MENINGGALKAN YANG SIA-SIA

Bismillahirrahmanirrahim 

Dari al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiya-llahu 'anhum: Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wasallam bersabda, "Diantara (pertanda) baiknya keislaman seseorang adalah bila dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya." (Hadits riwayat Ahmad)

Bila seseorang sudah memutuskan untuk mendaki gunung yang tinggi dan terjal, apa yang akan disiapkannya? Jika ia seorang pendaki yang berpengalaman, ia akan lebih banyak menyiapkan peralatan dan bekal yang paling penting, paling ringan dibawa, dan tentunya tidak akan berlebihan. Bila pun ia harus membawa peralatan masak misalnya, ia tidak akan mengangkut kompor gas lengkap dengan tabung elpijinya. Sangat berat dan merepotkan. Ia pasti lebih memilih kompor portabel dengan parafin secukupnya. Kalau membutuhkan hiburan, ia tidak akan mau menggendong televisi layar datar 21", apalagi satu set home theatre. Ia pasti lebih memilih radio mini atau mp3 player seukuran gantungan kunci saja.
Mengapa demikian? Sebab, ia tahu persis tantangan yang akan dihadapinya. Medan yang bakal dia lalui sudah tergambar di depan matanya. Ia mungkin juga sudah membayangkan sudut-sudut kemiringan lereng gunung itu. Di medan semacam ini, sudah selayaknya seseorang menghemat energi, salah satunya dengan membawa hanya perbekalan yang paling penting dan seringan mungkin. Dengan disiplin mental seperti ini, perjalanannya kemungkinan besar lebih menyenangkan dan berakhir sukses. Tentu saja, bekal-bekal lain berupa ketrampilan, pengetahuan dan kesiapan fisik juga tidak boleh diabaikan.
Mari kita tarik ilustrasi diatas ke dalam arena kehidupan sehari-hari. Kita akan mengkaji dan mencari jawaban atas pertanyaan ini: bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu adalah sia-sia dan tidak penting? Apa yang menjadi standar dan rujukannya?
Sebagaimana ilustrasi diatas, kata kunci pertama adalah "tujuan". Pengetahuan yang mantap dan pasti tentang tujuan dari suatu aktifitas adalah titik tolak pertama untuk memulai perjalanan. Jika kita tidak menyadari arah dari apa yang sedang kita kerjakan, tidak lama lagi kita akan kehabisan energi dan semangat. Semua akan hampa dan kosong. Lebih celaka lagi, jika kita tidak mengerti harus mengerjakan apa. Maka, pada titik inilah akan muncul perilaku yang tanpa arah dan tidak memiliki relevansi dengan status dan tujuan kita yang sebenarnya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang duduk berjam-jam di depan layar play station adalah cermin ketidaksadaran terhadap status dan tujuannya. Ia telah melakukan sesuatu yang tidak relevan dan tidak penting. Tentu saja, yang relevan dan penting bagi seorang mahasiswa adalah belajar, bukan menghabiskan waktu dan sumberdayanya untuk bermain-main.
Kata kunci kedua adalah "pengetahuan yang memadai tentang hal-hal yang relevan dengan tujuan tersebut". Seorang pendaki gunung tentu tidak akan menyiapkan dan membawa-bawa peralatan menyelam ketika berangkat ke medan yang ditujunya. Alat menyelam memang penting, tetapi tidak relevan bagi aktifitas pendakian gunung. Ia tentu lebih membutuhkan tali temali atau sepatu yang kuat dan nyaman di kaki. Demikianlah, ketika pergi ke sekolah, seorang pelajar akan membawa buku-buku dan alat tulis, bukan golok atau bantal.
Sejauh ini, kita baru berbicara dalam skup kecil. Mari kita membahas skup yang lebih luas, yakni kehidupan. Bagaimana cara kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan sekarang ini, dalam hari-hari kehidupan kita, adalah sia-sia atau berguna? Pertama, tentu saja adalah menyadari apa tujuan hidup kita. Ketidaktahuan terhadap tujuan hidup adalah awal kesia-siaan. Dalam al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah agar mengabdi kepada-Nya semata. Maka, setiap aktifitas yang tidak memiliki nilai ibadah dan pengabdian kepada Allah adalah sia-sia dan tidak relevan. Kita dapat menderetkan beragam kegiatan mubadzir disini, seperti menonton acara-acara gosip, membaca media cabul, mendengarkan musik perangsang syahwat, atau menghabiskan waktu untuk ngobrol tanpa ada jluntrung-nya. Bagaimanapun juga, seseorang yang mengerti apa tujuan hidupnya, dia tahu apa yang baik ataupun tidak untuk dilakukannya. Hadits yang kita kutip di awal tulisan ini menegaskan ciri itu. Bahwa, seorang muslim yang baik akan meninggalkan segala sesuatu yang mubadzir, tidak produktif, sia-sia, tidak relevan, juga apa saja yang berbau maksiat. Sebab, ia tahu bahwa ia diciptakan bukan untuk itu.
Dengan kata lain, kesadaran terhadap tujuan hidup sangat menentukan terhadap apa yang harus kita kerjakan selama hidup. Karena kesadaran ini pulalah kita akan terdorong untuk mencari tahu bagaimana cara melakukan hal-hal yang relevan dengan tujuan itu. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka dia akan dibuatnya faqih (paham betul) terhadap urusan agamanya." Jika logika hadits ini kita balik, maka ia akan berbunyi begini: pemahaman yang baik terhadap urusan agama adalah awal karunia kebaikan bagi seseorang. Dalam hadits itu, hanya disebut secara umum kata "kebaikan", yang bisa bermakna kebaikan apa saja, baik di dunia maupun di akhirat. Hadits ini juga menegaskan bahwa – di mata Allah – kebaikan yang bakal diraih seseorang sangat tergantung kepada faktor pengatahuan dan pengamalan agama.
Tanpa kehadiran faktor agama, sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang layak disebut sebagai kebaikan; entah itu kesibukan, karir, kekayaan, kecantikan, popularitas, kekuasaan, gelar akademik, rumah megah, kendaraan mewah, dan lain-lain. Tanpa kehadiran agama di samping segala yang sudah disebutkan itu, maka semuanya adalah sia-sia. Standar dan ukuran sesuatu sia-sia atau berguna, penting atau mubadzir, adalah agama. Dan, seorang muslim yang baik pasti meninggalkan apa yang diketahuinya sebagai kesia-siaan dan kemubadziran. Bagaimana cara meninggalkannya? Pahamilah agama ini sebaik-baiknya, agar kita mengerti harus "diapakan", "dikemanakan" dan "dibagaimanakan" semua yang sekarang kita miliki. Wallahu a'lam.


(*) Jum'at, 30 Muharram 1429 H (08 Februari 2008)