
Bismillahirrahmanirrahim
Tamhid
Sebenarnya, tidak terdapat
bagian khusus yang membahas konsep ilmu dalam Kitab al-Jami’ karya
Ma’mar bin Rasyid (96-154 H). Bab-bab yang tersaji dalam terjemahan ini diambil
secara tidak berurutan, dengan memilih tema-tema tertentu yang juga dimasukkan
sebagai bagian dari kitab al-’ilmi oleh para penulis lainnya dalam
karya-karya mereka. Relevansi antara bab satu dengan lainnya mungkin kurang
tampak dalam karya Ma’mar ini, sebab aslinya memang tidak disusun mengikuti
alur berpikir tertentu guna menjelaskan konsep ilmu secara utuh.
Karya Ma’mar sebetulnya
tidak sampai kepada kita sebagai naskah mandiri, namun merupakan bagian akhir
dari al-Mushannaf milik ‘Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan’ani (w. 211 H),
salah seorang muridnya. Kitab tersebut, sebagaimana tampak dari rangkaian sanad
yang tercatat di dalamnya, diriwayatkan secara utuh oleh ‘Abdurrazzaq dari
gurunya. Ini pengutipan yang luar biasa: seribu enam ratus riwayat lebih!!
Tema kitab yang
diberi judul al-jami’ biasanya berkisar pada adab, akhlaq, anjuran (targhib)
dan ancaman (tarhib), doa dan dzikir, dan sejenisnya. Jika ia menjadi
bagian dari sebuah karya besar yang terdiri dari banyak kitab dan bab di
dalamnya, maka kitab ini selalu diletakkan di tempat terakhir. Konon, Imam
Malik (93-179 H) adalah yang pertama memunculkannya dalam al-Muwaththa’.
Belakangan, al-Hafizh Ibnu Hajar (w. 852 H) juga memuatnya dalam Bulughul
Maram. Kami tidak tahu pasti mana yang lebih dahulu, apakah Kitab
al-Jami’ milik Ma’mar atau al-Muwaththa’ karya Malik, sebab keduanya
sezaman dan banyak diantaranya mengutip riwayat dari guru yang sama semisal
Ayyub as-Sakhtiyani, Zaid bin Aslam, Shalih bin Kaysan dan az-Zuhri. Namun
menurut Ibnu ‘Arabi, karya Malik lebih dahulu dibanding Ma’mar.
Ibnu ‘Arabi, yang dikutip
az-Zarqani dalam Syarh al-Muwaththa’, berkata, “Ini adalah kitab yang
diciptakan oleh Malik dalam karyanya karena dua alasan. Pertama, (isi
kandungannya) di luar bentuk taklif yang berkenaan dengan hukum-hukum
yang beliau susun menurut bab dan jenisnya. Kedua, tatkala beliau mengamati syari’ah
dan pernak-pernik di dalamnya, beliau mendapatinya terbagi dalam perintah dan
larangan, ibadah dan mu’amalah, jinayat dan adat; sehingga beliau (dapat)
mengaturnya sesuai jalurnya dan menggabungkan setiap perkara dengan jenisnya
masing-masing. (Setelah itu) masih tersisa berbagai persoalan mandiri dalam
syari’ah yang tidak bisa digabungkan menjadi satu tema tersendiri, sebab mereka
berbeda satu sama lain. Namun, memisahkannya dalam bab-bab khusus juga tidak
mungkin karena ukurannya yang terlampau kecil. Padahal, beliau sendiri pun
tidak ingin berpanjang-panjang kata dalam persoalan yang sebenarnya bisa
dibahas secara panjang lebar. Akhirnya beliau membiarkannya tetap
terpencar-pencar seperti itu dan menamai (bagian yang) menyatukannya sebagai kitab
al-jami’. Demikianlah, beliau telah mendatangkan sesuatu yang tak
terpikirkan oleh para penulis (bagaimana cara menyatukan) seluruh bab ini
sebelum itu....”
Adapun Kitab al-Jami’
dalam Bulughul Maram, sebagaimana dinyatakan oleh al-Amir ash-Shan’ani
dalam Subulus Salam, maksudnya adalah kitab yang menyatukan enam bab di
dalamnya, yaitu al-adab, al-birr wa ash-shilah, az-zuhd wa al-wara’,
at-tarhib min masawi’i al-akhlaq, at-targhib fi makarim al-akhlaq, dan adz-dzikr
wa ad-du’a. Seluruh bab ini memang tidak bisa masuk ke dalam bab-bab hukum
yang merupakan pokok isi kandungan Bulughul Maram.
Berikut terjemahan dari
bab-bab yang kami maksudkan.
176. Mempertengkarkan
Al-Qur’an
20367 — Dari ‘Amr bin
Syu’aib: dari ayahnya: kakeknya berkata: Rasulullah r mendengar sekelompok
orang mempertentangkan (ayat-ayat) Al-Qur’an, maka beliau pun bersabda, “Umat
sebelum kalian binasa hanya karena ini. Mereka membenturkan (isi kandungan)
Kitabullah satu sama lain, padahal ia diturunkan untuk saling membenarkan. Maka,
jangan sampai kalian mendustakan sebagian isinya dengan (menggunakan) sebagian
yang lain. Apa yang kalian ketahui darinya maka katakanlah, sementara apa yang
tidak kalian ketahui maka serahkan kepada orang yang mengetahuinya.”[1]
20368 — Dari Yazid bin al-Ashamm:
Ibnu ‘Abbas t berkata: seseorang datang kepada ‘Umar t, dan mulailah beliau menanyainya perihal keadaan
orang-orang. Ia menjawab, “Wahai amirul mu’minin, sebagian dari mereka
membaca Al-Qur’an begini-begitu.” Aku pun berkata, “Demi Allah, saya tidak
senang mereka tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an pada hari-hari ini sebagaimana
mereka melakukannya.” ‘Umar membentakku dan berkata, “Apa?!” Aku pun beranjak
pergi menemui keluargaku dengan diliputi kemuraman dan bersedih. Aku katakan
(pada diriku sendiri), “Aku telah mencapai kedudukan tertentu di hadapan orang
ini, namun menurutku (sekarang) aku telah jatuh dalam pandangannya.” Aku pun
pulang ke rumahku lalu berbaring diatas alas tidurku, sampai-sampai para wanita
di kalangan keluargaku menjengukku, padahal aku tidak merasakan keluhan apapun.
Semua itu hanyalah (akibat dari) apa yang kuterima dari ‘Umar. Ketika aku masih
dalam kondisi begitu, seseorang mendatangiku dan berkata, “Penuhi panggilan amirul
mu’minin!” Aku pun keluar, dan ternyata beliau telah berdiri menungguku.
Beliau menggandeng tanganku dan mengajakku menyendiri, lalu bertanya, “Apa yang
tidak engkau senangi dari apa yang dikatakan orang itu tadi?” Aku menjawab,
“Wahai amirul mu’minin, bila saya bersalah maka saya mohon ampun kepada
Allah dan bertaubat kepada-Nya. Jatuhkan kepada saya (hukuman) apa saja yang
Anda sukai.” Beliau berkata, “Sungguh, beritahu saya apa yang tidak engkau
senangi dari apa yang dikatakan orang itu!” Aku berkata, “Wahai amirul
mu’minin, kapan pun mereka tergesa-gesa membaca Al-Qur’an maka mereka akan
berada di tepi (kehancuran); dan kapan pun mereka berada di tepi maka mereka
akan bertengkar; dan kapan pun mereka bertengkar maka mereka akan berselisih;
dan kapan pun mereka berselisih maka mereka akan bunuh-membunuh.” ‘Umar
berkata, “Demi Allah, sungguh aku telah merahasiakan hal ini dari orang banyak,
sampai (akhirnya) engkau justru membukanya!”[2]
177. Dalam berapa harf
Al-Qur’an diturunkan?
20369 — Dari ‘Urwah bin
az-Zubair: dari al-Miswar bin Makhramah t dan ‘Abdurrahman bin ‘Abd
al-qari’ t, bahwa mereka berdua mendengar ‘Umar bin al-Khaththab t berkata, “Aku lewat di dekat Hisyam bin Hakim bin Hizam t yang sedang membaca surah al-Furqan di masa hidup
Rasulullah r. Aku pun mendengarkan bacaannya, dan ternyata ia membacanya
dengan berbagai huruf yang belum pernah dibacakan oleh beliau kepadaku. Hampir
saja aku melompat (menerkamnya) ketika ia sedang mengerjakan shalat. Aku pun
menunggunya sampai ia mengucapkan salam. Tatkala ia telah mengucapkan salam,
kupegang leher baju luarnya dan kukatakan: ‘Siapa yang membacakan padamu surah
yang kudengar kaubaca tadi?’ Ia menjawab: ‘Rasulullah r sendiri yang
membacakannya padaku.’ Aku katakan: ‘Bohong! Demi Allah, sungguh beliau telah
membacakan padaku surah yang engkau baca ini pula.’ Maka aku pun menggiringnya
(untuk menemui) Nabi r. Aku katakan: ‘Wahai
Rasulullah, aku mendengar orang ini membaca surah al-Furqan dengan huruf yang
engkau belum pernah membacakannya padaku, padahal engkau telah membacakan
padaku surah itu.’ Rasulullah r pun bersabda: ‘Lepaskan
dia, hai ‘Umar! Bacalah, hai Hisyam!’ Maka dia pun membaca di hadapan beliau
dengan bacaan yang telah kudengar. Lalu beliau bersabda: ‘Demikianlah ia
diturunkan.’ Beliau kemudian bersabda lagi: ‘Bacalah, hai ‘Umar!’ Aku pun
membacanya dengan bacaan yang pernah beliau bacakan padaku. Beliau bersabda:
‘Demikianlah ia diturunkan.’ Lalu beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Al-Qur’an ini
diturunkan diatas tujuh huruf, maka bacalah mana saja yang terasa mudah
bagimu.’”[3]
20370 — Dari ‘Ubaidillah
bin ‘Abdillah bin ‘Utbah: dari Ibnu ‘Abbas t: Rasulullah r bersabda, “Jibril membacakan padaku (Al-Qur’an) atas satu
huruf, lalu aku mengulanginya. Maka, aku selalu meminta padanya tambahan, dan
ia pun memberikannya, sampai mencapai tujuh huruf.”[4] Az-Zuhri
berkata, “Huruf-huruf ini hanya (berlaku) pada suatu persoalan yang di dalamnya
tidak mengandung masalah halal-haram.”
20371 — Qatadah berkata:
Ubayy bin Ka’ab t berkata kepadaku: aku berselisih dengan salah seorang
temanku perihal suatu ayat, sehingga kami pun mengadukannya kepada Rasulullah r. Beliau kemudian bersabda, “Bacalah, hai Ubayy!” Aku pun
membaca. Beliau kemudian bersabda kepada temanku tadi, “Bacalah!” Dia pun
membaca. Lalu, beliau bersabda, “Kalian berdua sama-sama baik (muhsin)
dan bagus (mujmil).” Aku bertanya, “Bagaimana bisa kami berdua sama-sama
baik dan bagus?” Maka beliau pun menepuk dadaku dan bersabda, “Sesungguhnya
Al-Qur’an ini diturunkan kepadaku. Lalu, dikatakan padaku: ‘(Diturunkan) atas
satu atau dua huruf?’ Aku jawab: ‘Dua huruf.’ Kemudian dikatakan lagi: ‘Dua
atau tiga huruf?’ Aku jawab: ‘Tiga huruf.’ (Demikian terus dikatakan padaku)
sampai tujuh huruf. Semuanya memuaskan (syaafin) dan mencukupi (kaafin)
selama engkau tidak mencampurkan ayat rahmat dengan ayat adzab,
atau ayat adzab dengan ayat rahmat. Jika disana ada kalimat ‘azizun
hakimun (Mahaperkasa lagi Mahabijaksana), lalu engkau ucapkan sami’un
‘alimun (Mahamendengar lagi Mahamengetahui), maka sesungguhnya Allah memang
sami’un ‘alimun.”[5]
178. Pertanyaan (yang
diajukan) orang
20372 — Dari az-Zuhri:
dari Abu Hurairah t: Rasulullah r bersabda, “Biarkan aku (tidak menyinggung sesuatu) selama
aku membiarkannya untuk kalian. Sebab, umat sebelum kalian binasa hanya karena
banyaknya pertanyaan (yang mereka ajukan) dan perselisihan (yang mdreka buat)
kepada Nabi-nabi mereka. Maka, apa saja yang kularang kalian darinya, jauhilah;
sedangkan apa saja yang aku perintahkan kalian padanya, kerjakanlah selama
kalian masih mampu.”[6]
20373 — Dari Ibnu Thawus:
dari ayahnya: sesungguhnya Rasulullah r bersabda kepada
sahabat-sahabatnya, “Biarkan aku (tidak menyinggung sesuatu) selama aku
membiarkannya untuk kalian. Sebab, umat sebelum kalian binasa hanya karena
banyaknya pertanyaan (yang mereka ajukan) dan perselisihan (yang mereka buat)
kepada Nabi-nabi mereka. Maka, apa saja yang aku larang kalian darinya,
jauhilah; sedangkan apa saja yang aku perintahkan kalian padanya, patuhilah
selama kalian masih mampu.”
20374 — Dari Hammam bin
Munabbih: dari Abu Hurairah t: dari Nabi r: – serupa dengan sebelumnya.
179. Hati (al-qalb)
20375 — Dari Abu Shalih:
Abu Hurairah t berkata, “Hati adalah raja, dan ia mempunyai pasukan
tentara. Bila raja itu baik maka akan baik pula tentaranya, namun bila ia rusak
maka rusak pula tentaranya. Kedua telinga adalah pelindung, kedua mata adalah
gudang senjata, lidah adalah juru bahasa, kedua tangan adalah sepasang sayap,
kedua kaki adalah sepasang petugas pos, liver adalah kasih sayang, limpa dan
ginjal adalah rencana dan strategi (makr), dan paru-paru adalah nafasnya.
Bila raja itu baik maka akan baik pula tentaranya, namun bila ia rusak maka
rusak pula tentaranya.”
20376 — Dari Khaytsamah:
dari an-Nu’man bin Basyir t: Nabi r bersabda, “Di dalam diri manusia terdapat segumpal
daging. Bila ia sehat maka akan sehat pula seluruh tubuhnya, namun bila ia
rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya.” Yang beliau maksud adalah: hati.
180. Para sahabat Nabi
20377 — Al-Hasan berkata:
Rasulullah r bersabda, “Perumpamaan para sahabatku di tengah-tengah
manusia adalah ibarat garam dalam makanan.” Al-Hasan lalu berkata, “Jauh
sekali, (bila) telah hilang garam dari suatu kaum.”
20378 — Dari Abu Harun
al-‘Abdiy: Abu Sa’id al-Khudriy t berkata, “Hampir dekat
masanya serombongan utusan berangkat, lalu ditanyakan: apakah di antara mereka
ada satu saja sahabat Rasulullah r? Lalu didapatilah satu,
dua, dan tiga orang sehingga mereka ditolong (oleh Allah) karenanya. Berangkat
pula sepasukan tentara, lalu ditanyakan: apakah di antara mereka ada satu saja
sahabat Rasulullah r? Ternyata tidak ada. Lalu
ditanyakan lagi: apakah diantara mereka ada orang-orang yang pernah bersahabat
dengan sahabat Rasulullah r? Didapatilah satu dan dua
orang. Hingga, andai pun salah seorang dari mereka berada di seberang lautan
niscaya orang-orang akan naik kapal untuk belajar darinya.”
20379 — Dari salah seorang
putra ‘Abdurrahman bin ‘Auf: ‘Abdurrahman bin ‘Auf t berkata: aku pernah
bersama ‘Umar t dalam suatu perjalanan menuju Makkah. Kami singgah di
saat menjelang zhuhur, lalu tidur. Aku bermimpi seakan-akan ‘Umar lewat di
dekatku, lalu mendorong Ummu Kultsum binti ‘Uqbah radhiyallahu ‘anha
dengan kakinya, dan terus berjalan. Aku pun merapatkan pakaianku dan
mengikutinya. Lalu aku berhasil menyusulnya dan berkata, “Wahai amirul
mu’minin, saya tidak bisa menyusul Anda kecuali dengan susah-payah, dan
menurut saya, orang lain pun tidak bisa menyusul Anda kecuali dengan susah
payah pula.” Beliau berkata, “Menurutku, aku tidak (berjalan) cepat-cepat.”
‘Abdurrahman berkata, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh aku yakin
bahwa itu adalah amalnya – atau, karena amalnya.”[7]
20380 — Dari Zirr bin
Hubaisy: ‘Ali t berkata, “Kami tidak menganggap mustahil bahwa ketenangan
(as-sakinah) itu berbicara secara langsung melalui lidah ‘Umar t.”[8]
20381 — Dari ‘Ikrimah bin
Khalid: sesungguhnya Hafshah radhiyallahu ‘anha, Ibnu Muthi’ dan
‘Abdullah bin ‘Umar t mengajukan usulan kepada
‘Umar bin al-Khaththab t. Mereka berkata,
“Andaikan Anda mau memakan makanan yang baik, niscaya itu akan lebih memperkuat
Anda dalam membela kebenaran.” Beliau berkata, “Apakah kalian semua berpendapat
demikian?” Mereka menjawab, “Ya, benar.” Beliau berkata, “Aku tahu, kalian ini
hanya ingin menasihati. Akan tetapi, aku meninggalkan kedua temanku di tengah
jalan besar lagi lempang. Jika aku meninggalkan jalan mereka ini, pasti
kedudukanku tidak akan bisa menyusul kedudukan mereka.”[9] ‘Ikrimah bin
Khalid berkata, “Paceklik pernah menimpa rakyat. Maka, di tahun itu beliau
tidak pernah mengkonsumsi mentega maupun minyak samin sampai bisa
menyejahterakan rakyatnya.”
20382 — Dari Salim: dari
Ibnu ‘Umar t: sesungguhnya Nabi r melihat ‘Umar t memakai gamis putih. Beliau bertanya, “Apakah gamismu ini
baru atau selesai dicuci?” ‘Umar menjawab, “Selesai dicuci.” Beliau bersabda,
“Kenakanlah pakaian baru, hiduplah terpuji, dan matilah sebagai syahid. Semoga
Allah memberimu penyejuk pandangan mata di dunia dan akhirat.” ‘Umar berkata,
“Demikian pula Anda, wahai Rasulullah.”[10]
20383 — Ibnu al-Musayyib
berkata: Nabi r bersabda, “Ketika aku sedang tidur, aku bermimpi seakan-akan
berada di surga. Tiba-tiba aku menjumpai seorang wanita yang sedang berwudhu’
di istananya. Aku bertanya: ‘Milik siapa (istana) ini?’ Mereka menjawab: ‘Milik
‘Umar.’ Aku pun teringat rasa cemburunya sehingga aku segera berbalik pergi.”
‘Umar t pun menangis mendengar hal itu dan berkata, “Apakah
terhadapmu aku pantas cemburu, wahai Rasulullah?”[11]
20384 — Dari Salim: dari
ayahnya: kami pernah diberitahu bahwa Nabi r berkisah, “Ketika aku
sedang tidur, aku bermimpi diberi semangkuk besar (minuman). Aku pun meminumnya
hingga seolah-olah aku melihat kesegaran keluar dari kuku-kukuku. Kemudian
kuberikan sisa minumanku kepada ‘Umar.” Orang-orang bertanya, “Apa takwil Anda
terhadap mimpi itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ilmu.”[12]
20385 — Dari Abu Umamah bin
Sahl bin Hunaif: dari salah seorang sahabat Rasulullah r: sesungguhnya Nabi r bersabda, “Ketika aku sedang tidur, aku bermimpi melihat
manusia dihadapkan kepadaku. Mereka semua mengenakan gamis. Ada yang hanya
mencapai dadanya, ada pula yang lebih rendah dari itu. Lalu ‘Umar dihadapkan
kepadaku dan ia mengenakan gamis yang diseretnya.” Mereka bertanya, “Apa takwil
Anda terhadapnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Agama.”[13]
20386 — Dari az-Zuhri:
Ibnu al-Musayyib berkata: tatkala ‘Umar t ditikam, Ka’ab berkata,
“Andai ‘Umar mau berdoa, niscaya akan ditunda ajalnya.” Orang-orang pun
berkata, “Subhanallah! Bukankah Allah telah berfirman: “Bila telah
datang ajal mereka, maka mereka tidak bisa meminta ditunda dan tidak pula
dipercepat.” (QS al-A’raf: 34). Beliau berkata, “Allah telah berfirman: ‘...dan
sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula
dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauhul
Mahfuzh)...’” (QS Fathir: 11). Az-Zuhri berkata, “Mereka berpandangan bahwa
bila memang telah tiba ajal beliau, maka tidak bisa minta ditunda sesaat pun
dan tidak pula dimajukan. Tetapi selama ajal beliau belum akan tiba maka Allah
bisa menunda maupun mempercepat sekehendak-Nya.” Beliau melanjutkan, “Tidak
seorangpun melainkan ia mempunyai ajal serta usia yang telah ditetapkan.”
20387 — Qatadah berkata:
Rasulullah r bersabda, “Umatku yang paling sayang kepada umatku adalah
Abu Bakar; yang paling kuat dalam (menjaga) perintah Allah adalah ‘Umar; yang
paling jujur rasa malunya adalah ‘Utsman; yang paling terpercaya adalah Abu
‘Ubaidah bin al-Jarrah; yang paling mengerti halal dan haram adalah Mu’adz;
yang paling baik bacaan Al-Qur’an-nya adalah Ubayy; dan yang paling mengetahui fara’idh
adalah Zaid.” Qatadah berkata dalam haditsnya, “Yang paling pandai memutuskan
perkara adalah ‘Ali.”[14]
20388 — Dari Ibnu Thawus:
ayahnya berkata: ketika Nabi r mengirim ‘Ali t ke Yaman, Buraidah al-Aslamiy t pun turut keluar
bersamanya. Buraidah mencela ‘Ali dalam suatu persoalan lalu mengadukannya
kepada Nabi r. Maka, beliau pun bersabda, “Barangsiapa yang aku adalah
pemimpinnya, maka sesungguhnya ‘Ali pun pemimpinnya.”[15]
20389 — Dari al-Muthhtalib
bin ‘Abdillah bin Hanthab: Rasulullah r bersabda kepada utusan
kaum Tsaqif ketika mereka datang, “Masuklah kalian ke dalam Islam, atau akan
kami kirim kepada kalian seseorang dariku – atau, beliau mengatakan: yang
serupa denganku – sehingga ia memenggal tengkuk-tengkuk kalian, menawan
anak-anak kalian, dan merampas harta kalian!” ‘Umar pun berkata, “Sungguh demi
Allah, aku tidak pernah mengharapkan (kedudukan) sebagai pemimpin kecuali di
hari itu. Aku pun menegakkan dadaku dengan harapan beliau berkata: ‘ini dia!’
Namun beliau berpaling kepada ‘Ali t, lalu menggandeng
tangannya dan berkata: ‘Ini dia! Ini dia!’”[16]
20390 — Ibnu al-Musayyib
berkata: salah seorang putra Sa’ad bin Abi Waqqash mengungkapkan sebuah hadits
kepadaku, yang bersumber dari ayahnya. Maka, aku pun masuk menemui beliau dan
kukatakan, “Ceritakan kepada saya sebuah hadits yang pernah Anda sampaikan
(perihal) ketika Nabi r mengangkat Ali t sebagai pengganti beliau (menjaga) Madinah.” Sa’ad t pun marah dan berkata, “Siapa yang memberitahumu hadits
ini?” Aku pun enggan memberitahunya perihal anaknya yang karena itu dia bisa
dimarahi. Beliau kemudian berkata: sesungguhnya Rasulullah r pergi keluar dalam perang Tabuk lalu meminta ‘Ali sebagai
penggantinya di Madinah. ‘Ali pun berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak suka
bila Anda keluar ke suatu tujuan melainkan saya juga ikut bersama Anda.” Nabi r pun bersabda kepadanya, “Tidakkah engkau ridha bila
kedudukanmu di sisiku adalah ibarat Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada
nabi lagi setelahku?”[17]
20391 — Al-Hasan dan
lain-lain berkata, “Orang yang pertamakali masuk Islam sesudah Khadijah radhiyallahu
‘anha adalah ‘Ali bin Abi Thalib t. Saat itu beliau berusia
lima belas atau enam belas tahun.”
20392 — Dari Miqsam: Ibnu
‘Abbas t berkata, “Orang yang pertamakali masuk Islam adalah ‘Ali t.”
20393 — Az-Zuhri berkata,
“Kami tidak mengetahui seorang pun yang masuk Islam sebelum Zaid bin Haritsah t.” ‘Abdurrazzaq berkata, “Saya juga tidak tahu seorang pun
yang pernah menyebutkannya.”
20394 — Qatadah berkata:
‘Ali, Ja’far dan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum berselisih (dan
mengadukannya) kepada Nabi r, mereka saling
memperebutkan (untuk mengasuh) putri Hamzah t. Ali berkata, “Aku yang
mengeluarkannya dari Makkah dari tengah-tengah kaum musyrikin, dan aku pun anak
dari pamannya.” Ja’far berkata, “Aku ini anak pamannya dan bibinya adalah
istriku.” Zaid berkata, “Aku ini pamannya.” Nabi r sendiri telah
mempersaudarakan mereka (yakni, Hamzah dan Zaid). Beliau bersabda kepada ‘Ali,
“Engkau bagian dari diriku dan akupun bagian dari dirimu.” Beliau bersabda
kepada Ja’far, “Tampilan fisikmu mirip denganku, demikian pula
tindak-tandukmu.” Beliau bersabda kepada Zaid, “Engkau adalah bekas budakku dan
orang yang paling aku sayangi. Serahkan dia – yakni, putri Hamzah – kepada
bibinya.” Maka ia pun diserahkan kepada Ja’far.[18]
20395 — Dari Ibnu
al-Musayyib: sesungguhnya Nabi r bersabda pada hari
pertempuran Khaibar, “Sungguh akan aku serahkan panji-panji pasukan ini kepada
seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya – atau, yang dicintai oleh Allah
dan Rasul-Nya.” Lalu beliau menyerahkannya kepada ‘Ali t, yang saat itu sedang
menderita sakit mata sehingga tidak bisa melihat tempat berpijak kedua telapak
kakinya sendiri. Beliaupun meludahi kedua matanya, dan diraihlah kemenangan.”[19]
20396 — ‘Ikrimah berkata:
tatkala Nabi r menikahkan Fathimah radhiyallahu ‘anha, beliau
bersabda, “Aku tidak lalai telah menikahkanmu dengan anggota keluargaku yang
paling kusayangi.”[20]
20397 — Dari Ibnu
al-Musayyib: Rasulullah r bersabda, “Tidak ada
harta salah seorang dari kaum muslimin yang lebih bermanfaat bagiku dibanding
harta Abu Bakar t.” Ibnu al-Musayyib berkata, “Adalah Rasulullah r menghabiskan harta Abu Bakar sebagaimana beliau
menghabiskan hartanya sendiri.”[21]
20398 — Dari Abu
al-Ahwash: dari ‘Abdullah bin Mas’ud t: Rasulullah r bersabda, “Andai aku mengambil seseorang sebagai orang
terkasih (khalil), pastilah aku ambil putra Abu Quhafah sebagai orang
terkasihku.”[22]
20399 — Ibnu Sirin
berkata: Nabi r mengangkat ‘Amr bin al-‘Ash t sebagai komandan pasukan,
dan pertempuran itu kemudian disebut dengan perang Dzatu al-Salasil.
Beliau berkata: aku bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling
Anda cintai?” Beliau menjawab, “’Aisyah.” Aku katakan, “Bukan kaum wanita yang
saya maksudkan.” Beliau menjawab, “Kalau begitu, ayahnya.”[23]
20400 — Qatadah berkata:
ada sebidang tanah di samping masjid, maka Nabi r bersabda, “Siapa yang mau
membelinya serta (menyerahkannya untuk) memperluas masjid, dan baginya tanah
yang seukuran dengannya di surga?” Maka, ‘Utsman t pun membelinya dan
(menyerahkannya untuk) perluasan masjid.[24]
20401 — Dari Abu Hazim:
Sahl bin Sa’ad t berkata: pada suatu hari ‘Utsman t meminta orang-orang
bersumpah dengan nama Allah, lalu beliau berkata, “Adakah kalian tahu bahwa
Nabi r mendaki bukit Uhud bersama Abu Bakar, ‘Umar dan saya
sendiri. Bukit Uhud bergetar sementara diatasnya ada Nabi r, Abu Bakar, ‘Umar dan
‘Utsman. Maka, Rasulullah r bersabda: ‘Tenanglah,
wahai Uhud! Tidaklah yang berada diatasmu ini melainkan seorang Nabi, seorang shiddiq,
dan dua orang syahid.’”[25] Ma’mar
berkata, “Saya mendengar Qatadah menceritakan hadits yang serupa.”
20402 — Dari Abu ‘Utsman
an-Nahdiy: Abu Musa al-Asy’ari t berkata: aku pernah
bersama Nabi r – saya yakin beliau berkata: di sebuah kebun. Datanglah
seseorang, lalu ia mengucapkan salam kepada beliau. Rasulullah r pun bersabda (kepadaku), “Pergilah! Izinkah (dia masuk),
dan beri dia kabar gembira dengan surga.” Aku pun pergi, dan ternyata orang itu
adalah Abu Bakar t. Aku katakan, “Masuklah, dan bergembiralah dengan surga.”
Ia pun terus-menerus memuji Allah sampai duduk. Kemudian datang orang lain
lagi, yang juga mengucapkan salam. Rasulullah r pun bersabda, “Pergilah!
Izinkah (dia masuk), dan beri dia kabar gembira dengan surga.” Aku pun
berangkat, dan ternyata dia adalah ‘Umar t. Aku katakan, “Masuklah,
dan bergembiralah dengan surga.” Ia pun terus-menerus memuji Allah sampai
duduk. Kemudian datang seorang lagi. Ia lalu mengucapkan salam. Rasulullah r pun bersabda, “Pergilah! Izinkah (dia masuk), dan beri
dia kabar gembira dengan surga, setelah cobaan yang sangat hebat.” Aku pun berangkat,
dan ternyata dia adalah ‘Utsman t. Aku katakan, “Masuklah,
dan bergembiralah dengan surga diatas cobaan yang sangat hebat.” Ia pun
langsung berkata, “Ya Allah, berilah kesabaran,” sampai ia duduk.[26]
20403 — Az-Zuhri berkata:
Rasulullah r bersabda, “Ketika seseorang tengah menggiring seekor
sapi, sementara ia sendiri naik diatasnya, sapi itu menoleh kepadanya dan
berkata: ‘sungguh aku diciptakan bukan untuk ditunggangi, namun aku diciptakan
untuk membajak (tanah).’” Orang-orang pun berkata, “Subhanallah!” Nabi r kemudian bersabda, “Sungguh aku mempercayai hal itu,
demikian pula Abu Bakar dan ‘Umar.”[27]
20404 — Az-Zuhri berkata:
Rasulullah r bersabda, “Ketika seorang penggembala tengah
menggembalakan kambing-kambingnya, datanglah serigala yang kemudian mengambil
seekor kambing. Maka si penggembala mengejarnya sehingga bisa merebut kambing
itu darinya. Serigala itupun menoleh kepadanya dan berkata, “Siapa yang lalai
pada hari as-sabu’ – maksudnya, nama tempat – sehingga disini tidak ada
penggembala selain aku?” Orang-orang pun berkata, “Subhanallah! Serigala
bisa berbicara!” Nabi r bersabda, “Sungguh aku
mempercayai semua ini, demikian pula Abu Bakar dan ‘Umar.”[28]
20405 — Ibnu Sirin
berkata: Hudzaifah t ditanya tentang sesuatu
hal, lalu beliau berkata, “Orang yang layak berfatwa itu hanya satu dari tiga
ini: orang yang mengerti nasikh-mansukh.” Orang-orang bertanya, “Siapa
yang mengerti hal itu?” Beliau menjawab, “’Umar.” (Beliau melanjutkan), “Atau
seseorang yang memegang tampuk kekuasaan sehingga tidak bisa mengelak dari
berfatwa, atau orang yang memaksakan diri.”[29]
20406 — Dari Abu ‘Ubaidah:
dari Ibnu Mas’ud t: sesungguhnya Sa’id bin Zaid t bertanya kepadanya,
“Wahai Abu ‘Abdirrahman, Rasulullah r telah wafat, dimanakah
beliau sekarang?” Dijawab, “Beliau di surga.” Ditanyakan lagi, “Abu Bakar t telah meninggal, dimanakah beliau sekarang?” Dijawab,
“Orang yang penuh kasih itu, selalu mencari kebajikan dimanapun adanya.”
Ditanyakan lagi, “’Umar t telah meninggal,
dimanakan beliau sekarang?” Dijawab, “Bila orang-orang shalih disebut, ayo
segeralah (sebutkan) ‘Umar!”[30]
20407 — Qatadah dan Hammad
berkata: Ibnu Mas’ud t pernah berkata,
“Sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaththab t adalah benteng yang
sangat kokoh bagi Islam. Ia masuk ke dalam Islam dan tidak pernah keluar darinya.
Tatkala ia meninggal maka benar-benar retaklah bagian dari benteng itu. Ia
sendiri keluar darinya dan tidak masuk lagi ke dalamnya. Bila ia menempuh suatu
jalan, maka kami dapati jalan itu rata lagi mudah. Bila orang-orang shalih
disebut maka ayo segeralah (sebutkan) ‘Umar. Ia pemilah antara yang berlebih
dan kurang. Demi Allah, sungguh aku berharap bisa melayani orang seperti itu
sampai aku meninggal.”[31]
20408 — Dari al-‘Alaa’ bin
‘Arar: sesungguhnya ia bertanya kepada Ibnu ‘Umar t perihal ‘Ali dan ‘Utsman radhiyallahu
‘anhuma. Beliau menjawab, “Adapun tentang ‘Ali, maka demikianlah
kedudukannya. Saya tak perlu menceritakan padamu yang lainnya. Adapun ‘Utsman,
maka beliau pernah melakukan dosa yang sangat besar dalam perang Uhud lalu
Allah memaafkannya, sedang ia melakukan dosa kecil saja terhadap kalian, tetapi
kalian membunuhnya.”[32]
20409 — Dari Yahya bin
Sa’id bin al-‘Ash: ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Abu Bakar t minta izin menemui Nabi r sementara saya sedang
bersama beliau di dalam satu mantel bulu. Beliau mengizinkannya masuk, dan Abu
Bakar menyelesaikan keperluannya sementara beliau tetap bersama saya dalam
mantel bulu itu. Abu Bakar lalu keluar. Kemudian ‘Umar t minta izin pula untuk
menemui beliau, dan beliau mengizinkannya, sehingga ‘Umar menyelesaikan
keperluannya sementara saya tetap bersama beliau dalam mantel bulu itu. ‘Umar
lalu keluar. Kemudian ‘Utsman t minta izin menemui
beliau, maka beliau pun membenahi pakaiannya dan duduk, sehingga ‘Utsman
menyelesaikan keperluannya, lalu keluar. Saya bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Abu
Bakar minta izin menemuimu, lalu menyelesaikan keperluannya sementara engkau
tetap dalam keadaanmu; kemudian ‘Umar pun minta izin menemuimu, lalu
menyelesaikan keperluannya sementara engkau juga tetap dalam keadaanmu; lalu
‘Utsman minta izin menemuimu, maka sepertinya engkau sangat berhati-hati.”
Beliau menjawab, “Sungguh ‘Utsman itu orang yang sangat pemalu. Andai aku
mengizinkannya masuk (sementara aku) masih dalam keadaan itu tadi, aku khawatir
ia tidak jadi menyelesaikan keperluannya padaku.”[33] Az-Zuhri
berkata, “Tidak seperti yang dikatakan oleh para pembohong itu: ‘tidakkah aku
malu terhadap seseorang yang malaikat pun merasa malu kepadanya’?”
20410 — ‘Ubaidullah bin
‘Abdullah bin ‘Utbah menyampaikan: sesungguhnya Rasulullah r memberi kepada sekelompok orang dimana di dalamnya
terdapat ‘Abdurrahman t, akan tetapi beliau tidak
memberinya sedikitpun. Maka, ia pun keluar dengan menangis dan berjumpa dengan
‘Umar t yang lalu bertanya padanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Dijawab, “Nabi r memberi sekelompok orang tetapi tidak memberiku apa-apa.
Aku takut beliau tidak mau memberiku karena adanya suatu kejahatan yang beliau
dapati pada diriku.” ‘Umar pun masuk menemui Rasulullah r dan menceritakan kepada
beliau tentang ‘Abdurrahman. Rasulullah r pun bersabda, “Tidak ada
kemarahan apapun dalam diriku kepadanya, tetapi aku (tidak memberinya karena
aku) mempercayakannya kepada imannya.”[34]
20411 — Dari Qatadah dan
Aban: dari Anas t: sesungguhnya Nabi r bersabda kepada Ubayy bin
Ka’ab t, “Tuhanku menyuruhku untuk membaca Al-Qur’an di
hadapanmu.” Ubayy pun bertanya, “Apakah Dia menyebut namaku kepada Anda?”
Beliau menjawab, “(Ya), Dia menyebut namamu kepadaku.” Maka, Ubayy pun
menangis. Ma’mar berkata: adapun Aban bin Abi ‘Iyasy, beliau mengabarkan
kepadaku: dari Anas t: bahwa Ubayy bertanya,
“Apakah namaku disebutkan disana?” Nabi r menjawab, “Ya.” Maka,
Ubayy pun menangis.[35]
20412 — ‘Atha’
al-Khurasani berkata: aku berada di sisi Sa’id bin al-Musayyib, lalu beliau
mengisahkan perihal Bilal t. Beliau berkata, “Ia
adalah orang yang sangat pelit terhadap agamanya. Ia dhsiksa karena Allah
semata. Ia disiksa atas agamanya. Bila orang-orang musyrik hendak mendekatinya,
ia berkata: ‘Allah! Allah!’ Maka, Nabi r pun menjumpai Abu Bakar t lalu bersabda: ‘Andai kita mempunyai sesuatu, niscaya
kita beli Bilal.’ Maka Abu Bakar pun menemui al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib
lalu berkata: ‘Belilah Bilal untukku!’ Al-‘Abbas pun berangkat, kemudian ia
berkata kepada majikan Bilal: ‘Apakah engkau mau menjual padaku budakmu ini,
sebelum engkau kehilangan kebaikannya dan tidak bisa lagi memperoleh nilainya?’
Majikannya bertanya: ‘Apa yang akan kauperbuat dengannya? Dia ini sampah! Dia
ini! Dia ini!’ Al-‘Abbas pun kembali mengulangi tawarannya. Akhirnya al-‘Abbas
membelinya dan dikirimkannya kepada Abu Bakar yang kemudian memerdekakannya.
Bilal dulu juga beradzan untuk Rasulullah r. Ketika beliau telah
wafat, ia ingin keluar menuju Syam, namun Abu Bakar berkata kepadanya:
‘(Jangan), tetaplah di sisiku!’ Ia menjawab: ‘Jika Anda dulu memerdekakan saya
karena Allah, maka biarkan saya pergi kepada Allah.’ Abu Bakar pun berkata:
‘Pergilah!’ Ia pun pergi ke Syam dan tetap tinggal disana sampai meninggalnya.[36]
20413 — Dari Hisyam bin
‘Urwah: dari ayahnya: Nabi r berkhutbah, lalu beliau
bersabda, “Orang-orang mencercaku dalam hal pengangkatan Usamah sebagai
pemimpin sebagaimana mereka juga mencercaku dalam hal pengangkatan ayahnya
sebagai pemimpin sebelum ini. Sungguh ayahnya adalah salah seorang diantara
kalian yang paling kucintai, dan sungguh ia (yakni, Usamah) adalah salah
seorang diantara kalian yang paling kucintai setelahnya.”[37]
20414 — Dari Qatadah: Anas
t berkata: ketika jenazah Sa’ad bin Mu’adz t tengah diusung, orang-orang munafiq berkata, “Betapa
ringan jenazahnya! (Ini pasti) karena hukuman yang dia putuskan untuk Bani
Quraizah!” Hal itu pun sampai kepada Rasulullah r sehingga beliau bersabda,
“Tidak, akan tetapi para malaikat mengusung jenazahnya.”[38]
20415 — Dari Ma’mar: dari
seseorang, yang mendengar Anas t berkata: Rasulullah r dihadiahi sepotong baju dari sutera tipis (sundus),
dan para sahabat beliau sangat terkagum-kagum oleh keindahannya. Maka, beliau
pun bersabda, “Apa yang membuat kalian takjub dari baju sutera ini? Demi Allah,
sungguh sapu tangan milik Sa’ad bin Mu’adz di surga lebih indah dari ini.”[39]
20416 — Dari Kharijah bin
Zaid: Zaid bin Tsabit t berkata, “Tatkala kami
menulis mushhaf-mushhaf (Al-Qur’an), saya tidak menemukan
satu ayat yang pernah saya dengar dari Rasulullah r. Saya kemudian menemukannya
ada pada Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari t, yaitu ayat: “Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur, dan
diantara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak mengubah
(janjinya).” (QS al-Ahzab: 23). Zaid melanjutkan, “Khuzaimah adalah
seseorang yang dikenal sebagai dzu asy-syahadatain (pemegang dua
kesaksian), dimana Rasulullah r memperbolehkan
persaksiannya sendirian sama dengan persaksian dua orang laki-laki. Beliau
terbunuh dalam perang Shiffin bersama ‘Ali t.”[40]
20417 — Dari az-Zuhri atau
Qatadah – atau, kedua-duanya: sesungguhnya seorang Yahudi datang menagih hutang
kepada Rasulullah r. Beliau berkata, “Aku
sudah melunasi hutangku padamu.” Si Yahudi berkata, “Apa buktimu?” Maka
datanglah Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari t, lalu berkata, “Aku
bersaksi bahwa beliau telah melunasi hutangnya padamu.” Nabi r bertanya, “Darimana engkau tahu?” Khuzaimah menjawab,
“Saya telah mempercayai Anda dalam hal yang lebih besar dari ini. Saya
mempercayai Anda perihal berita-berita dari langit.” Maka, Rasulullah r pun memperbolehkan kesaksian Khuzaimah sendirian sepadan
dengan kesaksian dua orang laki-laki.[41]
20418 — Dari Qatadah: dari
seseorang, yang mendengar al-Hasan berkata: seorang budak kecil milik Hathib
bin Abi Balta’ah t datang kepada Nabi r lalu berkata, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya Hathib telah menampar wajah saya. Demi Allah, sungguh
menurut saya ia akan masuk neraka.” Maka Nabi r pun bersabda, “Bohong!
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya ia telah menyaksikan (peristiwa) Badar dan
al-Hudaibiyyah.”[42]
20419 — Dari Ayyub:
‘Aisyah binti Sa’ad berkata, “Aku adalah putri dari seorang muhajir yang
ditebus oleh Rasulullah r pada hari (terjadinya)
perang Uhud dengan kedua orangtuanya.”
--- bersambung ---
[1] Selengkapnya, riwayat ini
juga dikutip Ahmad dan Ibnu Majah. Menurut Syekh al-Arna’uth, ini hadits
shahih, dan isnad milik Ahmad statusnya hasan. “Mempertentangkan
(ayat-ayat) Al-Qur’an” maksudnya bantah-membantah dengan sama-sama memakai
ayat-ayat Al-Qur’an.
[2] Semua perawi dalam sanad-nya tsiqah. “Mereka
akan berada di tepi (kehancuran)”, aslinya tertulis: ya’-ha’-ya’-fa’-wawu-alif.
Dalam manuskrip, kalimat aslinya kurang jelas terbaca. Demikian menurut
editornya.
[3] Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi.
[4] Riwayat ini dikeluarkan pula oleh Muslim.
[5] Teks utama riwayat ini juga dikeluarkan oleh Muslim dari
Ubayy, adapun tambahan kisah pada penghujungnya diriwayatkan pula oleh Ahmad
dari Abu Hurairah, namun bunyinya adalah ‘aliman-hakimaa dan ghafuran-rahimaa.
[6] Riwayat ini juga dikeluarkan Muslim dalam kitab al-hajj.
[7] Maksudnya, amal ‘Umar sangat sukar ditandingi orang lain,
kecuali dengan susah-payah. Ummu Kultsum binti ‘Uqbah adalah istri
‘Abdurrahman. Sebelum itu dia adalah istri Zaid bin Haritsah, kemudian
az-Zubair, kemudian ‘Abdurrahman, dan sepeninggalnya dia diperistri oleh ‘Amr
bin al-‘Ash, radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
[8] Juga dikutip oleh Musaddad, Ibnu Mani’, Sa’id bin Manshur,
Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, ath-Thabrani dalam al-Ausath dan Ibnu
‘Asakir. Dalam riwayat lain redaksinya ada yang berbunyi “kami tidak ragu”
atau “kami tidak merasa aneh”.
[9] Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan dan Ibnu
‘Asakir. “Kedua temanku” adalah: Rasulullah r dan Abu Bakar.
[10] Dikeluarkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani secara lengkap, dan
oleh Ibnu Majah secara ringkas. Riwayat Ibnu Majah, menurut Syekh al-Albani: shahih.
Menurut Syekh al-Arna’uth, para perawi Ahmad tsiqah, yakni perawi
asy-Syaikhaini, namun para ulama’ menengarai adanya cacat tertentu di dalamnya.
Meski demikian, Ibnu Hibban dan al-Bushiri men-shahih-kannya,
semata-mata berdasar kepada lahiriah sanad-nya. Al-Hafizh Ibnu Hajar
menilainya hasan dalam Takhrij al-Adzkar karena ia mempunyai syahid.
[11] Dikeluarkan juga oleh al-Bukhari dalam at-ta’bir dan manaqib
‘umar; dan juga Muslim.
[12] Dikeluarkan juga oleh al-Bukhari dalam fadhlu ‘umar
dan at-ta’bir.
[13] Dikeluarkan al-Bukhari dalam at-ta’bir dan manaqib
‘umar. Maksud “gamis yang diseretnya” adalah panjangnya berlebih
dibanding ukuran tubuhnya.
[14] Dikeluarkan pula oleh Sa’id bin Manshur dari Qatadah secara mursal.
At-Tirmidzi mengutip riwayat Qatadah: dari Anas, dari dua jalur dalam manaqib
mu’adz bin jabal wa zaid bin tsabit wa ubayy wa abi ‘ubaidah bin al-jarrah
radhiyallahu ‘anhum, tanpa tambahan perihal ‘Ali. Jalur pertama, menurut
beliau hasan-gharib, sedang yang kedua hasan-shahih. Ibnu Majah
juga mengutip riwayat serupa yang di dalamnya terdapat perihal ‘Ali, dari Abu
Qilabah: dari Anas, dalam manaqib khabbab. Menurut Syekh al-Albani: shahih.
[15] Dikeluarkan oleh al-Bazzar dan Ahmad dalam hadits buraidah
al-aslamiy. Menurut Syekh al-Arna’uth: isnad riwayat Ahmad shahih
‘ala syarthi asy-syaikhaini.
[16] Riwayat ini mursal, sebab Ibnu Hanthab adalah tabi’in.
[17] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam manaqib ‘ali
dan ghazwatu tabuk.
[18] Riwayat ini dapat dirujuk kepada Shahih al-Bukhari dalam ‘umratu
al-qadha’. Nama anak perempuan Hamzah adalah ‘Umarah, ibunya bernama Salma
binti ‘Umais, sedangkan istri Ja’far adalah saudarinya yang bernama Asma’ binti
‘Umais. Zaid mengeluarkan bocah perempuan ini dari Makkah, sementara ‘Ali dan
Fathimah yang membawanya sampai ke Madinah. Keterangan ini kami kutip dari Fath
al-Bariy karya al-Hafizh Ibnu Hajar.
[19] Dikeluarkan pula oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Sahl bin
Sa’ad dan lain-lain.
[20] Riwayat ini, dalam kisah yang lebih lengkap, dikutip
an-Nasa’i dalam al-Kubra, dari Ibnu ‘Abbas; juga oleh ath-Thabrani dalam
riwayat yang panjang, dari Asma’ binti ‘Umais.
[21] Riwayat ini dikeluarkan al-Bukhari dari Abu Sa’id, juga
at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, dengan redaksi berbeda.
[23] Juga dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hibban.
[24] Dikeluarkan pula oleh at-Tirmidzi, dan menurut beliau hasan.
Juga dikeluarkan oleh an-Nasa’i, dan menurut Syekh al-Albani: shahih. “Masjid”
yang dimaksud disini adalah Masjid Nabawi di Madinah.
[25] Hadits ini dikeluarkan at-Tirmidzi dalam kisah panjang,
bersumber dari Tsumamah bin Hazan, seorang tabi’in yang menyaksikan
peristiwa ini saat rumah ‘Utsman dikepung kaum pemberontak (yaum ad-daar).
Al-Bukhari mengeluarkannya dalam manaqib ‘umar dan manaqib ‘utsman,
dari Anas. Sedangkan hadits Sahl bin Sa’ad diatas juga dikutip oleh Abu Ya’la
dalam al-Musnad.
[26] Dikeluarkan pula oleh al-Bukhari dan Muslim. Kata “kebun”
aslinya adalah al-ha’ith, yang secara harfiah berarti pagar, yakni kebun
yang diberi pagar.
[27] Kisah ini juga dikutip oleh at-Tirmidzi, dari Abu Salamah:
dari Abu Hurairah. Abu Salamah menambahkan bahwa saat itu baik Abu Bakar maupun
‘Umar tidak ada dalam majelis tersebut. Menurut at-Tirmidzi: hadits ini hasan-shahih.
[28] Dalam Shahih al-Bukhari, riwayat ini digabung dengan nomor
sebelumnya, yang bersumber dari Abu Salamah: dari Abu Hurairah; diceritakan
oleh Nabi dari peristiwa di zaman Bani Isra’il. “Hari as-sabu’”
ditafsirkan secara beragam oleh para ulama’. As-sabu’ sendiri artinya
binatang-binatang buas, seperti singa dan serigala yang biasa menerkam mangsanya.
Katanya, as-sabu’ adalah nama tempat dikumpulkannya seluruh makhluk di hari
kiamat, seperti dalam riwayat Ma’mar diatas. Pendapat ini banyak dikritik,
sebab saat itu serigala bukan penggembala dan tidak ada hubungannya lagi dengan
kambing. Menurut sumber lain, as-sabu’ adalah hari raya zaman jahiliyah saat
orang sibuk berpesta hingga lupa mengawasi kambingnya, seolah-olah justru
digembalakan serigala. Katanya, maknanya: jika kambing telah diambil binatang
buas, maka tidak bisa lagi direbut, sebab saat itu dialah yang menjadi
penggembalanya; si penggembala sendiri lari meninggalkan ternaknya sehingga
serigala bebas mengambil apa yang dia sukai. Ada yang berpendapat, peristiwa
ini terjadi saat manusia sibuk menghadapi huru-hara sehingga menelantarkan
ternaknya, seakan-akan binatang buas menjadi pengawas yang bisa memilih mana
saja yang dia kehendaki. Perihal kisah ini, bisa jadi Abu Bakar dan ‘Umar sudah
pernah diberitahu sehingga Nabi berkata begitu saat mereka sendiri tidak hadir
dalam majlis tersebut, atau karena beliau sangat mempercayai iman mereka berdua
sehingga bisa dipastikan mempercayai kisah sapi dan serigala yang bisa
berbicara diatas. Keterangan ini dikutip dari Fath al-Bariy.
[29] Juga dikeluarkan oleh ad-Darimi. Dalam riwayat lain
disebutkan, “atau orang dungu yang memaksakan diri.”
[30] Riwayat ini juga dikutip ath-Thabrani secara lengkap, dan
menurut al-Haitsami: isnad-nya hasan. Disini, Abu Bakar disebut al-awwah,
maknanya: banyak berdoa, penuh kasih kepada sesama hamba Allah, penuh
keyakinan, memiliki pengetahuan mendalam, bisa dipercaya, beriman, banyak
mengingat Allah, banyak membaca Al-Qur’an, penghiba, sangat takut kepada
neraka, serta penuh ketundukan dan kekhusyu’an. Semua makna ini dikutip
ath-Thabari dalam penafsiran surah at-Taubah: 114 yang bersumber dari banyak
ulama’, berkenaan dengan sifat Nabi Ibrahim u. Menurut beliau, makna
yang paling tepat adalah penafsiran Ibnu Mas’ud, yakni: banyak berdoa.
[31] Dikeluarkan pula oleh ath-Thabrani melalui berbagai sanad.
Menurut al-Haitsami, para perawi dalam salah satu sanad-nya adalah
perawi kitab ash-Shahih.
[32] Dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kubra, para
perawinya tsiqah, hanya saja Zuhair bin Mu’awiyah mendengar riwayat dari
Abu Ishaq as-Subai’iy di akhir usianya, sementara saat itu hafalan Abu Ishaq
sudah berubah. Menurut al-Haitsami, riwayat ini juga dikeluarkan Abu Ya’la dan
al-Bazzar; di dalamnya ada seorang perawi yang lemah atau diperselisihkan;
sementara perawi lainnya tsiqah. Riwayat lain juga dikutip ath-Thabrani
dalam al-Kabir maupun al-Ausath; dan menurut al-Haitsami, dalam sanad
al-Ausath terdapat perawi yang tidak beliau kenal. Kalimat “...demikianlah
kedudukannya...” mengacu kepada rumah ‘Ali yang pintu masuknya ada di
bagian dalam masjid, sehingga boleh jadi beliau keluar masuk dalam kondisi junub.
Semua pintu rumah yang langsung ke dalam masjid diperintahkan oleh Rasulullah r untuk ditutup atau dialihkan, kecuali milik ‘Ali. Inilah
yang dimaksud oleh Ibnu ‘Umar tentang kedudukan ‘Ali, sebagaimana dijelaskan
dalam teks riwayat yang lain. Ketika itu,
Ibnu ‘Umar memang hanya menunjuk rumah ‘Ali yang masih berdiri di Masjid
Nabawi.
[33] Dikeluarkan pula oleh Muslim, namun tanpa menyertakan
komentar az-Zuhri di belakang riwayat ini.
[34] Dalam teks asli, tertulis nama ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin
‘Ubaid. Ini keliru, dan yang benar adalah yang kami cantumkan diatas. Beliau
adalah ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud, seorang wustha
tabi’in yang wafat tahun 94 H. Pembetulan ini didasarkan kepada riwayat
Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqa. ‘Abdurrahman yang dimaksud disini
adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf.
[35] Juga dikeluarkan oleh Muslim. “Membaca Al-Qur’an di
hadapanmu” maksudnya meminta agar bacaan Al-Qur’an beliau disimak oleh
Ubayy. Ini yang mendasari salah satu adab belajar, yakni tidak boleh segan
menerima ilmu dari orang yang lebih rendah kedudukannya. Riwayat ini juga
menjadi contoh praktik menyodorkan hafalan dan bacaan Al-Qur’an kepada seorang
guru untuk dipastikan ketepatannya.
[36] “Sangat pelit terhadap agamanya” maksudnya kuat sekali memegangnya
sehingga tidak dilepaskan.
[37] Al-Bukhari mengeluarkan riwayat yang serupa dengannya, dari
Ibnu ‘Umar. Hadits ini berkenaan dengan pengangkatan Usamah sebagai komandan
pasukan yang dikirim Rasulullah r ke Mu’tah menjelang
kewafatan beliau.
[38] Dikeluarkan pula oleh at-Tirmidzi dari jalur yang sama, dan
menurut beliau hasan-shahih-gharib. Menurut Anas, Sa’ad bin Mu’adz
sebenarnya bertubuh tinggi besar, namun jenazahnya ringan sekali. Kaum munafiq
tidak menyadari hal ghaib di baliknya, dan seperti biasa segera berprasangka
buruk kepada sesama muslim. “Hukuman yang dia putuskan untuk Bani Quraizah”
maksudnya dalam peristiwa pengkhianatan Yahudi Bani Quraizhah pada tahun 5 H,
dimana mereka melanggar kesepakatan saling menjaga dan melindungi jika musuh
menyerang Madinah. Mereka justru bersekongkol dengan kaum kafir Quraisy dan
sekutunya dalam perang Khandaq. Setelah Quraisy mundur kocar-kacir, Nabi r diperintahkan mendatangi Bani Quraizhah dan menghukum
mereka. Mereka menyerah sesudah dikepung sepanjang 25 malam, dan meminta Sa’ad
bin Mu’adz sebagai pemutus hukuman bagi mereka. Beliau adalah sekutu mereka di
zaman jahiliyah yang diharapkan masih menyimpan rasa iba di hatinya. Namun,
ternyata Sa’ad memutuskan bahwa seluruh laki-laki dewasa mereka harus dibunuh,
hartanya dirampas, dan anak-anak serta kaum wanita ditawan. Nabi r sendiri membenarkan keputusan Sa’ad, namun anehnya kaum
munafiq justru bersimpati kepada kaum Yahudi dan mencela Sa’ad. Mereka tak
berpikir bahwa andai pasukan sekutu (al-ahzab) berhasil masuk Madinah,
maka nasib serupa akan menimpa kaum muslimin juga. Sa’ad sendiri saat itu
terluka oleh anak panah sehingga terpaksa diamputasi sebatas matakakinya, namun
darah terus mengucur deras walau telah dibakar dengan api. Melihat hal ini,
beliau berdoa agar tidak diwafatkan sebelum merasa tenang melihat nasib akhir
Bani Quraizah, dan seketika itu juga darah tidak mengalir setetes pun. Setelah
selesainya hukuman mereka, darah kembali mengalir deras yang mengantarkan
kewafatannya.
[39] Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, dan menurut beliau hasan-shahih.
Dalam riwayat Ahmad, dari Anas: disebutkan bahwa Nabi r mengenakan jubah sutera
ini sebelum ada larangan mengenakan sutera. Para sahabat pun sangat kagum akan
kehalusan dan keindahannya, sehingga mereka menyentuh dan mengusap-usapnya.
Menurut Syekh al-Arna’uth, riwayat Ahmad ini shahih ‘ala syarthi
asy-syaikhaini. Dalam riwayat Ibnu Hibban, dari Anas juga, yang dinilai jayyid
oleh Syekh al-Arna’uth, dinyatakan bahwa pengirimnya adalah Ukaydir, penguasa
Romawi di Daumatul Jandal, sebuah kota dekat Tabuk.
[40] Hadits ini juga dikeluarkan al-Bukhari. “Saya tidak
menemukan satu ayat” maksudnya Zaid tak mendapati seseorang yang datang
kepada beliau dengan: (1) membawa catatan tertulis, (2) disertai dua orang
saksi, dan (3) bacaan yang cocok dengan catatan tersebut. Inilah syarat ketat
yang ditetapkan Zaid sebelum menerima sebuah dokumen tertulis dan memasukkannya
dalam kumpulan mushaf Al-Qur’an. Seperti tampak dalam riwayat diatas, Zaid
sendiri tahu persis bahwa ayat itu seharusnya ada disana dan beliau sendiri pun
pernah mendengarnya dari Nabi r. Namun masalahnya, sejauh
ini belum ada seorang pun yang datang dengan membawa catatan tertulisnya dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkannya. Riwayat ini menunjukkan bahwa Zaid
benar-benar hanya bertindak sebagai penyalin dan pengumpul berbagai catatan
tertulis Al-Qur’an yang telah dibuat di masa hidup Nabi r sendiri, bukan
mentranskrip (memindah ucapan lisan menjadi tulisan) dari hafalan para sahabat.
Andai perintah Abu Bakar adalah untuk mentranskrip, maka Zaid tidak perlu
mendatangkan banyak orang, sebab beliau sendiri pun hafal seluruh Al-Qur’an di
luar kepala. Inilah makna sebenarnya dari tindakan mengumpulkan Al-Qur’an di
zaman Abu Bakar, yakni menyatukan berbagai catatan yang telah dibuat di zaman
Nabi r dan berceceran di mana-mana ke dalam satu dokumen lengkap
dan tersendiri.
[41] Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa’i, bersumber dari
salah seorang sahabat yang tidak disebutkan namanya. Kedua riwayatnya dinilai shahih
oleh Syekh al-Albani, hanya saj` peristiwa yang melatarinya bukan masalah
hutang dengan orang Yahudi, namun jual beli seekor kuda yang dilakukan Nabi
dengan orang Arab dusun.
[42] Dikeluarkan oleh Ahmad, Muslim, dan at-Tirmidzi yang menurut
beliau: hasan-shahih, bersumber dari Jabir. “Menyaksikan” artinya
hadir dan turut serta di dalamnya. “Al-Hudaibiyyah” maksudnya adalah Bai’at
ar-Ridhwan atau Bai’at Syajarah (bai’at di bawah pohon), sebab
dilakukan di bawah sebatang pohon di Hudaibiyyah. Pohon ini ditebang di zaman
khalifah ‘Umar – atas perintah beliau – sebab orang-orang bodoh banyak yang
mendatanginya dan tampak gejala penyimpangan.