuek dan buta tehadap Islam, justru penasaran dan berduyun-duyun memburu segala informasi tentang Islam. Peluang baik ini disergap lembaga-lembaga dakwah Islam, dan berdampak meningkatnya jumlah mu'allaf atau muhtadin.
Pada saat bersamaan di Indonesia sendiri, kampanye untuk memilih dan menerapkan solusi Islami semakin mendapat sambutan. Terlihat, misalnya dengan meningkatnya daerah-daerah yang berusaha menerapkan syari'at Islam bagi warganya. Busana muslim bagi wanita juga tidak lagi asing atau terlarang, bahkan sudah menjadi salah satu pilihan yang diterima banyak kalangan. Pertumbuhan usaha-usaha berbasis syari'ah juga menggembirakan, misalnya di sektor perbankan, perhotelan, pegadaian, investasi dan asuransi. Perkembangan ini tentu patut disyukuri dan dijadikan penambah motivasi untuk terus melangkah maju. Terbukti, bahwa pilihan kembali kepada Islam bukan sesuatu yang tanpa masa depan. Sebaliknya, memilih penerapan Islam dalam segala segi adalah upaya manusiawi untuk menarik berkah dan peran Allah dalam mendukung kehidupan kita sebagai hamba-Nya di dunia.

Waspadai motif yang keliru
Di tengah gegap-gempita keberhasilan itu, ada satu hal yang harus kita waspadai, dan sejak awal melangkah dalam dakwah tidak boleh keliru memilih. Seluruh kampanye untuk menarik umat kembali ke dalam pangkuan Islam tidak boleh hanya menawarkan sisi-sisi gemerlap materialnya. Sebab, jika keseluruhan seruan itu hanya "didandani" semenarik mungkin dengan iming-iming kesuksesan duniawi, tanpa penguatan spirit ukhrawi, maka pada dasarnya kita sudah terjebak menyeru untuk mencintai dunia semata-mata. Ini adalah perangkap materialisme. Tidak ada yang bisa diraih oleh dakwah semacam ini selain mengagung-agungkan kegemilangan fisik yang semu.
Dakwah pada dasarnya harus berorientasi ke akhirat. Titik berat seruannya mestilah mengajak manusia untuk mempersiapkan kehidupan akhirat yang abadi, tepatnya mendayagunakan potensi dan kesempatan yang Allah anugerahkan di dunia ini untuk meraih kebahagiaan yang kekal. Ajakan kembali kepada prinsip-prinsip ekonomi Islam tidak boleh hanya disuguhkan sebagai alternatif untuk memperbesar pundi-pundi kekayaan, tanpa sedikitpun diarahkan untuk mengumpulkan bekal beribadah dan berjihad. Jika ekonomi Islam hanya disoroti dari sisi efektifitasnya dalam mengeruk materi, maka sebenarnya itu merupakan perselingkuhan terang-terangan dengan ide kufur: materialisme dan kapitalisme. Islam hanya dijadikan feature, hiasan pemanis, kasarnya diperalat untuk meraih tujuan-tujuan yang tidak Islami.
Demikianlah, jika seluruh kampanye untuk membesarkan perbankan syariah tidak dibarengi pelurusan orientasi, pada akhirnya tidak akan berbeda dengan bank berbasis riba. Seluruh aktifitasnya hanya digerakkan menuju terakumulasinya kekayaan serta laba. Terlihat megah namun rapuh. Ini adalah manipulasi dan menjual agama dengan harga yang murah.

Berorientasi kepada akhirat
Dalam sejarah dakwah Rasulullah, seruan untuk lebih berorientasi kepada akhirat adalah nafas dakwah beliau sejak awal sampai akhir. Tidak ada tujuan lain kecuali ini.
Setelah wahyu pertama surah al-'Alaq : 1-5 turun, maka wahyu kedua yang turun adalah surah al-Muddatsir: 1-5. Perintah yang diterima Rasulullah adalah "bangkit, berilah peringatan". Memberi peringatan (indzar), dalam penggunaan ayat-ayat al-Qur'an, biasanya dikaitkan dengan kedahsyatan peristiwa akhirat, khususnya masalah siksa yang pedih bagi mereka yang lalai. Perintah inilah yang pertama-tama beliau serukan kepada kaumnya.
Dari sini kita menangkap kesan betapa pentingnya keimanan kepada Hari Akhir itu, sehingga dijadikan sebagai materi pertama dakwah Rasulullah kepada manusia. Dengan kata lain, kepercayaan pada Hari Akhir adalah materi paling asasi dalam dakwah Islam dan upaya meneguhkan sendi-sendi iman lainnya. Tidak akan mungkin ditegakkan bagunan iman tanpa kejernihan mengimani Hari Akhir. Dan, setiap iman yang produktif pasti bergantung kepada tingkat kesungguhan dalam mengimani Hari Akhir itu.
Allah tidak menciptakan manusia untuk main-main belaka. Kehidupan manusia yang merupakan makhluk paling sempurna tidak mungkin terbatas hanya pada periode pendek dunia ini. Pasti ada sebuah periode lagi di belakangnya, yang lebih sempurna, abadi dan berjangkauan amat panjang. Di saat itulah keimanan, kebenaran dan kemurnian pribadi menjadi dominan; di saat seluruh kesesatan, kedurhakaan, dan kezhaliman diluluhlantakkan.
Keadilan Allah pun tidak membenarkan lolosnya para pencoleng dari pertanggungjawaban atas kejahatannya, padahal di dunia ini banyak sekali orang-orang seperti itu yang bebas berkeliaran bahkan tetap dihormati dan berkuasa. Juga tidak mungkin orang-orang beriman akan tersia-siakan, dimana segala amal yang mereka bangun dan kepedihan yang mereka alami dalam menjaga komitmennya, justru musnah tanpa bekas. Padahal, betapa banyak orang beriman yang bahkan tidak sempat merasakan kesejahteraan di bawah kolong langit ciptaan Allah ini, di saat mereka tidak pernah menyerahkan raga, hati, pikiran, perasaan dan jiwanya kepada siapapun selain Allah. Adakah Allah akan mengabaikan hamba-hamba terbaik-Nya merana tanpa pembela?
Sungguh kesadaran terhadap akhirat, berikut segala apa yang akan terjadi di dalamnya, merupakan poin tersendiri yang amat berpengaruh dalam jiwa manusia. Mereka yang tidak mengkhawatirkan akhirat dan bahkan tidak mempercayainya, sangat jarang untuk memperdulikan kebenaran dan kebajikan di segala segi, bahkan akan terang-terangan menolak serta memusuhinya. Ini bukan permusuhan sandiwara, namun permusuhan hakiki yang didukung oleh segenap pikiran dan perasaan. Kalangan ini juga akan dengan ringan melanggar norma, tanpa sedikitpun merasa takut dihukum. Sebab, mereka yang tidak mengimani akhirat, pada akhirnya sangat jarang menjaga diri dari dosa, kemunkaran dan perbuatan biadab. Apalagi, jika mereka merasa aman dari akibat yang secara langsung dapat dirasakan di dunia, atau meyakini dapat lolos dari jerat hukum dan pengadilan duniawi.
Fenomena kampanye pencegahan HIV/AIDS dewasa ini memperlihatkan kegamangan serupa. Banyak orang yang sadar bahwa HIV/AIDS sangat mematikan, namun karena tidak ada keimanan kepada akhirat, mereka hanya berpikir untuk mengamankan diri dari akibat di dunia ini. Muncullah kampanye penggunaan kondom atau jarum suntik sekali pakai bagi pengguna narkoba suntik. Mereka merasa aman dengan solusi ini, dan tidak berpikir untuk mengakhiri perzinaan atau ketergantungan obat terlarang agar sekaligus aman dari akibat berkepanjangan di akhirat. Sebab, pada dasarnya yang membawa masalah bukan hubungan seksual tanpa kondom atau disuntik dengan jarum, tetapi perzinaan, gonta-ganti pasangan dan penggunaan obat terlarang. Jika hal-hal terakhir ini dihentikan, jelas masalahnya akan berakhir dengan sendirinya.
Demikianlah, saat manusia mampu menciptakan rasa aman dalam dirinya terhadap bencana di dunia, dimana keimanan kepada akhirat tidak juga melandasi, ia akan dengan lapang hati berkubang di dalam kemunkarannya; sampai kapan pun!

Penutup
Maka, secara pribadi, adalah penting bagi kita untuk senantiasa mempertebal keyakinan tentang akhirat. Dan, pintu pertama untuk memasuki akhirat adalah kematian. Rasulullah sering menasihati kita untuk tidak melupakan kematian; agar tidak lalai dan lemah dalam beramal shalih; agar tidak berlarut-larut dalam dosa dan kemungkaran. Umat juga harus diberi keyakinan yang benar dan lurus tentang akhirat ini. Seluruh seruan kembali kepada Islam, dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dsb harus bernuansa ukhrawi. Generasi salaf dari umat ini meraih ridha Allah dengan meyakini kebenaran akhirat, mewaspadai kematian, menyiapkan bekal lewat amal shalih, bertaubat, menjauhi dosa, dst. Tidak mungkin ada keikhlasan dan jihad jika umat tidak meyakini akhirat. Mendustakan akhirat, atau kelemahan akidah terhadap rukun iman ke-5 ini, akan membelokkan manusia ke jalan iblis, berupa kecintaan kepada dunia dan segala pesta-poranya. Na'udzu billah. Wallahu 'alam bish-shawab.

(*) Selasa, 22 April 2008