ORANG PALING LEMAH SEDUNIA



Bismillahirrahmanirrahim

Kita telah banyak menyaksikan orang-orang yang lemah di sekitar kita, atau bahkan mungkin kita sendiri adalah bagian dari mereka. Di sisi lain, masing-masing dari kita juga mempunyai kriteria sendiri-sendiri tentang apa yang kita maksud dengan kelemahan itu. Ada yang beranggapan bahwa orang lemah itu adalah mereka yang kalah secara sosial-ekonomi, sehingga tersingkir di tepi arus zaman dan tidak mendapatkan kehidupan yang layak. Sebagian yang lain menilai bahwa orang lemah adalah mereka yang cacat fisik, sehingga harus tergantung kepada orang lain untuk melangsungkan kehidupannya. Tak jarang pula kriteria kelemahan itu dikaitkan dengan ketertinggalan serta kedangkalan intelejensi, akses sumberdaya, tingkat pendidikan, jenis kelamin, profesi, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika ditanyakan kepada masing-masing kita, “Siapakah orang paling lemah sedunia?” Jelas, masing-masing akan menjawab sesuai dengan kriterianya.

Akan tetapi, jika pertanyaan yang sama diajukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah jawaban beliau?

Inilah salah satu jawabannya, “Sesungguhnya orang yang paling lemah adalah mereka yang lemah dalam berdoa, dan orang yang paling pelit adalah mereka yang pelit dalam mengucapkan salam.” (Hadits hasan, riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Menurut beliau, kelemahan dalam doa menandakan kelemahan paling mendasar dalam diri seseorang. Mengapa? Sebab, doa adalah refleksi impian, harapan dan keyakinan setiap jiwa. Maka, manusia yang lemah dalam doa berarti lemah cita-cita dan pandangan hidupnya. Apa lagi yang bisa diharapkan dari orang seperti ini? Sehingga, sederhana saja cara mengevaluasi apa sebenarnya yang paling dominan menguasai jiwa seseorang, tak terkecuali diri kita sendiri. Cara itu adalah: memperhatikan apa saja doa dan pengharapan terbanyak yang kita panjatkan setiap harinya.

Jika doa dan permohonan kita hanya hal remeh-temeh dan pragmatis, maka itulah nilai dan hakikat diri kita yang sebenarnya. Hati kita pasti telah terpatri kepada semua itu, yang darinya akan menggerakkan seluruh instrumen fisik dan mental kita untuk berfokus kesana, dan hanya kesana. Jika doa dan permohonan kita adalah hal-hal besar dan agung, maka ia akan melahirkan energi untuk menggiring semua potensi yang kita miliki agar berkonsentrasi meraihnya.

Oleh karenanya, dalam salah satu munajat-nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyitir ucapan ini, “...janganlah Engkau (ya, Allah!) menjadikan musibah kami dalam agama kami, jangan pula menjadikan dunia ini sebagai hasrat dan kegelisahan terbesar kami, bukan pula sebagai sejauh-jauh batas pengetahuan kami...” Dengan kata lain, sebenarnya ada sangat banyak orang yang batas terjauh pengertiannya tidak melebihi apa yang mampu dilihat matanya, diraba kulitnya, didengar telinganya, dikecap lidahnya, dicium hidungnya. Bukankah Rasulullah sendiri sampai memasukkan hal ini dalam salah satu permohonannya? Di satu sisi, ini mengindikasikan betapa berbahayanya hal itu, dan di sisi lain memang banyak orang yang tergelincir dalam lobang perangkapnya: materialisme!

Kelemahan dalam doa adalah penyakit, yang diawali dari lemahnya ilmu, keyakinan, dan orientasi hidup. Tentu saja kita tidak dilarang untuk memohon kebaikan-kebaikan di dunia ini, sebab Al-Qur’an pun mengajarkan kepada kita untuk memintanya. Namun, kita tetap diperingatkan agar tidak mengabaikan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Itu berarti, doa memiliki dampak yang sangat kuat dalam membangun visi dan orientasi hidup manusia, dengan kata lain: “membangun iman”. Sedemikian pentingnya doa dalam membangun iman, sehingga Rasulullah sangat banyak mengajarkan doa kepada umatnya, untuk beragam kesempatan, keperluan, dan peristiwa. Itu dapat berarti pula, bahwa jika Anda ingin mengubah orientasi hidup Anda sendiri atau orang lain, mulailah dari mengubah doa dan pengharapan Anda. Ajarilah anak-anak dan murid Anda berdoa, sebab dengan itu Anda telah membentuk keyakinan dan jalan menuju masa depannya! Wallahu a’lam.

(*) Kamis, 11 Jumadil Awwal 1430 H, pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah, BMH Malang