KONSEKUENSI PERBUATAN KITA


Bismillahirrahmanirrahim

Setiap perbuatan kita, kecil maupun besar, terang-terangan atau tersembunyi, pada kenyataannya akan membawa konsekuensi atau akibat tertentu. Adakalanya konsekuensi itu kecil dan tidak terasa, namun adakalanya justru sangat besar dan menakutkan. Bisa jadi akibat itu akan tampak di dunia, atau ditunda sampai di akhirat kelak. Oleh karenanyalah, dari waktu ke waktu kita dianjurkan untuk beristighfar, memohon ampunan kepada Allah, agar terhindar dari akibat buruk perbuatan-perbuatan kita sendiri. Sebab, sangat boleh jadi kita merasa hanya mengerjakan sesuatu yang sepele, namun di mata Allah sangat besar!
Tidakkah Anda pernah mendengar kisah orang yang masuk neraka gara-gara seekor lalat?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seseorang bisa masuk surga karena gara-gara seekor lalat dan ia juga bisa masuk neraka karena gara-gara seekor lalat pula.” Mereka (para shahabat) bertanya: “Bagaimana hal itu bisa terjadi ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ada dua orang laki-laki melewati suatu kaum yang menyembah patung. Mereka tidak akan membiarkan seorang pun lewat kecuali setelah mempersembahkan sesutu kepada patung tersebut. Mereka berkata kepada salah satu dari keduanya, “Berkorbanlah!” Ia menjawab, “Aku tidak punya sesuatu pun untuk aku persembahkan kepadanya.” Mereka berkata, “Berkorbanlah meskipun hanya seekor lalat.” Kemudian ia berkorban dengan seekor lalat, mereka pun membiarkannya lewat, maka ia masuk neraka. Kemudian mereka berkata kepada yang satunya, “Berkorbanlah!” Ia menjawab, “Aku tidak akan berkorban dengan sesuatu pun kepada selain Allah Ta’la.” Kemudian mereka membunuhnya, maka ia masuk surga”. (HR. Ahamad. Hadis ini mursal-shahabiy dari Thariq bin Syihab. Bisa dijadikan hujjah).
Tampaknya hanya mengorbankan seekor lalat, bukan? Bukankah ia sangat sepele? Berapakah harga seekor lalat? Atau, adakah seekor lalat itu cukup berharga untuk dikorbankan? Lalu, mengapa di mata Allah ia menjadi sangat besar sehingga mengantar orang itu ke neraka?
Ternyata, bukan lalatnya, namun tujuan pengorbanannya. Ketika ia dipersembahkan sebagai bukti kepatuhan kepada berhala, maka kemusyrikan pun telah terjadi. Wajar saja ia berbuah neraka, bukankah “syirik adalah kezhaliman yang paling besar”? (QS Luqman: 13). Dan, bukankah “Allah tidak bersedia mengampuni dosa syirik, namun mau mengampuni yang selain itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya?” (QS an-Nisa’: 48 dan 116).
Disinilah pentingnya sikap hati-hati dan waspada, sebab kita seringkali lalai dan tidak begitu mempertimbangkan tindakan-tindakah kita sendiri. Kehati-hatian adalah inti taqwa dan wara’ (menjauhi yang haram dan syubhat), yang merupakan pilar utama agama dalam diri kita. Tanpa ketaqwaan dan sikap wara’, sangat boleh jadi segala hal menjadi boleh dan diterjang tanpa keberatan sedikitpun.
Sifat taqwa dapat diibaratkan ketika kita berjalan di sebuah jalan yang penuh lobang dan duri, sehingga setiap langkah yang kita pijakkan diperiksa betul-betul. Atau, seperti seorang prajurit yang terpaksa menembus ladang ranjau. Ia tahu persis bahwa di petak tanah di hadapannya tertanam ranjau-ranjau, walau ia tidak tahu di sebelah mana disembunyikan. Maka, pengetahuannya itu akan membimbingnya untuk bersikap ekstra hati-hati. Setiap langkah akan diperiksa, sebab keselamatannya tergantung pada keputusannya untuk melangkah ke suatu titik, atau menghindar dan mencari pijakan lain.
Namun, inilah kita manusia. Sungguh banyak persoalan yang berlalu dan kita tidak benar-benar mempertimbangkannya dengan matang. Kita juga tidak tahu apakah akibatnya nanti baik atau buruk bagi kita, entah di dunia ini maupun di akhirat kelak. Sebagai misal, di masa muda, kita sering tidak pikir panjang untuk melahap apa saja yang dapat kita temukan. Belakangan, kita akhirnya terserang aneka penyakit dan gangguan, seperti diabetes, hipertensi, stroke, gagal ginjal, serangan jantung, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, kita memiliki jiwa, yang bisa sehat atau sakit. Tentu saja, ia akan jatuh sakit dan bahkan mati oleh tumpukan dosa dan kesalahan yang kita perbuat, sebagaimana fisik kita bisa ambruk gara-gara kesembronoan gaya hidup dan pola makan. Kematian fisik akan menutup amal dan tinggallah kita menanti hisab, namun bagaimana dengan kematian jiwa? Tatkala jiwa kita yang mati, maka ia akan terus-menerus menumpuk dosa dan kesalahan, semakin menggunung dan akhirnya membuat kita tidak bisa bangkit samasekali. Pada saat itu, kebenaran akan terasa pahit dan amal-amal kebajikan akan terasa memuakkan. Na’udzu billah. Bukankah Allah telah berfirman, Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. (QS al-Muthaffifin: 14).
Oleh karenanya, berdoa memohon perlindungan Allah itu sangat penting, terutama dari keburukan tindakan-tindakan kita sendiri. Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, “Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kebodohanku, tindakan melampaui batas yang kuperbuat, dan juga segala perkara yang Engkau sendiri lebih mengetahuinya dibanding diriku. Ya Allah, ampunilah apa yang kuperbuat dengan sungguh-sungguh, yang kulakukan dengan main-main, yang terjadi tanpa kusengaja, dan juga yang kusengaja, semua itu dariku. Ya Allah, ampunilah apa yang telah kuperbuat maupun yang belum, apa yang kurahasiakan maupun terang-terangan, dan juga segala perkara yang Engkau sendiri lebih mengetahuinya dibanding diriku. Engkaulah yang menyegerakan maupun menunda (siapa saja dari rahmat maupun hukuman-Mu), dan Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Hadits riwayat Bukhari-Muslim. Redaksi ini dari Muslim).


(*) Sabtu, 28 Syawal 1430 H – 17 Oktober 2009; pernah dimuat Lembar Tausiyah, BMH Malang