MEWASPADAI PRASANGKA JAHILIYYAH


 
Bismillahirrahmanirrahim

“Kemudian Allah menurunkan kepada kalian ketentraman – setelah ketakutan yang sangat – yang berupa rasa kantuk yang menimpa sekelompok dari kalian (yang beriman). Dan sekelompok lain (yang munafiq) sungguh-sungguh tercekam oleh kekhawatiran terhadap dirinya sendiri, mereka berprasangka kepada Allah dengan tidak benar, yakni prasangka jahiliyyah. Mereka berkata, ‘Adakah kita masih punya peran sedikit saja dalam urusan ini?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya semua urusan itu ada di (tangan) Allah.’ Mereka menyembunyikan di dalam diri mereka apa-apa yang tidak mereka tampakkan kepadamu. Mereka berkata, ‘Kalau sekiranya kita masih punya peran sedikit saja dalam urusan ini niscaya kita tidak akan terbunuh disini.’ Katakanlah, ‘Seandainya kalian berdiam di rumah-rumah kalian, niscaya orang-orang yang telah diputuskan untuk mati itu akan ke luar ke tempat mereka terbunuh.’ Allah hendak menguji apa yang ada di dalam dada kalian dan agar Dia membersihkan apa yang ada di dalam hati kalian. Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang ada di dalam dada.”  
( QS Ali Imran : 154 )

Asbabun Nuzul
Ayat diatas berbicara tentang suasana panik dan pesimis yang meliputi sebagian pengikut Rasulullah dalam Perang Uhud. Orang-orang munafiq menebar provokasi yang memperlemah semangat jihad barisan mujahidin pimpinan Rasulullah SAW.
Sebelumnya, Rasulullah mengajak para Sahabat untuk berperang. Ketika beliau menyetujui pendapat kelompok yang ingin keluar menyongsong musuh, meninggalkan pendapat kelompok yang ingin bertempur di dalam kota, bibit-bibit nifaq pun mulai terlihat. Di perjalanan, sepertiga pasukan Rasulullah mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Ketika hasil akhir pertempuran terlihat mengecewakan pihak kaum muslimin, semakin kuatlah penyakit nifaq menancap di hati sebagian mereka. Ayat diatas merekam dialog-dialog tersembunyi kaum munafik. Ada semacam gerutuan yang diulang-ulang, yang disebut oleh al-Qur’an sebagai "prasangka jahiliyyah" (zhannul jahiliyyah).

Prasangka Jahiliyyah
Menurut Ibnu Katsir, gerutuan semacam itu adalah cermin orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan keraguan dan kebimbangan. Kebimbangan terutama terhadap janji Rasul-Nya, sebagaimana disebutkan oleh Raghib al-Ashfahani dalam al-Mufradat. Zhann (prasangka) adalah ungkapan untuk kepercayan yang setengah-setengah, setengah yakin sekaligus setengah ragu, walau masih ada kecenderungan untuk yakin.
Dewasa ini, prasangka jahiliyyah bisa mencakup kata-kata, keyakinan, pemikiran, atau wacana yang pada intinya meragukan kebenaran Islam. Prasangka semacam ini keluar bukan dari kalangan di luar Islam, namun dari dalam barisan kaum muslimin sendiri, yakni dari kelompok yang imannya cacat dan fikrah-nya menyimpang. Ayat ini memberi kaidah umum, bahwa sampai kapan pun iman yang cacat akan melahirkan pemikiran yang menyimpang pula, yakni prasangka jahiliyyah, atau zhann yang dilandasi ke-jahiliyyah-an terhadap syari’ah yang benar.
Sayangnya, kejahiliyahan macam ini sedang gencar dikampanyekan oleh kalangan tertentu yang mengaku bukan musuh kaum kafir, namun tak mau disatukan dengan mereka. Anehnya, mereka pun enggan didekatkan dengan kaum muslimin, tapi menolak dikeluarkan dari jamaah mereka.

Bagian Kemunafikan
Ayat yang memuat istilah “prasangka jahiliyyah” diatas membahas sikap kaum munafik. Di banyak tempat, karakter mereka secara rinci dipotret oleh al-Qur’an, dari sudut pandang kehidupan sehari-hari pelakunya. Sebab tentunya sebuah pemikiran tidak akan muncul begitu saja tanpa dilandasi suasana dan perilaku tertentu yang menyemai, merawat dan menumbuh-kembangkannya. Dengan memahami situasi tersebut, semoga kita bisa lebih berhati-hati dan segera menghindarinya. Diantara kelompok ayat yang memberikan uraian paling komprehensif adalah QS al-Baqarah (02) : 8-20 dan QS an-Nisaa' (04) : 137-147.
Dalam al-Baqarah, mereka dilukiskan secara detail sebagai orang-orang yang berusaha menipu Allah dan kaum mukminin (02:9). Tepatnya, berusaha menampakkan keimanan dan segala atribut kemegahan seorang mukmin, padahal itu palsu (02:8). Mereka juga disifati sebagai orang-orang yang licin dan keras kepala, dimana jika perilaku merusaknya ditegur akan balik menyerang dan menyatakan diri sebagai kelompok yang paling lurus (02:11). Mereka tidak pernah bisa menyadari kerusakan yang diperbuatnya (02:12). Rasulullah pernah mengkhawatirkan kelompok seperti ini, yakni kaum munafik yang sangat pandai bersilat lidah (HR Ahmad dan at-Thabrani).
Di dalam hati mereka sudah ada penyakit mental (02:10), “maradh”, yang menurut Raghib al-Ashfahani bermakna ‘tidak berada dalam kondisi stabil dan normal yang menjadi ciri khas manusia pada umumnya’. Bagian ini menjelaskan mengapa demikian banyak sikap-sikap kalangan ini yang tidak konsisten, penuh gagasan gila, menganut pemikiran yang nyeleneh, dan lain sebagainya.
Kelompok ini juga disebut-sebut sebagai sok intelek atau mengidap kesombongan intelektual yang kronis, dan menganggap orang-orang yang tidak beriman atau berpikir seperti mereka sebagai tidak cerdas (sufahaa') (02:13). Rasulullah SAW sendiri pernah menyitir bahwa mayoritas kaum munafik berasal dari kalangan Qurra’ (HR Bukhari), yakni para pengkaji al-Qur’an. Dalam an-Nisa', sikap ini diperjelas sebagai kegemaran duduk-duduk bersama orang-orang yang menjadikan al-Qur'an sebagai bahan ejekan. Mereka dengan kompak mengamini pendapat rekannya yang menyepelekan al-Qur'an (04:140). Fenomena pemikiran liberal sekarang mengkonfirmasi ramalan hadits diatas dengan sangat tepat, yakni pemikiran yang berbasis otak-atik al-Qur’an. Dengan kata lain, kelompok ini bukan komunitas tak terpelajar atau awam. Justru, mereka yang paling terpelajar lah yang pertama-tama menghadapi fitnah nifaq dalam kehidupan beragamanya. Sungguh mengherankan, kalangan ini rela menghabiskan seluruh masa keemasan dalam karir intelektualnya untuk membeo gagasan kaum kafir demi membatalkan al-Qur’an.
Namun, menurut al-Qur'an, mereka sekaligus licik dan pengecut. Di tengah-tengah komunitas kaum beriman, mereka mengaku mu’min. Namun, jika kembali ke habitat aslinya, mereka akan berkata bahwa itu hanya basa-basi (02:14). Dalam an-Nisa', diperlihatkan potret komunitas mereka, yang lebih memilih menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dan penolong, meninggalkan orang-orang mu’min (04:139). Dari mereka, mudah terdengar kritik sangat nyinyir terhadap tokoh-tokoh kaum muslimin sendiri, tapi banyak kutipan mereka yang tanpa komentar sedikitpun terhadap gagasan dan kehidupan para tokoh kafir. Kelompok ini pun sangat enggan terlibat dengan aktifitas nyata demi kemaslahatan kaum muslimin. Mereka cuma menunggu dan menjadi pengamat. Anehnya, jika kaum muslimin mendapat kemenangan, mereka segera berteriak mengungkit jasa. Sebaliknya, jika orang kafir yang berjaya, mereka akan 'menjilat' kepada kaum kuffar, “Bukankah kami turut memenangkanmu dan membelamu dari orang-orang mu’min?” (04:141). Demikianlah, karena hati mereka pun tidak pernah tenang dengan imannya (02:17-20). Mereka tidak ‘kesana’ tidak juga ‘kesini’. Alias, tidak tenang disebut mukmin namun menolak disebut kafir (04:143).
Dalam an-Nisaa’, akar kesesatannya diungkap jelas, bahwa mereka adalah sekelompok orang yang telah beriman, lalu kafir, lalu beriman lagi, lalu kembali menjadi kafir dan semakin bertambah kekufurannya (04:137). Mungkin, kita bisa menyebutnya sebagai kekufuran yang disengaja dan disadari, misalnya dengan bangga melanggar larangan Allah atau meninggalkan perintah-Nya. Kalangan ini akan sangat sulit diingatkan, dan Allah menyebutnya sebagai telah terkunci hatinya. Di Yogyakarta, seorang mahasiswi 'muslimah' menulis buku pengakuan, yang dengan tulus "meminta izin kepada Allah untuk melacur". Pun, sudah jamak dikenal, bahwa banyak diantara mereka yang terang-terangan tidak mengerjakan shalat fardhu atau puasa Ramadhan.
Wajar saja, sebab dalam hal ibadah, mereka sangat malas mengerjakan shalat. Kalaupun shalat maka ada tendensi pamer (riya’) di dalamnya, kebanyakan karena sungkan kepada orang lain. Itupun tak disertai kesadaran sedikitpun dalam hatinya tentang shalat itu, karena mereka amat sedikit mengingat Allah (04:142).
Demikianlah, prasangka jahiliyyah adalah pemikiran dan gagasan kaum munafik terhadap agamanya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang imannya cacat dan karakternya dirusak oleh ketidakpastian dalam melangkah mengikuti bimbingan Islam. Semoga Allah melindungi kita darinya. Wallahu a’lam bis-showab.


(*) Dzulhijjah 1425 H / Januari 2005 M