JANGAN MENUNGGU MUKJIZAT



Bismillahirrahmanirrahim

"Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya; Tentulah mereka berkata: "Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan Kami adalah orang orang yang kena sihir".
(QS al-Hijr: 14-15)

Sikap kaum yang lemah iman dan kafir senantiasa serupa dalam beragama, atau menyikapi agama dan ajaran-ajarannya. Tipisnya keimanan, keengganan untuk berpikir jernih, dan kuatnya keingkaran adalah sebagian faktor yang mendorong mereka untuk senantiasa menolak kebenaran, meski pun bukti-bukti nyata sudah hadir tepat di depan matanya.
Al-Qur'an sering menggambarkan isi hati mereka dengan menyitir kata-kata yang mereka ucapkan. Bagaimana pun, ucapan adalah cerminan jiwa. Salah satu fenomena paling menonjol yang diungkap Al-Qur'an tentang kaum kafir dan tipis iman adalah keinginan mereka untuk menyaksikan keajaiban serta mukjizat dalam beragama. Mereka menunggu-nunggu, dan bahkan dengan arogan menantang agar mukijzat serta keajaiban itu didatangkan sebagai bukti kebenaran suatu agama. Mereka lupa, bahwa umat-umat terdahulu telah menyaksikan keajaiban-keajaiban besar, tetapi hanya sesaat saja terpesona, dan tidak lama kemudian mereka telah lupa. Lalu ingkar lagi dan bahkan semakin bertambah besar keingkarannya.
Dewasa ini, di tengah-tengah upaya untuk menyeru kaum muslimin menegakkan kembali syari'at Allah di tengah-tengah mereka, sering muncul suara-suara mencibir. Sebagian dari cibiran itu meminta dan menantang agar penerapan syari'at dapat menjadi "obat ajaib" atas persoalan-persoalan pelik yang mendera bangsa ini. Jika dulu kaum kafir menantang para Nabi untuk mendatangkan mukjizat sebagai bukti kebenaran risalah yang dibawanya, sekarang orang-orang yang kurang percaya menantang keajaiban turun jika aturan agama total diterapkan. Diantara bentuknya adalah permintaan bukti bahwa aturan agama mampu menjadi solusi instan atas persoalan-persoalan ekonomi, politik, sosial, hankam, pendidikan, dll. Pokoknya, mereka menuntut jika syari'at diterapkan maka semua harus langsung beres. Sim salabim!! Padahal, masalah terbesar justru ada dalam diri mereka sendiri. Jika mereka menolak terus dan tidak beriman dengan sungguh-sungguh, keberkahan tidak akan mungkin muncul, dan aturan agama pun tidak bisa berfungsi sempurna.
Itu dalam skup makro dan komunitas. Dalam skala kecil, yakni kehidupan pribadi, manifestasinya tidak jauh berbeda. Tipisnya keimanan ini bisa tampil dalam rupa penundaan untuk bersungguh-sungguh mengamalkan ajaran agama, dengan berbagai alasan, misalnya belum siap. Sebenarnya, yang terjadi bukan belum siap, tetapi sebuah perasaan menunggu dan mengharap kejadian spiritual yang hebat, baru mau berbalik kepada Allah. Dan sebagaimana kita saksikan kasusnya pada umat-umat terdahulu, hal itu pun acapkali bohong dan hanya sesaat saja imannya, yakni ketika sedang tercengang itu. Sebab, setelah situasi mereda mereka akan lupa lagi dan ketagihan kejadian spiritual lagi. Kejadian hebat itu bisa berupa bencana alam, kematian orang-orang terdekat, sakit yang berat, dan lain-lain. Padahal, beragama tidak bisa dengan sikap menunggu seperti itu. Itu pada hakikatnya merupakan cerminan kemalasan, keengganan, kekurangyakinan, bahkan penolakan terhadap kebenaran agama itu sendiri.
Sebenarnya, tidak ada halangan sedikitpun bagi Allah untuk mendatangkan kembali mukjizat dan keajaiban di zaman ini. Dia Maha Hidup dan senantiasa Mengurusi makhluk-Nya. Apa yang pernah Dia tunjukkan di masa lalu adalah sangat ringan sekedar untuk diulang kembali hari ini. Namun, masalahnya adalah: berbagai keajaiban itu telah didustakan oleh uamt-umat terdahulu, yakni manusia yang sama dengan spesies kita di zaman ini. Karena kesamaan karakter itulah, sudah seharusnya kita belajar, bahwa apa yang tidak banyak berarti untuk melahirkan iman di masa lalu, maka akan bernasib sama di era kita sekarang.
Allah meminta kita untuk lebih banyak berfikir, merenung, menganalisis, membandingkan, dan membangun iman dalam suasana yang jernih serta tenang. Al-Qur'an adalah kitab suci yang paling terbuka dalam mengajak dialog dan berpikir. Sebab, hanya dengan kesadaran yang seperti inilah iman bisa dibangun diatas fondasi yang kokoh, akarnya menghunjam dalam dan cabang-cabangnya lebat di angkasa.
Satu hal penting kiranya perlu diungkap juga di akhir artikel ringkas ini, perihal bahaya menunggu-nunggu mukjizat dan keajaiban itu. Mengapa menunggu dan menantang mukjizat atau keajaiban sangat berbahaya? Sungguh, dalam surah al-Baqarah: 209-210 Allah menjelaskan, bahwa jika sebuah keajaiban dan mukjizat telah tampil, lalu manusia tetap kufur, maka setelah itu Allah tidak akan memberikan tempo waktu lagi. Bencana besar akan datang, dan biasanya tanpa peringatan sebelumnya. Awan-awan besar yang biasanya membawa rahmat akan berubah mendatangkan bencana, dan berbagai karunia yang membanggakan segera berganti menjadi siksaan yang tak pernah diduga-duga. Na'udzu billah.
Jadi, berimanlah dengan sungguh-sungguh, sesegera mungkin. Tegakkan syari'at-Nya semampu Anda. Jangan menantang keajaiban didatangkan! Wallahu a'lam.


(*) Senin, 19 Muharram 1429 H (28 Januari 2008)