MEMULAI SEGALANYA DENGAN ILMU



Bismillahirrahmanirrahim

"Maka, ketahuilah, sesungguhanya tidak ada ilah (yang haqq) selain Allah, dan mintalah pengampunan atas dosa-dosamu dan kaum mukminin serta mukminat. Allah Maha Mengetahui tempatmu berusaha dan tempatmu tinggal."
(QS Muhammad [47] : 19)

Pentingnya Ilmu
Sejak awal Islam telah menimbulkan suatu revolusi terhadap konsep "agama" dan maknanya bagi manusia. Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan sains, agama dengan politik, ibadah dengan muamalah, dunia dengan akhirat, "bumi" dengan "langit"; semua hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Oleh karenanya, memahami konsep agama dalam perspektif Islam adalah sebuah kepentingan yang tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan kepribadian Islami (syakhshiyyah islamiyah).
Islam adalah konsep komprehensif atas segenap aspek kehidupan, bukan semata-mata berisi ritual dan doa-doa. Islam adalah ad-dien, bukan sekedar religion atau agama. Dengan selesainya masa pewahyuan, maka Islam telah memiliki konsep yang khas, komprehensif (syamil) dan lengkap (kamil) tentang dirinya, manusia, kehidupan, dan bagaimana menghubungkan semua itu dalam satu kesatuan (tawhid), demi mewujudkan pengabdian tunggal kepada Allah.
Kita tidak bisa memakai frame-work Barat atau tradisi-tradisi agama pagan dalam memaknai Islam, terutama dalam kaitannya dengan kehidupan. Diantara sekian banyak isu mendasar dalam peradaban umat manusia yang direvolusi oleh Islam adalah konsep ilmu. Dalam Islam, ilmu dilepaskan dari segala unsur mitos, magis, ateisme, prasangka tak berdasar, dan hal-hal yang bersifat pseudo-science (sains semu) lainnya. Contoh sains-semu adalah astrologi. Selain mengakui pencapaian ilmu melalui upaya-upaya eksperimental dan empiris, Islam juga meneguhkan bahwa ada sumber otoritas mutlak dalam ilmu, yakni wahyu dan kenabian. Sejak wahyu pertama turun, perintah pertama adalah iqra', yang memiliki makna dasar darasa (mengkaji), faqiha (memahami), jama'a (mengumpulkan), dan hafizha (menghafal).
Para ulama' generasi terdahulu pun telah mengisyaratkan pentingnya ilmu dalam karya-karya mereka. Imam al-Bukhari memulai kitab al-Jami' ash-Shahih dengan Kitab Bad'il Wahyi (awal mula turunnya wahyu), yang mengisyaratkan pengakuan terhadap otoritas tertinggi wahyu sebagai sumber ilmu. Maklum, wahyu pertama adalah surah al-'Alaq ayat 1-5, dimana di dalamnya Allah berfirman "alladzi 'allama bil qalam, 'allamal insana ma lam ya'lam" (Dialah Allah yang mengajar dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya). Hampir seluruh tafsir akan mencantumkan riwayat detail dan panjang tentang al-qalam (pena) dan peran sentralnya dalam peradaban. Bahwa, al-qalam adalah ramz al-'ilmi wa at-ta'lim (simbol ilmu dan pengajaran). Ilmu adalah ruh Islam. Tanpanya, Islam akan mati. Demikian pulalah, ayat yang kita kutip di awal kajian ini memproklamirkan bahwa kewajiban pertama seorang muslim adalah mengenal Allah dengan ilmu, bukan dogma dan mitologi.
Kitab al-'Ilmi ditempatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai bab ke-3, setelah Kitab Bad'il Wahyi dan Kitab al-Iman. Jadi, dalam konsep beliau, ada semacam keterkaitan antara wahyu, iman, dan ilmu. Bahkan, di dalamnya ada bab yang berjudul Bab al-'Ilmi qablal Qaul wal 'Amal (pasal tentang ilmu sebelum berbicara dan berbuat), yang merupakan pasal ke-10 dalam Kitab al-'Ilmi. Imam al-Ghazali memulai kitab Ihya' 'Ulumiddin-nya dengan Bab al-'Ilm. Dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib, Imam al-Mundziry menempatkan Kitabul 'Ilmi : at-Targhib fil 'Ilmi wa Thalabihi wa Ta'allumihi wa Ta'limihi wa ma Jaa'a fi Fadhlil 'Ulama' wal Muta'allimin (Bab tentang Ilmu : Motivasi tentang Ilmu, Mencari Ilmu, Mempelajari dan Mengajarkannya, serta Riwayat lain tentang Keutamaan Ulama' dan Pelajar), sebelum bab-bab ibadah seperti bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, dan bahkan jihad fi sabilillah.

Para Sahabat Menuntut Ilmu
Tak mudah menggambarkan semangat para Sahabat menuntut ilmu. Bukan karena sedikitnya data, namun karena melimpah-ruahnya riwayat tentang hal itu sehingga mustahil dirangkum dalam artikel seringkas ini. Sebagai bukti adalah terawatnya al-Qur'an serta ribuan hadits Rasulullah dalam berbagai kitab yang shahih dan mu'tabar (kredibel). Jika tidak ada tradisi ilmu yang sangat kuat di tengah-tengah mereka, tentu kita di zaman ini akan bernasib sama dengan kaum Nasrani dan Yahudi, dimana agama mereka telah kehilangan otentisitas karena sumber-sumber aslinya tidak terawat dan tidak mungkin ditelusuri kembali.
Banyak diantara Sahabat yang kemudian dikenal sebagai para "Raja Perawi Hadits", yang menghafal dan mentransmisikan kembali ribuan hadits Nabi secara lisan dari ingatan mereka. Pada generasi berikutnya, rekor ini dipecahkan dengan lebih spektakuler lagi. Menurut sebuah catatan, Imam al-Bukhari menghafal sekitar 100.000 hadits shahih, dan kurang lebih 200.000 hadits lainnya dari berbagai tingkatan.
Adalah mengherankan, bahwa para Sahabat sangat teliti memperhatikan "peragaan" Rasulullah dalam segala hal. Bahkan, banyak diantaranya yang sangat sepele. Riwayat tentang rambut, jumlah uban, bentuk wajah, postur tubuh, gigi, cara berjalan, dan lain-lain diingat dengan baik. Ada riwayat yang melimpah tentang cara menyisir rambut, memakai alas kaki, masuk kamar kecil, cara berpakaian, dsb. Sebagian kecil mereka ada yang mencatat, dan mayoritas menghafalnya di luar kepala. Seluruh "peragaan" itu kemudian dikenal sebagai as-Sunnah, yang mencakup ucapan, tindakan, keputusan, dan gambaran sifat Rasulullah SAW.
Mengapa ilmu sedemikian penting bagi para Sahabat dan generasi terdahulu dari umat ini?

Ilmu adalah Landasan Taqwa
Dalam kitab Ta'limul Muta'allim, Syekh az-Zarnuji menulis, "Kemuliaan ilmu semata-mata karena ia merupakan perantara menuju taqwa, dimana dengannya manusia memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan kebahagiaan abadi."
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dasar takwa adalah hendaknya hamba mengetahui yang harus dijaga kemudian dia menjaga diri.” Beliau juga berkata, “Barangsiapa menempuh suatu jalan yang dikiranya jalan ke Surga tanpa dasar ilmu, maka benar-benar telah menempuh jalan yang paling sukar dan paling berat, dan tidak menyampaikan kepada tujuan dengan kesukaran dan beratnya itu.”
Seorang ulama’ salaf yang lain berkata, “Bagaimana akan menjadi muttaqin, orang yang tidak mengerti apa yang harus dijaga?”
Imam asy-Syafii dalam kitab ar-Risalah berkata, "Adalah haqq bagi bagi seorang pencari ilmu untuk mencapai puncak kesungguhannya dalam memperbanyak ilmu, bersabar menghadapi rintangan yang menjauhkannya dari mencari ilmu, mengikhlaskan niat kepada Allah dalam mendapatkan ilmu baik secara tekstual (hafalan) maupun dengan menyimpulkan (analisa), serta berharap kepada pertolongan Allah di dalamnya karena tidak ada yang memperoleh kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya."
Beliau juga berkata, "Sesungguhnya seseorang yang memperoleh ilmu tentang hukum-hukum Allah dalam Kitab-Nya, baik secara tekstual (hafalan) atau dengan cara mencari dalil (istidlal), maka Allah akan memberinya taufiq untuk berbicara dan berbuat sesuai apa yang diketahuinya tersebut, beruntung dengan karunia dalam agama dan dunianya, terhindar dari keraguan, bersinar terang hikmah dalam hatinya, dan berhak untuk mendapat kedudukan sebagai imam (pemimpin) dalam agamanya."

Hidayah adalah Buah Ilmu
Dalam muqaddimah kitab Bidayatul Hidayah, al-Ghazali menyatakan bahwa hidayah adalah tsamratul 'ilmi (buah dari ilmu). Dengan kata lain, hidayah tidak akan tercapai tanpa landasan ilmu, dan niat mencari ilmu haruslah demi meraih hidayah Allah. Menurut beliau, dalam menuntut ilmu, manusia terbagi menjadi 3 golongan : satu selamat, satu berada dalam bahaya, dan satu lagi pasti binasa.
Pertama, kelompok yang akan selamat, yakni orang yang mencari ilmu sebagai bekal menghadap Allah, tidak menghendaki selain ridha-Nya dan kebahagiaan ukhrawi.
Kedua, kelompok yang berada dalam bahaya besar, yakni orang yang mencari ilmu demi tujuan pragmatis, seperti status sosial, pangkat, dan harta. Jika ia meninggal sebelum bertaubat, boleh jadi ia mati su'ul khatimah. Urusan dirinya pun berada di tepi jurang, tergantung kehendak Allah; entah diampuni atau disiksa. Jika ia mendapat taufiq untuk bertaubat, lalu menyatukan ilmunya dengan amal, sekaligus berusaha menggenapi segala yang pernah terlewatkan, maka ia akan menyusul kelompok beruntung diatas.
Ketiga, orang yang dikendalikan oleh syetan, yakni terus mencari ilmu namun hanya sebagai sarana menumpuk harta, mengejar pangkat dan berbangga diri dengan banyaknya pengikut. Ia memanfaatkan ilmunya untuk memasuki segala celah demi meraih dunia dan semua keinginan hawa nafsunya. Dia merasa mulia di sisi Allah, karena ia mengenakan simbol-simbol para ulama', baik dalam berpakaian maupun berbicara. Ironisnya, semua itu disertai kegesitan untuk meraup keuntungan duniawi. Inilah orang dungu yang tertipu dan terputus harapan darinya untuk bertaubat, sebab ia menyangka dirinya termasuk orang-orang yang berbuat baik (muhsinin). Mereka inilah para ulama' as-suu' (orang pintar yang jahat), yakni orang-orang yang keberadaannya lebih dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW dibanding Dajjal sekalipun. Mereka hanya ingin menyesatkan manusia, memalingkan mereka pada harta dan kenikmatan duniawi, baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Merekalah penyebab semakin beraninya orang-orang awam untuk berpaling kepada dunia. Sebab, orang awam takkan berani mengharapkan dunia kecuali para ulama'-nya telah berbuat demikian terlebih dahulu. Na'udzu billah.

Wallahu 'alam bish-shawab.


(*) Jum'at, 19 Sya'ban 1426 H; pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah, BMH Malang