MENDAHULUKAN IMAN DALAM MENYIKAPI AL-QUR'AN


Bismillahirrahmanirrahim

"Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari Malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia." (QS al-Muddatsir [74] : 31)

Asbabun Nuzul
Ayat 31 surah al-Muddatsir turun sebagai jawaban atas tanggapan miring, sinis dan mengolok-olok yang dikemukakan sebagian kafir Quraisy. Imam Ibnu Katsir, ath-Thabary, al-Qurthubi maupun as-Suyuthi menyebutkan banyak riwayat yang sama dan senada tentang situasi yang muncul di sekitar turunnya ayat-ayat ini. Semuanya merekam pelecehan yang dilandasi kejahilan akan hakikat akhirat.
Setelah turun ayat 30, "Diatasnya (neraka Saqar) ada 19 (penjaga)," maka Abu Jahal berkata kepada orang-orang Quraisy, "Sungguh sialan ibu-ibu kalian! Aku dengar Ibnu Abi Kabsyah memberitahu kalian bahwa penjaga Jahannam ada 19, padahal kalian lebih banyak dan lebih pemberani, maka apakah tidak mampu setiap sepuluh orang dari kalian meringkus salah satu dari mereka itu?" Disini, yang dimaksud Ibnu Abi Kabsyah – atau anak Abu Kabsyah – adalah Muhammad Rasulullah SAW, sebab gelar ayah susuan beliau adalah Abu Kabsyah.
Abul Aswad al-Harits bin Kaldah al-Jumahi juga berkata penuh nada mengejek, "Janganlah (angka) 19 itu membuat kalian ketakutan. (Sebab), aku akan menahan sepuluh dari mereka dengan pundakku yang sebelah kanan, dan sembilan yang lain dengan pundakku yang sebelah kiri, lantas kalian bebas untuk masuk ke surga." Dalam riwayat lain ia berkata, "Aku akan tangani untuk kalian 17 dari mereka, lalu dua sisanya menjadi bagian kalian." Orang yang berkata penuh kepongahan ini memang dikenal jago gulat yang gagah perkasa.
Maka, turunlah ayat 31, "Dan tidaklah Kami jadikan para penjaga neraka itu kecuali malaikat, dst", maksudnya tidak mungkin orang-orang kafir itu mampu mengalahkannya.

Membantah Logika Lemah
Ayat ini membantah logika remeh dan lemah yang dikembangkan oleh orang-orang kafir, bahwa mereka akan mengalahkan penjaga neraka yang berjumlah 19 itu. Sebab, para penjaga itu adalah malaikat, makhluk Allah yang terkuat dan perkasa, mustahil dikalahkan oleh manusia yang lemah dan kecil. Ketiadaan iman telah mendorong mereka untuk menciptakan khayalan bahwa keperkasaan manusiawi mereka akan mampu menandingi kekuatan malaikat.
Kondisi semacam ini berlaku hampir di setiap bagian dari hal ghaib yang wajib diimani. Bahwa, ketiadaan iman akan memicu seseorang untuk mengandalkan logika dan imajinasinya belaka, yang pada gilirannya tidak akan mampu memperoleh manfaat apapun dari cara berimannya. Tak lama kemudian syetan dengan mudah menggelincirkan lidah dan hatinya untuk menampakkan kekufuran, secara sadar ataupun tidak.

Mengedepankan Iman dan Ketaatan
Sebagaimana disinggung di muka, ayat ini turun sebagai tanggapan atas komentar miring Abu Jahal dan orang-orang kafir yang semisalnya. Asbab nuzul ayat ini memperlihatkan perbedaan pola pikir antara mukmin dan kafir. Mereka yang ingkar akan mendahulukan akalnya sebelum mempercayai wahyu. Jika akalnya tidak mampu memahami, maka pintu iman pun tertutup baginya. Demikianlah yang terjadi dewasa ini di kalangan sebagian umat. Mereka ada yang lebih mendahulukan akalnya sebelum imannya dalam menyikapi al-Qur'an. Jika ada ayat yang tidak sejalan dengan logika mereka, maka serta-merta ditolak dengan beragam alasan, atau ditakwil (dicarikan interpretasi lain) agar selaras dengan yang diinginkan.
Jika rasionalisme dan empirisme menjadi satu-satunya ukuran kebenaran, dimana manusia hanya bersedia menerima sesuatu yang fisika (wujud), menolak metafisika (makna di balik wujud), berarti keimanan kepada yang ghaib telah "dibunuh". Sayangnya, pola pikir yang menafikan otoritas wahyu ini justru diimpor ke Dunia Islam, dijejalkan kepada generasi muda dengan beragam embel-embel rancu. Padahal, jika sudah berkaitan khabar ghaib atau perintah qath'ie, yang berjalan adalah iman dan ketaatan, bukan logika maupun bukti empiris. Disini, berlaku kaidah tawaqquf, berhenti sebatas apa yang datang dari wahyu, tidak ada pintu bagi keberatan dan gugatan.
Islam sendiri tidak memusuhi akal atau mencampakkanya ke keranjang sampah. Sebagai bagian dari karunia Allah, maka ia memiliki fungsi tersendiri, dan dengan demikian tidaklah mungkin baginya untuk terlepas dari pagar-pagar syariat. Jika tangan, kaki, mata, telinga, lidah, kemaluan harus taat kepada syariat dalam penggunaannya, maka akal pun demikian.
Ayat ini melukiskan dengan gamblang efek khabar ghaib tentang penjaga neraka tersebut bagi kedua kelompok. Keimanan seorang mukmin membimbingnya untuk semakin yakin. Sebab, neraka adalah ghaib, jauh di luar jangkauan nalar, sehingga pemberitaan tentangnya hanya mungkin datang dari Allah yang Maha Tahu segala yang ghaib. Berita tentang ini semakin mempertebal iman, karena Allah telah berkenan menyingkap sebagian rahasia dari alam ghaib bagi mereka. Dengan kata lain, semakin kuat keyakinan mereka bahwa neraka itu haqq adanya, karena para penjaganya pun telah disiapkan. Dari sini, mereka termotivasi untuk beramal shalih, menjaga dirinya dari neraka. Namun, bagi orang kafir, berita semacam itu hanya menambah fitnah. Ada yang menafsirkan kata fitnah disini dengan adzab, kesesatan, atau kecelakaan dan bencana. Kesemuanya bermuara pada satu kondisi nyata yang akan diterima mereka yang mendustakannya, yakni murka Allah.
Ayat ini secara eksplisit juga menyebut kelompok lain yang suka mempermasalahkan khabar al-Qur'an, yakni mereka yang di dalam hatinya ada penyakit (maradh), berupa keraguan (syakk) dan iman yang cacat atau palsu (nifaq). Dengan kata lain, ayat ini menunjukkan gejala lahiriah yang mudah dideteksi tentang adanya kemunafikan dan kekufuran di hati seseorang. Jauh-jauh hari al-Qur'an telah meramalkan ciri khas ucapan maupun cara berpikir kalangan yang mendustakannya, dengan mengekspose pemikiran mereka yang tersembunyi. Sebagaimana dimaklumi, surah al-Muddatsir turun ketika Rasulullah masih di Makkah, sementara fenomena kemunafikan baru muncul setelah beliau hijrah ke Madinah. Demikian menurut penjelasan Imam al-Qurthubi.
Ayat-ayat semacam inilah yang paling ditakutkan oleh kaum munafik, yang membuka secara terang-terangan kedok mereka. "Orang-orang munafik itu takut jika diturunkan terhadap mereka suatu surah yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakan kepada mereka, 'Teruskan ejekan kalian (kepada Allah dan Rasul-Nya)'. Sesungguhnya Allah akan mengeluarkan apa yang kalian takutkan itu." (QS at-Taubah [09] : 64). Sudah jamak dikenal, bahwa orang-orang semacam ini – dulu dan sekarang sama saja – paling tidak mau dihakimi pemikirannya. Mereka sesungguhnya tidak mempunyai landasan yang teguh. Yang ada hanyalah selera nafsu, kesombongan akademis, diatas dalih kebebasan berpendapat dan berekspresi, atau 'membuka kembali pintu ijtihad'. Na'udzu billah.
Sebagian Sahabat berkisah, bahwa yang membedakan mereka dengan generasi berikutnya dalam menyikapi al-Qur'an adalah, "Kami diberi iman sebelum diberi al-Qur'an." Maksudnya, dengan iman yang telah terpatri kokoh di hati itulah segala yang datang dari Allah tidak lagi dipermasalahkan. Bagaimana mungkin membuat seseorang mempercayai al-Qur'an jika ia tidak mengimani Allah, malaikat, dan Rasulullah? Maka, kesempurnaan penghayatan, penerimaan dan pengamalan kita terhadap isi al-Qur'an sangat tergantung kepada kesempurnaan iman kita kepada Allah, malaikat dan Rasulullah SAW. Cacatnya iman dalam aspek ini akan mengakibatkan penerimaan, penghayatan dan pengamalan yang cacat atau bahkan keliru terhadap al-Qur'an. Singkatnya, Rukun Iman yang enam tidak mungkin dilepas sendiri-sendiri, sebab satu sama lain saling mempengaruhi.
Ketika Rasulullah sudah di Madinah, pembeberan sejenis ini diulang kembali dengan lebih jelas. Dalam surah Ali 'Imran [03] : 7, Allah mengingatkan, "Dia lah (Allah) yang telah menurunkan kepadamu al-Kitab, diantaranya ada yang muhkamat, itu adalah Ummul Kitab (induk al-Kitab), dan yang lainnya mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada (kecenderungan) menyimpang maka mereka akan mencari-cari yang samar-samar (mutasyabih) dari al-Kitab itu untuk menimbulkan fitnah dan hendak mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang memahami takwilnya selain Allah. Dan, orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, 'Kami beriman kepadanya, semua berasal dari Tuhan kami', dan tidaklah mengingat hal ini kecuali orang-orang yang berakal (ulul albab)."
Apa yang diungkapkan ayat ini cukup jelas, mengenai sikap seorang mukmin, yang teguh iman dan mendalam ilmunya; berseberangan dengan mereka yang hatinya dipenuhi kecenderungan untuk menyimpang. Dengan kata lain, seorang mukmin memilih mengikuti al-Qur'an, bukan penilaian dirinya sendiri. Sedang orang-orang yang menyimpang itu pada dasarnya tidak mengimani al-Qur'an, sebab ketika mengkajinya pun sudah dimulai dengan keinginan untuk mencari-cari "makna lain", demi melegitimasi pendapat dan keinginan hawa nafsunya. Dalam ayat 8, kelanjutan ayat diatas, diajarkan doa yang selayaknya diucapkan oleh seorang mukmin, "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau memalingkan hati kami setelah Engkau beri kami petunjuk, dan berilah kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi." Ini adalah etika seorang ulama', dan juga bagi semua mukmin, bahwa diatas segenap ilmu pengetahuan yang dimilikinya, tidak pernah melepaskan diri dari upaya meraih hidayah, bukan sekedar mencari-cari kepuasan intelektual atau popularitas. Wallahu 'alam bish-shawab.

(*) Selasa, 21 Shafar 1427 H