Bismillahirrahmanirrahim
Abu Nu’aim al-Ashbahani mencatat dalam kitab Hilyatul Auliya’, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib berkata,
“Hafalkanlah lima hal dari saya; yang mana seandainya kalian mengendarai unta
untuk mencarinya, pasti unta itu sudah binasa sebelum kalian mendapatkannya;
yaitu janganlah seorang hamba mengharapkan selain Tuhannya, janganlah ia merasa
takut kecuali kepada dosanya sendiri, jangan sampai orang bodoh merasa malu
untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, jangan sampai orang ‘alim
merasa malu untuk mengatakan ‘Allah lebih tahu (wallahu a’lam)’ tatkala ia
ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui; dan kesabaran (bila dikaitkan
dengan) iman adalah bagaikan kedudukan kepala dari tubuh, dan tidak ada
keimanan bagi orang yang tidak memiliki kesabaran.”
Pesan pertama adalah berharap hanya kepada Allah dan percaya penuh kepada-Nya. Inilah inti dari sikap zuhud. Oleh karenanya, seorang
ahli ibadah dari generasi Tabi’in, Yunus bin Maisarah bin Halbas al-Jublani, berkata,
“Kezuhudan di dunia itu bujan dengan mengharamkan yang halal, tidak pula dengan
menyia-nyiakan harta, akan tetapi kezuhudan di dunia adalah jika kepercayaanmu
kepada apa yang ada di tangan Allah lebih kuat dibanding kepercayaanmu kepada apa
yang ada di tanganmu; jika keadaanmu ketika tertimpa musibah dan keadaanmu
ketika tidak tertimpa adalah sama; dan jika orang yang mencelamu maupun
menyanjungmu dalam kebenaran adalah sama.” (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul
Iman).
Akan tetapi, dewasa ini betapa banyak orang yang “merasa mampu” sehingga
lalai dari berdoa, semata-mata mengandalkan rekadayanya sendiri, dan
benar-benar lupa kepada Allah. Ini bukan berarti kita disuruh tidak berupaya dan
semata-mata bersandar pada “kepercayaan”, karena Rasulullah sendiri
menganjurkan umatnya untuk berusaha mencari yang halal, serta mencela orang
yang mengemis, malas dan hanya menjadi beban orang lain. Masalahnya tidak boleh
dikacaukan dan dicampuradukkan.
Pesan kedua adalah senantiasa meneropong diri sendiri, ber-muhasabah dan
bertaubat. Sebagai manusia biasa, kita tidak ditakdirkan untuk ma’shum
(terpelihara dari dosa), dan Allah pun tidak membebani kita melebihi kemampuan
kita. Namun, adalah berbeda antara mereka yang sengaja berkubang dalam
kemaksiatan dan tenggelam dalam kedurjanaan, dengan mereka yang berusaha sekuat
tenaga menaati Allah dan menjauhi dosa-dosa, lalu tersandung
kesalahan-kesalahan tanpa disengaja. Kelompok pertama itu tidak pernah
menyesal, tetapi yang kedua selalu beristighfar dan memperbaiki diri. Tentu
saja, Allah tidak akan memperlakukan mereka secara sama.
Pesan ketiga adalah anjuran untuk tidak segan-segan bertanya dan belajar, ketika kita
tidak tahu. Bukankah kebanyakan penyimpangan dan kesesatan bersemi dari benih-benih
kebodohan, prasangka, dan kemalasan mencari ilmu? Sebagian besar pengikut
aliran sesat adalah orang-orang bodoh yang tidak mau belajar, lalu menuruti
hawa nafsunya yang telah dihias oleh syetan. Mereka bukan tidak bersekolah,
tetapi tidak mengerti urusan agamanya, walau sangat mahir dalam urusan duniawi.
Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci
setiap orang yang keras-kasar-angkuh tabiatnya, gemar mengumpulkan harta namun
pelit, suka berteriak-teriak di pasar-pasar, seperti bangkai di malam hari dan
seperti keledai di siang hari, sangat mengerti urusan dunia tetapi tidak
tahu-menahu urusan akhirat.” (Riwayat Ibnu Hibban dari Abu Hurairah, dengan
sanad shahih ‘ala syarthi muslim).
Pesan keempat adalah tidak malu mengakui ketidaktahuan kita, jika ditanya atas sesuatu
yang tidak kita mengerti. Penyakit “segan” seperti ini mudah menghinggapi para
ulama, profesor, guru, trainer, penceramah, dan tokoh-tokoh terpandang. Apalagi
jika sudah terkenal dan dikagumi oleh banyak pengikut. Dalam hal ini, ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Betapa sejuknya di hati, ketika saya ditanya
tentang sesuatu yang saya sendiri tidak mempunyai ilmu tentangnya, kemudian
saya katakan: Allahu a’lam.” (Riwayat Darimi, dengan sanad lemah).
Dikisahkan pula, bahwa seseorang datang kepada Ibnu ‘Umar lalu bertanya kepada
beliau tentang sesuatu hal. Beliau menjawab, “Saya tidak punya ilmunya.” Beliau
kemudian berpaling setelah orang itu beranjak pergi, dan berkata, “(Inilah)
sebaik-baik ucapan yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar! Ia ditanya tentang sesuatu
yang tidak ia ketahui, lalu ia menjawab: saya tidak punya ilmunya.” (Riwayat Darimi, dengan isnad hasan).
Pesan kelima adalah berpegang kepada kesabaran. Sungguh, kesabaran dan menahan diri merupakan
akhlak yang sangat sering dipesankan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam
wahyu-wahyu yang mula-mula turun kepada Rasulullah, baik secara tersirat maupun
tersurat. Perhatikanlah isi kandungan surah-surah al-‘Alaq, al-Qalam,
al-Muddatsir dan al-Muzzammil; disana terpampang pesan-pesan kesabaran secara
nyata. Bahkan, dalam surah al-‘Ashr, Allah menjadikan “saling berpesan dengan kesabaran”
sebagai bagian dari sifat orang-orang yang tidak merugi di dunia ini, digandengkan
dengan beriman, beramal shalih, serta saling berpesan dengan kebenaran. Rasulullah
pun pernah ditanya, “Bagian manakah yang paling utama dari iman?” Beliau
menjawab, “Kesabaran dan lapang dada.” (Dikutip oleh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib
al-‘Aliyah, dari Jabir, dan menurut beliau isnad-nya hasan).
Inilah lima pesan ‘Ali bin Abi Thalib yang sangat berharga. Semoga kita
dapat mengambil manfaat darinya. Amin. Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar, 02
Rabi’ul Awwal 1433 H. Pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.