MELATIH JIWA MENAATI ALLAH

 
Bismillahirrahmanirrahim
 

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (QS al-Balad: 04)

Seorang pelari jarak jauh, yang sanggup menempuh puluhan kilometer dalam sekali berlomba, tentu tidak secara tiba-tiba memperoleh kemampuannya itu. Seorang atlet angkat berat yang kuat mengangkat barbel puluhan kilogram, tidak hanya satu dua tahun melatih ototnya. Demikian pula kita saksikan para master di bidangnya masing-masing, mereka tidak secara instan mendapatkan keahliannya. Apa pun yang hari ini tampak mengagumkan bagi orang lain, sebenarnya merupakan puncak dari ketekunan, keuletan, ketabahan, visi yang konsisten, bahkan tidak jarang merupakan rangkaian derita dan air mata. Apa yang mereka lalui dengan penuh kesabaran bertahun-tahun silam, kini membuahkan hasil gemilang.
Begitulah kita, manusia. Allah menciptakan kita untuk berjuang dan bekerja keras mewujudkan kebaikan-kebaikan yang diharapkan. Allah tidak menurunkan rizki dalam bentuk instan yang siap saji, tetapi dalam bentuk alam dan seisinya yang telah Dia tundukkan bagi kita. Tanah mesti diolah dan diairi agar layak ditanami dan membuahkan hasil. Ternak mesti dirawat dan diperhatikan agar sehat dan memberikan manfaatnya. Tentu saja, masih banyak contoh lain yang bisa dideretkan disini.
Sejauh ini, semua itu adalah gambaran dari alam fisik di luar diri kita. Lalu, bagaimana dengan alam batin di dalam diri ini? Apakah semua hukum dan kebiasaan di alam materi itu juga berlaku atas jiwa?
Ayat yang kita kutip di awal artikel ini menjawabnya. Seperti dikatakan oleh para ahli tafsir, manusia memang diciptakan untuk berjuang dan bekerja keras menghadapi beragam kesulitan dunia dan akhirat. Dalam urusan dunia, kita harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Beragam kesulitan juga telah ditempuh seseorang sejak masih dalam kandungan ibunya. Ketika telah lahir, ia tidak serta merta diberikan kemampuan layaknya manusia dewasa. Tahap demi tahap harus ia lalui, dengan penuh kesukaran dan rintangan, sebelum akhirnya mencapai kematangan. Maka, dalam urusan akhirat pun sebenarnya manusia harus berjuang dan bekerja keras untuk meraih kebaikan-kebaikan yang diharapkannya. Bagaimana pun juga, jiwa harus dilatih untuk mampu menanggung beban-beban yang sudah menjadi bagiannya, demi meraih kebahagiaan akhirat.
Perhatikan, dewasa ini banyak orang yang dibuat cemas bila kelak tulang-tulangnya menjadi rapuh, sehingga sedari sekarang disarankan meminum susu berkalsium tinggi. Banyak wanita didorong untuk panik jika kulitnya pelan-pelan menjadi keriput dan menua, sehingga sejak dini didorong membeli produk perawatan kulit tertentu. Beragam produk lain juga "membimbing" kita untuk mempersiapkan sesuatu bagi otot, otak, atau jantung, agar kelak tetap mampu berfungsi maksimal saat usia semakin lanjut.
Lalu, bila untuk tulang, otot, otak atau jantung kita sibuk melatih dan mempersiapkan segala upaya sejak dini, bagaimana dengan jiwa kita? Tidakkah kita mempersiapkan segala sesuatu bagi jiwa ini, sejak kita masih muda belia, agar kelak ia tetap berfungsi secara prima di usia renta? Bila memang tidak ada pelari lintas alam yang berlatih hanya sehari sebelum meraih medali; bila memang tidak ada atlet angkat berat yang langsung mengangkat barbel puluhan kilogram setelah sehari melatih otot dan tulangnya; bila memang tidak ada pemikir cerdas yang menelurkan ide-ide brilian setelah sehari berproses; maka apakah kita masih percaya akan ada orang yang sanggup menjadi taat kepada Allah dengan ringan hati dan penuh ketulusan hanya setelah sehari menjalaninya?
Dalam sebuah hadits, Allah memuji 7 golongan manusia, salah satunya para pemuda yang sejak belia tumbuh dalam tradisi ketaatan kepada Allah. Hari-harinya dipenuhi amal kebajikan. Di dunia ini mereka berusaha mencari keteduhan dengan bernaung di bawah payung syari'at-Nya, sehingga kelak di akhirat Allah akan menanungi mereka di saat tiada naungan lagi selain dari-Nya. Amal para pemuda itu menjadi sangat bernilai, sebab di saat segala sesuatu masih cukup leluasa untuk dilakukan, mereka hanya memilih Allah. Mereka tidak menunggu renta dan rapuh, saat banyak hal menjadi terbatas bagi mereka.
Memenuhi hari-hari dengan amal kebajikan tidak identik dengan duduk di mihrab dan tidak pernah keluar, lalu bergaul dengan sesamanya. Duduk di mihrab untuk mengingat Allah adalah kebajikan, tetapi bukan satu-satunya dan bukan segalanya. Pergi ke pasar dan berdagang dengan jujur adalah kebajikan. Berangkat ke kampus atau sekolah dan belajar dengan tekun adalah kebajikan. Menjalani profesi dengan amanah dan penuh tanggung jawab adalah kebajikan. Demikian pula menutup aurat dengan sempurna, menjaga pandangan dan pergaulan, menjalin silaturrahim, menebar salam, dan lain-lain.
Tetapi, satu hal yang tetap harus kita garis bawahi dalam artikel ringkas ini, bahwa jiwa adalah bagian dari kemanusiaan kita. Jika kita harus melatih otot maupun otak agar memiliki kemampuan yang lebih di suatu hari nanti, demikian pula dengan jiwa. Kita harus melatihnya untuk menanggung beban-beban sejak dini, agar kelak menjadi kokoh dan bertenaga, dengan izin Allah. Bila kita berharap tetap menaati Allah sampai kapan pun, dan mencapai puncaknya ketika Allah memanggil kita kembali kepada-Nya, maka berlatihlah dalam ketaatan sedari mula. Semoga Allah memberikan berkah-Nya dengan husnul khatimah. Wallahu a'lam.


(*) Kamis, 22 Muharram 1429 H (31 Januari 2008); pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah, BMH Malang