JANGAN PERNAH TAK TERLINDUNGI!



Bismillahirrahmanirrahim

"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu memberi nafkah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu lebih menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan jika belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu sebagai obat (dari godaan syahwat) baginya."
(Muttafaq 'Alaihi, dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu).

Islam mewarnai pemeluknya dengan semangat kehati-hatian dan perlindungan diri dalam segala hal. Syari'atnya yang indah dirancang secara seksama dalam upaya meminimalisir kemungkinan celaka. Islam tidak membiarkan pemeluknya berada dalam suatu kondisi yang memiliki celah untuk tergelincir tanpa memberikan panduan disana.
Hadits diatas memuat kaidah "perlindungan diri" yang luar biasa, dimana seorang muslim tidak boleh membiarkan dirinya di tepi jurang kehancuran tanpa menyiapkan "tali-tali pengaman". Ketika seseorang sudah mampu memberi nafkah, dan ia sendiri sudah berhasrat kepada lawan jenisnya, maka Islam membimbingnya untuk menjaga diri dengan menikah. Menikah, menurut Rasulullah, akan lebih menahan pandangan mata dan membendung luapan syahwat. Dengan demikian ia terhindar dari bahaya perzinaan.
Namun, pada saat seorang muslim belum mampu menafkahi, sementara gejolak syahwatnya terus menggelora, ia diarahkan untuk menjaga diri dengan jalan berpuasa. Berpuasa, dalam konteks ini, akan melemahkan syahwat dan melumerkan dorongan kepada lawan jenis. Dengan demikian ia pun terjauh dari perzinaan.
Pada pokoknya, dalam kondisi yang manapun, seorang muslim tidak boleh dibiarkan tanpa perlindungan diri. Sepanjang hayat, di setiap saat, imannya harus senantiasa terjaga. Sebab, tidak seorangpun mengetahui kapan datangnya ajal. Sebab, Islam menghendaki agar pemeluknya berpulang ke haribaan Rabb-Nya tetap sebagai hamba-hamba shalih yang senantiasa menyerahkan diri kepada-Nya (QS al-Baqarah [02] : 132).

Taqwa = Perisai
Semangat "perlindungan diri" itu sepenuhnya terangkum dalam sikap taqwa, yang di dalamnya mengandung amalan-amalan praktis secara lebih terperinci. Misalnya, beriman kepada yang ghaib, menegakkan shalat, menafkahkan harta di jalan Allah, mengimani al-Qur'an dan kitab-kitab sebelumnya, serta meyakini adanya kehidupan akhirat (QS al-Baqarah [02] : 1-5). Allah sendiri menyatakan bahwa manusia yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang paling bertaqwa (QS al-Hujurat [49] : 13).
Dalam pengertian syar'i, taqwa diartikan "melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya". Sebenarnya, pengertian ini adalah konsekuensi dari makna taqwa, bukan maknanya itu sendiri. Sebab, dalam bahasa Arab, akar kata taqwa berarti menjaga dan melindungi. Dalam bentuk lain, maknanya adalah perisai yang dipakai prajurit untuk melindungi dirinya dari serangan musuh.
Artinya, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya merupakan refleksi langsung dari upaya seorang muslim untuk menjaga, merawat dan melindungi dirinya sendiri. Ketaatan kepada Allah pada dasarnya bukan untuk kejayaan Allah, akan tetapi kembali kepada manusia itu sendiri. Kerajaan dan kekuasaan-Nya tidak akan bertambah jika seluruh makhluk-Nya taat, sebagaimana tidak juga berkurang jika mereka semuanya membangkang.
Maka, segala perintah Allah jika dipatuhi dan dilaksanakan sepenuh hati, pasti mendatangkan kemanfaatan yang dinikmati manusia itu sendiri. Sebaliknya, pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah hanya akan mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan bagi mereka. Allah menegur para Sahabat yang demikian terpukul dan sedih menerima kekalahan mereka dalam perang Uhud.
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata, ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah,  ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’.” (QS Ali Imran [03] : 165).
Permasalahan yang dikritik dalam ayat ini sudah sangat jelas, bahwa barisan mereka bisa dikalahkan dan porak-poranda oleh musuh karena ada yang tidak menaati perintah Rasulullah.

Utamakan selamat !
Umar bin Khaththab pernah bertanya kepada salah seorang Sahabat yang lain, "Apakah taqwa itu?" Dijawab, "Jika Anda melewati suatu jalan yang penuh dengan duri, maka seperti itulah taqwa." Maksudnya, sangat berhati-hati dan waspada. Setiap langkah diperiksa sebelumnya dan di-muhasabah setelah itu. Tidak mungkin seorang muslim hidup sembarangan dan semau gue.
Semangat "perlindungan diri" ini mewarnai setiap sudut syari'at Islam. Tidak ada bagian yang dibiarkan terbuka bagi jalan masuk Iblis. Misalnya, Islam lebih menyukai menjatuhkan hukum qishash kepada pembunuh daripada membiarkan seluruh umat terjerumus dalam lingkaran syetan balas dendam dan saling bunuh. Qishash akan memutus rantai perkara kepada dua pihak yang terlibat langsung, tidak lagi merembet kepada keluarga dan keturunannya. Namun, pada saat bersamaan, Islam juga menganjurkan keluarga korban untuk memberi maaf dan ridha menerima diyat. Kedua belah pihak diminta memilih perbuatan yang lebih utama, dengan landasan keadilan yang tetap ditegakkan sesuai haknya. Di luar itu, Rasulullah menegaskan bahwa harta, jiwa dan kehormatan setiap muslim adalah haram dilanggar, kecuali dengan hak-hak Islam.
Terhadap perzinaan, Islam lebih suka menjatuhkan hukum rajam atau cambuk kepada satu dua orang pelaku ketimbang membiarkan seluruh masyarakat melacurkan diri, baik secara terbuka maupun diam-diam. Namun, pada saat bersamaan, setiap muslim diminta untuk menjaga pergaulan antar lawan jenis, menutup aurat dengan sempurna, menundukkan pandangan, dan melarang hal-hal yang menjurus kepada zina. Artinya, tidak mungkin memandang hukum rajam dan cambuk secara terpisah tanpa melibatkan sistem-sistem perlindungan yang secara integral telah digariskan oleh Islam. Menilai suatu bagian dari sistem secara mandiri sama halnya mengamati sebentuk sabuk pengaman (safety belt) tanpa mengaitkannya dengan mobil. Pada akhirnya, pengamat gagal memahami fungsinya secara utuh, dan bahkan terdorong untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna.
Dengan kata lain, bagian-bagian tertentu dalam Islam yang sering disalahfahami sebagian orang, jelas bukan karena sifat asasinya yang sia-sia. Namun, karena cara pandang para pengkritiknya yang sepihak dan tidak komprehensif. Dalam ushul fiqh dikenal kaidah-kaidah "perlindungan diri" ini di berbagai tempat. Misalnya, menghindari kerusakan itu lebih diprioritaskan daripada menarik kemanfaatan (dar'ul mafaasidi muqaddamun 'ala jalbil mashaalihi). Artinya, jika ada peluang untuk meraih kebaikan tertentu, namun pada saat bersamaan mengakibatkan timbulnya keburukan yang jauh lebih besar, maka lebih baik peluang itu diabaikan.
Misalnya, memakai pakaian ketat dan terbuka tidak boleh dinilai dari sudut pandang hak pribadi. Menjaga hak pribadi itu kebaikan, namun dalam kasus ini bisa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Maka, kebaikan itu dikesampingkan demi menolak keburukan yang lebih besar. Dari sudut pandang tertentu, terhindar dari kerusakan besar adalah kebaikan besar.
Dalam masalah ini, dosa tidak timbul karena bawaan genetik. Ia lahir karena dorongan tertentu, entah internal atau eksternal. Maka, para wanita diminta menutup aurat secara sempurna, dan kaum pria harus tetap menjaga pandangan matanya. Para lelaki juga harus menjaga aurat, karena kaum perempuan pun diminta menahan pandangannya. Demikianlah, semangat "utamakan selamat" ini berlaku untuk semuanya, tanpa kecuali. Wallahu a'lam.


(*) Selasa, 15 Jumadil Ula 1426 H