KINERJA GURU MENURUT STANDAR HISBAH


Bismillahirrahmanirrahim

[ Paparan standar quality control profesi keguruan di zaman Kesultanan Mamluk Mesir ]

Pengantar
Kita – sebagai umat – pernah mengenyam masa keemasan yang tak tertandingi di zaman-zaman silam, dan bahkan keagungannya tidak juga dapat disamai oleh peradaban lainnya hingga kini. Tentu saja, segenap kehebatan itu tidak mungkin lahir dari ruang kosong. Peradaban yang sangat besar dan mencakup wilayah sangat luas itu tentu didukung oleh jutaan sumberdaya manusia yang dididik dalam suatu kurikulum serta materi tertentu, yang dengan demikian mengharuskan adanya berbagai lembaga maupun profesi resmi yang berjalan dan diawasi menurut suatu standar khusus.
Sejauh penelusuran para ahli sejarah pendidikan Islam, berbagai aspek pendidikan tinggi di zaman itu dapat dilacak dengan cukup detail dan baik. Namun, sayang sekali, adalah sangat sulit – sejauh ini – untuk menemukan sebuah dokumen lengkap yang memuat bagaimana pendidikan dasar dan menengah di zaman itu diselenggarakan, termasuk bagaimana para guru mengemban profesinya. Rekonstruksi pendidikan Islam masa klasik – yakni, zaman keemasan – itu baru selesai pada level pendidikan tinggi, dan masih menyisakan tanda tanya besar untuk pendidikan dasar serta menengahnya. Bahkan, sebagian ahli berkesimpulan bahwa jenjang pendidikan menengah itu sebenarnya tidaklah ada dalam konteks pendidikan Islam klasik.
Fenomena “kekosongan” ini sebenarnya cukup wajar, mengingat para sarjana yang kemudian tampil cemerlang pasti baru dicatat dengan detail di puncak kejayaan karir ilmiahnya, dengan sangat sedikit memori tentang bagaimana mereka melalui tahap-tahap pendidikan dasarnya jauh sebelum itu. Di sisi lain, lembaga pendidikan dasar (dan, mungkin menengah) pada umumnya diselenggarakan atas inisiatif personal atau komunitas tertentu, masing-masing bersifat independen, dan tanpa campur tangan negara, sehingga agak sulit menemukan satu muatan kurikulum yang seragam dan identik dalam skala luas.[1]
Namun, bukan berarti tak terdapat fragmen-fregmen tertentu yang dapat dipadu-padankan. Seperti para arkeolog yang meneliti fosil-fosil dalam ilmu alam, para sejarawan mencoba menggali bukti-bukti yang berserak di berbagai tempat untuk mencoba membangun-ulang model pendidikan dasar di zaman itu. Salah satu manfaat dan tujuan utama proyek ini adalah merumuskan sebuah konsep aplikatif yang dapat diterapkan dalam menyelenggarakan pendidikan dasar di zaman modern, yang berakar kepada nilai-nilai dan tradisi Islam.
Secara pribadi, kami juga berusaha melakukan hal yang sama, dan sebagian yang dapat kami temukan adalah apa yang dicatat dalam Ma’alimul Qurbah fi Thalabil Hisbah, karya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Zaid, al-Qurasyi, asy-Syafi’i, Dhiya’uddin, al-muhaddits, atau lebih dikenal sebagai Ibnul Ukhuwwah. Beliau lahir tahun 648 H (1250 M) dan meninggal tanggal 02 Rajab 729 H (+ 02 Mei 1329 M)[2]. Tanggal-tanggal ini menginformasikan bahwa beliau hidup di zaman pemerintahan Mamluk di Mesir (1250-1517 M), atau tidak lama setelah kejatuhan Baghdad ke tangan bangsa Mongol (1258 M).
Judul kitab tersebut dapat diterjemahkan – secara bebas – sebagai “Panduan Meniti Karir Pejabat Hisbah”, walau makna aslinya adalah “rambu-rambu untuk mendekatkan diri (kepada Allah) dalam mencari keridhaan-Nya”. Kitab ini terdiri dari satu jilid sedang, terbagi dalam 70 bab yang ditulis dalam 322 halaman, tidak termasuk daftar isi, pengantar dan sejenisnya. Di dalamnya diuraikan poin-poin penting yang dijadikan rujukan dan standar oleh seorang pejabat hisbah dalam mengawasi, mengevaluasi dan mensupervisi berbagai macam jabatan, profesi, komoditas yang beredar di pasaran, aktivitas sosial keseharian, peralatan dan barang, serta satuan ukuran (misalnya, timbangan). Khusus untuk profesi atau jabatan, dimulai dari kualifikasi dan syarat pejabat hisbah itu sendiri, baru kemudian dirinci lain-lainnya. Salah satu bab dalam buku ini, yaitu bab ke-46, menguraikan standar profesi guru pada pendidikan dasar (fil hisbah ‘ala mu’addibi ash-shibyan). Semoga bagian ini dapat dijadikan sebagai bahan perenungan bagi guru dan pendidik, terutama kepala sekolah dan pengelola lembaga pendidikan, dalam mengevaluasi kinerja staf dan karyawannya, agar lebih mendekati nilai-nilai Islam itu sendiri.
Hisbah sendiri sebenarnya merupakan salah satu fungsi khilafah, dan belakangan jabatan ini dipisahkan menjadi departemen tersendiri yang bertugas memantau kondisi rakyat, sekaligus mengungkap persoalan-persoalan apa saja yang mereka alami serta kebaikan-kebaikan apa yang mereka butuhkan. Landasan dasar dalam tugas institusi ini adalah amar ma’ruf nahi munkar, yakni memerintah kebaikan jika tampak telah ditinggalkan atau melarang kemunkaran jika tampak telah dilakukan.[3]
Secara bahasa, hisbah mengandung empat makna utama, yaitu (1) mencari pahala dari Allah (thalabu al-ajr minallah), (2) tidak mengakui (al-inkar) sesuatu yang buruk, (3) menguji (al-ikhtibar) dan memeriksa secara detail bagian demi bagian (as-sabr), dan (4) manajemen atau gagasan yang baik dalam suatu persoalan (husnu at-tadbir aw an-nazhr fil amr), atau statistik dan perhitungan yang baik dalam suatu hal (aw ihshaa’ihi aw ‘addihi).[4]
Bagian berikut ini kami terjemahkan dari bab ke-46, dari karya Ibnul Ukhuwwah diatas, hal. 221-223. Penomoran adalah dari kami, untuk memudahkan. Karenanya pula beberapa bagian yang tidak begitu penting terpaksa kami buang. Sebagian susunan dan urutan isinya pun kami sesuaikan dengan “selera” modern. Kami juga memberikan catatan seperlunya, terutama mengenai sumber dan status hadits-hadits yang dikutip di dalamnya. Seluruh catatan kaki (ta’liqaat) dalam terjemahan ini berasal dari kami, bukan dari buku aslinya.[5]
Sebelumnya, perlu kami tegaskan pula perihal ruang lingkup studi ini. Meskipun sub-judulnya berbunyi “paparan standar quality control profesi keguruan di zaman Kesultanan Mamluk Mesir”, namun makalah ringkas ini tidaklah bermaksud mengurai topik tersebut secara tuntas, untuk kemudian merumuskan suatu konklusi umum yang menggambarkan fenomena yang dikajinya secara memadai. Sebab, kami baru menemukan satu sumber spesifik yang terkait dan masih berusaha menemukan bahan serupa dari sumber-sumber lainnya. Semoga Allah memberikan pertolongan dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Amin.

Standar Profesi Guru pada Pendidikan Dasar
(fil hisbah ‘ala mu’addibi ash-shibyan)
1. Tidak boleh mengajarkan tulis-menulis (al-khathth) di masjid, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar masjid dijauhkan dari anak-anak dan orang gila,[6] sebab mereka suka mencoret-coret tembok dan menajiskan lantainya, dimana mereka belum bisa menjaga diri dari buang air kecil dan beraneka ragam najis yang lain. Bahkan, beliau menyuruh agar para sahabat memilih tempat yang lain untuk mengajari mereka, dan – menurut penjelasan beliau – tempat itu adalah emperan pasar.
2. Anak-anak dilarang belajar di rumah-rumah mereka sendiri.[7]
3. Ketahuilah, bahwa guru (al-mu’addib) adalah profesi atau matapencaharian yang paling agung, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sebaik-baik kalian adalah siapa yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an.”[8] Dalam hadits yang lain dinyatakan, “Sebaik-baik orang yang berjalan di muka bumi adalah para guru (al-mu’allimun), yaitu orang-orang yang memperbaharui agama ini setiap kali ia menjadi lusuh dan terlantar.”[9]
4. Dengan demikian, seorang guru dipersyaratkan agar ia adalah sosok yang:
  • Berkepribadian baik (ahl ash-shalah).
  • Pandai menjaga dirinya dari yang haram dan maksiat (ahl al-‘iffah).
  • Bisa dipercaya (ahl al-amanah).
  • Hafal Al-Qur’an (hafizh lil kitab al-‘aziz).
  • Mempunyai tulisan tangan yang baik (hasanu al-khathth).
  • Mengerti ilmu hitung (yadri al-hisab).
  • Lebih baik lagi, sudah menikah (muzawwaj).
  • Penyayang anak-anak kecil (yataraffaq bi ash-shaghir).
5. Tidak diizinkan bagi seorang lajang untuk membuka kelas pengajaran bagi anak-anak, kecuali jika dia adalah:
§      Sudah berusia lanjut (syaikhun kabir).
§   Dikenal taat beragama dan berkepribadian baik (qad isytahara bi ad-diin wal khayr).
§  Memegang lisensi atau izin mengajar yang diakui (tazkiyyah mardhiyyah).
§  Telah teruji kemampuan atau kualifikasinya untuk mengajar (tsubutu ahliyyatihi).
6.   (Guru hendaknya) mengajari anak-anak itu:
  • Surat-surat pendek dari Al-Qur’an setelah mereka cukup fasih berbicara dan lancar membaca, yakni sudah bisa membedakan huruf dan membaca harakatnya dengan benar. Ajari mereka secara bertahap sampai akrab dan terbiasa dengan Al-Qur’an.
  • Kemudian, perkenalkan mereka kepada aqidah yang selaras dengan sunnah.
  • Kemudian, dasar-dasar berhitung (ushulu al-hisab).
  • Kemudian, al-murasalah (korespondensi), dalam kadar tertentu sesuai kebutuhan.[10]
7.   Pada saat-saat senggang, tugasi anak-anak untuk:
  • Berlatih dan memperbaiki tulisan tangannya (al-khathth), dengan meniru contoh yang diberikan guru.
  • Mengulang materi-materi yang pernah diajarkan sebelumnya secara lisan dan hafalan di luar kepala, tidak boleh melihat buku atau catatan (hifzhan gha’iban la nazhran).
8.  Jika anak telah berusia tujuh tahun, perintahkan mereka untuk:
  • Mengerjakan shalat berjamaah, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ajari anak-anak kecil kalian (mengerjakan) shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukul mereka – bila meninggalkannya – saat berusia sepuluh tahun.”[11]
  • Berbakti kepada kedua orangtua, mematuhi perintah mereka, mengucapkan salam dan mencium tangan mereka ketika masuk rumah.
9.    Anak kecil boleh dipukul, jika:
  • Berlaku kurang ajar atau menyalahi adab (isa’atu al-adab).
  • Mengucapkan kata-kata kotor (al-fukhsyu min al-kalam).
  • Atau, melakukan sesuatu yang keluar dari batasan syari’at, seperti bermain gitar, bermain taruhan dan judi dalam segala variasinya.
10.   (Dalam masalah memukul anak kecil), maka:
  • Anak tidak boleh dipukul dengan tongkat yang terlalu keras sehingga bisa mematahkan tulang, tidak juga dengan tongkat yang terlalu lunak sehingga tidak menimbulkan rasa sakit. Ambil kadar pertengahan diantara keduanya.
  • Gunakan pemukul yang lebar permukaannya (mujallad ‘aridhu as-sayr).
  • Hanya boleh memukul bagian-bagian ini: (1) pantat, (2) paha, (3) kaki bagian bawah. Sebab, bagian-bagian ini biasanya tidak dikhawatirkan dapat memicu penyakit atau cacat (yang membawa kematian).
11.   (Berkenaan dengan perlakuan, interaksi dan pengawasan guru terhadap anak didiknya), maka:
  • Hendaknya seorang guru tidak menyuruh anak didiknya mengerjakan sesuatu hal – bagi keperluan pribadi sang guru – dimana pekerjaan itu mengandung aib atau mengganggu kehormatan orang tua mereka, seperti mengangkut tanah, sampah, batu, dan sejenisnya.
  • Jangan melepas anak pulang ketika rumahnya diketahui dalam keadaan kosong, agar tidak timbul aneka tuduhan [atau, terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan].
  • Jangan membiarkan anak mencatat materi pelajaran atau mengerjakan aktivitas yang lain bersama seorang wanita [atau, bersama lawan jenisnya]; sebab, hal ini merupakan kecenderungan yang digemari orang-orang fasiq (rusak moralnya).
  • Hendaknya pengantar-jemput anak adalah sosok yang amanah (amin), bisa dipercaya (tsiqah), dan cakap menunaikan tugasnya (muta’ahhil), sebab dialah yang menyerah-terimakan anak-anak (ke dan dari guru) setiap harinya, pulang-pergi, dan kadang menyendiri bersama mereka di tempat sepi atau area privat (al-amakin al-khaliyah), dan dia juga keluar-masuk ke rumah mereka.
12.   (Hal yang dilarang bagi guru), adalah:
  • Mengajarkan ketrampilan tulis-menulis (al-khathth) pada wanita dan anak perempuan, sebab ada larangan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jangan ajari istri-istri kalian menulis, dan jangan pula menempatkan mereka di kamar-kamar, akan tetapi ajarilah mereka surah an-Nuur.”[12] Ada dikatakan, bahwa wanita yang mempelajari ketrampilan tulis-menulis itu ibaratnya ular yang diberi minum racun.
  • Membiarkan anak-anak menghafal atau membaca syair Ibnul Hajjaj.[13] Harus diterapkan larangan yang keras terhadap masalah ini.
Demikianlah yang diungkapkan oleh Ibnul Ukhuwwah perihal standar quality control profesi keguruan di zaman Kesultanan Mamluk. Semoga bermanfaat. Amin. Wallahu a’lam.[]

(*) Sumbersekar, 02 Jum. Akhirah 1430 H


[1] Untuk masalah ini, silakan periksa karya Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, hal. 31-33; 44-50; 68-80; penerbit Mizan, Bandung, cet. ke-1, Dzulqa’dah 1414 H (Mei 1994 M).
[2] Demikian menurut keterangan Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam ad-Durar al-Kaminah fi A’yani al-Mi’ah ats-Tsaminah II/76. Konversi penanggalan Gregorian adalah perkiran dengan kemungkinan meleset 1 atau 2 hari, menggunakan Hijri-Gregorian Converter, copyright (c) by Adel A. Al-Rumaih, 1996-1997.
[3] Ini adalah definisi hisbah menurut Abul Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyah, yang dikutip dalam Ushulul Hisbah fil Islam, karya Dr. Muhammad Kamaluddin Imam, hal. 15, penerbit Darul Hidayah, Mesir, cet. ke-1, 1406 H (1986 M).
[4] Idem, hal. 13-14.
[5] Seluruh kitab rujukan takhrij hadits dalam makalah ini adalah versi digital dalam Al-Maktabah Asy-Syamilah, ver. 3.11. Dalam beberapa kasus, penomoran halaman atau hadits mungkin tidak selalu persis dengan edisi cetak yang beredar di pasaran, mengingat edisi digital tersebut disalin dari edisi cetak tertentu yang mungkin berbeda penerbit meupun editornya. Harap maklum.
[6] Hadits dha’if, riwayat Ibnu Majah, no. 750, dari Watsilah bin al-Asqa’ radhiyallahu ‘anhu. Ada beberapa penguat (syawahid) untuk hadits ini, dari jalur dan sahabat yang berbeda, namun seluruhnya dha’if atau wahiyah (semi palsu). Lihat: Tadzkiratul Mawdhu’at hal. 16; al-Fawa’id al-Majmu’ah no. 38; al-‘Ilal al-Mutanahiyah I/401-402, no. 677; al-Maqashid al-Hasanah karya as-Sakhawi no. 372; dan lain-lain. Untuk masalah ini, haditsnya memang tidak shahih, namun perlu berhati-hati untuk menjaga kesucian dan keagungan masjid sebagai tempat ibadah. Wallahu a’lam.
[7] Menurut kami, yang dilarang adalah “les privat” seperti yang dikenal saat ini, dimana para guru datang ke rumah anak-anak didiknya dan mengajari mereka disana. Para ulama’ salaf sangat mengingkari tindakan ini, dan memerintahkan anak-anak itu sendiri yang datang ke majlis dan rumah para guru mereka, untuk menghormati ilmu dan menjaga wibawa gurunya. Imam Malik pernah menolak mengajar anak-anak khalifah Harun ar-Rasyid di tempat tinggal mereka secara khusus (privat), dan menyuruh mereka datang ke masjid untuk belajar bersama orang kebanyakan.
[8] Hadits shahih, riwayat al-Bukhari no. 4739.
[9] Hadits palsu (maudhu’), dikatakan berasal dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Diantaranya dikutip dalam Tafsir al-Qurthubi I/373, penafsiran QS al-Baqarah ayat 41. Lihat: al-Maudhu’at I/220; al-Fawa’id al-Majmu’ah no. 14; al-La’ali’ al-Mashnu’ah I/180; Tanzihu asy-Syari’ah I/252, no. 6; Tanqihu at-Tahqiq III/35, no. 1643; dll. Perlu diketahui, keutamaan guru dan mencari ilmu banyak diungkap dalam hadits shahih, sehingga tidak perlu berpegang kepada riwayat palsu begini.
[10] Menurut kami, maksudnya adalah ketrampilan untuk menulis dan mengungkapkan pikiran.
[11] Makna hadits ini sebenarnya shahih, namun teks diatas tidak kami ketahui sumbernya. Yang mirip dengannya adalah riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 3361, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, dengan sanad yang di dalamnya memuat beberapa orang perawi dha’if. Riwayat yang hasan-shahih dimuat dalam Sunan Abi Dawud no. 495, juga dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dengan teks, “Perintahkan anak-anak kalian..., dst.”
[12] Hadits palsu (maudhu’), sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Jawzi dalam al-Maudhu’at II/268; as-Suyuthi dalam al-La’ali’ al-Mashnu’ah II/143; al-Kinani dalam Tanzihu asy-Syari’ah II/208-209, no. 33; dan asy-Saukani dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah hal. 126-127, no. 27. Karena kepalsuan riwayat yang menjadi dasar rujukannya, maka bagian ini dapat diabaikan dan dianggap sebagai “virus” asing yang menyusup ke dalam peradaban Islam dan bahkan menghancurkannya. Sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membeda-bedakan pendidikan anak atau mendiskriminasi kaum perempuan. Seluruh anak beliau yang hidup hingga dewasa adalah perempuan, dan ‘Aisyah – istri beliau – adalah ulama’ shahabiyah yang diakui otoritasnya. Banyak sahabat sendiri yang jika tidak tahu makna suatu ayat, mereka akan mendatangi beliau dan mendapatkan jawaban yang memuaskan.
[13] Ibnul Hajjaj, yakni Abu ‘Abdillah al-Husain bin Ahmad bin Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin al-Hajjaj, adalah penyair Syi’ah kenamaan yang reputasinya disejajarkan dengan Umru’ul Qays, seorang penyair legendaris dari era jahili. Syair-syairnya enak didengar dan “alamiah”, namun dipenuhi dengan lelucon kurang ajar, cenderung cabul, dan tidak intelek. Pernah memangku jabatan hisbah untuk kota Baghdad beberapa waktu, sebelum akhirnya dipecat dengan fatwa dari Abu Sa’id al-Ishthakhri al-faqih asy-Syafi’i. Meninggal di Nil, pada hari Selasa tanggal 27 Jumadil Akhirah 391 H. Jenazahnya kemudian diboyong ke Baghdad dan dimakamkan di pekuburan (masyhad) Musa bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu. Sebelum meninggal, dia berwasiat agar dikubur di sisi kedua kakinya, dan diatas pusaranya ditulis, “sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua”, kutipan surah al-Kahfi ayat 18. (Dikutip dari Wafayatul A’yan, karya Ibnu Khallikan, II/168-172, dengan diringkas). Di zaman sekarang, syair Ibnul Hajjaj ini dapat dianalogikan dengan segala bacaan, program acara, games, informasi, atau syair lagu yang berisi percintaan, cabul (pornografi-pornoaksi), “dewasa”, gosip, tidak mendidik, murahan, dan sejenisnya. Wallahu a’lam.