BILA RAMADHAN TELAH USAI

 

Bismillahirrahmanirrahim

Di bulan suci, rumah-rumah Allah ramai dikunjungi, al-Qur’an dibaca kembali, anak-anak yatim terkunjungi, kaum fakir tersantuni, tempat maksiat menutup diri, penyiar dan pelawak di televisi pun dijilbabi. Tetapi, kemanakah mereka di hari-hari ini? Bagaimanakah sekarang semuanya itu dilalui?
Masjid-masjid itu kembali sepi, karena imam para jamaahnya telah berganti. Bukan lagi pelantun kalam Allah yang suci, namun nyaris semua orang begitu khusyu’ menata shofnya di depan pesawat televisi. Sinetron-sinetron picisan kembali digilai, dan jilbab-jilbab para pemainnya telah dilipat dalam lemari, untuk dikenakan entah kapan lagi. Mushaf-mushaf Al-Qur’an pun disimpan, dalam rak-rak yang sepertinya tidak akan disentuh kembali sebelum Ramadhan tahun depan. Seolah-olah ia adalah bacaan musiman, untuk menghibur hati dan menentramkan kegelisahan, bukan buku petunjuk kehidupan yang setiap saat diperlukan. Anak-anak yatim dan kaum fakir, entah siapa lagi yang mengingatnya.
Potret ini adalah wajah kita sendiri, atau figur-figur akrab di sekeliling kita. Mungkin sudah sangat biasa bagi kita, karena memang begitu dari tahun ke tahun, bukan sosok baru dan juga bukan tradisi asing. Seolah kita telah bosan berbuat baik, telah jemu mendekat kepada Tuhan, dan merasa sudah lebih dari cukup sebulan saja mengenal-Nya. Samar-samar hati kita berbisik, “Tuhan, telah sebulan penuh kuberikan waktuku untuk-Mu, sekarang biarkan aku sendiri dan jangan ganggu!” Wah!!
Padahal, dalam shalat kita sering berjanji, inna sholatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil ‘aalamiin. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Lalu, mengapa sekarang waktu untuk Allah hanya tersedia sebulan saja? Untuk siapakah sebelas bulan lainnya? Bukankah kehidupan ini adalah karunia Allah seutuhnya, yang Dia berikan agar kita semata-mata mengisinya dengan pengabdian kepada-Nya, bukan hanya untuk memenuhi gejolak nafsu kita sendiri? Allah ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan bangsa jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku.” (QS adz-Dzariyat: 56)
Selama Ramadhan, sungguh sebuah karunia bila kita melazimkan shalat di malam hari dan berpuasa di siangnya. Berbagai rangkaian ibadah lain menyertai: tilawah Al-Qur’an, dzikir, menjamu berbuka puasa, bersedekah, berzakat, dan lain sebagainya. Pahala dan rahmat-Nya pun mengalir, insya Allah. Namun, bila Ramadhan telah usai, mengapa semua juga usai, seolah lenyap bagaikan ditelan bumi? Apakah kita juga telah bosan menerima pahala dan rahmat-Nya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai manusia, hendaklah kalian mengerjakan amal sesuai yang kalian mampui, sebab Allah tidak akan bosan (melimpahkan rahmat dan pahala) selama kalian tidak bosan juga (untuk berbuat kebajikan dan menaati-Nya). Sesungguhnya, amal yang paling Allah sukai adalah amal yang dikerjakan secara kontinyu, walaupun sedikit jumlahnya. Dan, adalah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bila mengerjakan suatu amalan, maka mereka akan merutinkannya.” (Hadits riwayat Muslim).
Maka, Ramadhan sesungguhnya bukan hanya bulan penuh limpahan rahmat dan karunia Allah, namun juga bulan training dan pelatihan bagi kita. Latihan untuk terbiasa dengan kebaikan dan mengingat Tuhan di sepanjang waktu dan hari. Latihan menahan diri dan berpikir dua kali sebelum mengerjakan segala sesuatu, sebab itu adalah inti taqwa. Bukankah buah utama puasa adalah taqwa? Namun, kadang hal itu banyak terlupakan, karena seringkali buah puasa yang paling tampak hanyalah penurunan berat badan. Mungkin, puasa kita baru mencapai tahap meninggalkan makan dan minum, belum mempuasakan jiwa dan pikiran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bisa jadi, banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapati apa-apa selain lapar. Bisa jadi, banyak orang mengerjakan shalat malam namun tidak memperoleh apa-apa selain begadang.” [Hadits riwayat Ibnu Majah, hadits hasan-shahih]
Mengapa demikian? Sebab, boleh jadi, seperti disabdakan oleh beliau di lain haditsnya, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang dusta dan perbuatan batil, maka Allah tidak akan memandang kepada (tindakannya) meninggalkan makan dan minumnya.” [Hadits riwayat al-Bukhari]
Sebagian dari kita belum juga berhenti menggunjing rahasia pribadi dan rumahtangga orang lain selama bulan puasa, melalui gosip-gosip infotainment yang disajikan besar-besaran di televisi, radio, koran, tabloid dan majalah. Mungkin, kita juga masih tidak berpaling dari video klip album lagu, sinteron maupun iklan-iklan sabun, shampoo dan produk-produk pemutih yang memamerkan betis, paha, leher, dada, punggung serta lekuk-lekuk tubuh para bintang wanitanya. Mungkin, kita pun tidak kunjung berhati-hati terhadap apa yang kita makan atau minum, karena halal-haramnya belum menjadi titik tolak pertama pemilihan. Sosis, biskuit, snack, kecap, daging, menu di warung-warung, dan seterusnya, entah kita perdulikan atau tidak kehalalannya.
Ya, jika masih seperti itu pola hidup kita, maka sepertinya puasa kita tidak akan mampu mendidik jiwa kita sendiri, karena bersamaan dengan itu kita meracuninya dengan aneka virus mematikan. Seperti penderita diabetes akut yang mengkonsumsi obat dari dokter dan menjalani terapi, namun pada saat bersamaan tidak berhati-hati dari gula dan segala pantangan medis yang disarankan. Ia memang mendapat bimbingan dokter, tetapi tidak bulat mematuhinya. Apakah orang seperti ini akan mendapat manfaat dari obat dan terapi yang dijalaninya?
Wallahu a’lam.

[*] 24 Ramadhan 1430 H; pernah dimuat di Lembar Tausiyah, BMH Malang