
[sambungan dari Bagian 1]
20420 — Dari ‘Ikrimah: sesungguhnya Nabi r bersabda kepada Sa’ad t pada hari (terjadinya) perang Uhud, “Ayahku sebagai penebusmu!” Kemudian beliau menyatakannya lagi, “Ayah dan ibuku sebagai penebusmu!”[1]
20421 — Dari Qatadah: ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha pernah berkata, “Jangan katakan perihal Hassan
kecuali yang baik-baik. Sungguh ia dulu mengucapkan syair untuk membela
Rasulullah r dan mengejek orang-orang musyrik.”[2] Qatadah
berkata, “Bila Hassan t masuk menemui ‘Aisyah,
maka beliau menyiapkan bantal alas duduk dan Hassan pun duduk diatasnya.”
20422 — Kharijah bin Zaid
berkata: Ummu al-‘Ala’ al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata:
ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah, kaum Anshar melakukan undian untuk
menentukan dimana tempat tinggal mereka. Lalu kami mendapatkan ‘Utsman bin
Mazh’un t untuk ditampung. Beliau kemudian sakit dan kami
merawatnya, lalu meninggal. Rasulullah r pun datang dan masuk
menghampiri jenazahnya. Aku berkata, “Semoga rahmat Allah terlimpah padamu, wahai
Abu as-Sa’ib. Aku mempersaksikan bahwa sesungguhnya Allah telah memuliakanmu.”
Beliau bertanya, “Apa engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?” Aku
menjawab, “Tidak tahu, demi Allah.” Maka beliau pun bersabda, “Adapun orang
ini, maka sungguh telah dikaruniai keyakinan oleh Tuhannya, dan sungguh aku
berharap kebaikan untuknya. Demi Allah, aku sendiri tidak tahu – padahal aku
adalah utusan Allah – apa yang akan diperbuat-Nya terhadapku maupun kalian.”
Ummu al-‘Ala’ berkata, “Demi Allah, aku tidak akan men-tazkiyah seorang
pun setelah ini, untuk selamanya.” Ia melanjutkan, “Kemudian setelah itu aku
bermimpi melihat sebuah mata air yang mengalir milik ‘Utsman, dan kuceritakan
mimpiku itu kepada Nabi r. Beliau pun bersabda:
‘Itu adalah amalnya.’” Ma’mar berkata: aku mendenfar az-Zuhri berkata:
orang-orang muslim kurang suka dengan apa yang diucapkan oleh Nabi r terhadap ‘Utsman tatkala putri beliau wafat, “Susullah pendahulu
kami itu, ‘Utsman bin Mazh’un.”[3]
20423 — Dari Ma’mar: dari
salah seorang temannya: sesungguhnya Nabi r berdoa untuk Sa’ad bin
Mu’adz t, “Ya Allah, tepatkan bidikan panahnya, dan kabulkan
doanya.”[4]
20424 — Az-Zuhri berkata:
sesungguhnya Hudzaifah t adalah salah seorang
anggota Bani ‘Abs, dan termasuk kaum Anshar. Beliau bertempur dengan sangat
hebat bersama ayahnya, yakni al-Yaman t, dalam perang Uhud
bersama Rasulullah r. Kaum muslimin mengepung
al-Yaman dan menebasnya dengan pedang-pedang mereka. Lalu, Hudzaifah berkata,
“Semoga Allah mengampuni kalian, dan sesungguhnya Dia paling pengasih diantara
yang pengasih.” [Rasulullah r bermaksud untuk
membayarkan diyat-nya, namun Hudzaifah justru menyedekahkan diyat
tersebut untuk kaum muslimin]. Hal itu sampai beritanya kepada Nabi r sehingga semakin bertambahlah kebaikanya di mata beliau.”
Az-Zuhri melanjutkan, “Tatkala Nabi r berjalan menuju Tabuk,
beliau turun dari unta tunggangannya untuk menerima wahyu, dan beliau pun
mendudukkannya. Lalu, unta itu bangkit sendiri dan menyeret tali kekangnya
terlepas begitu saja. Hudzaifah berpapasan dengan unta itu. Dipegangnya tali
kekangnya, lalu digiringnya sehingga didudukkannya kembali, dan ia sendiri
duduk di sampingnya. Nabi r kemudian bangkit dan
mendekat ke arah unta tersebut. Beliau bertanya, “Siapa ini?” Dijawab,
“Hudzaifah bin al-Yaman.” Beliau kemudian bersabda, “Aku ungkapkan kepadamu
satu rahasia yang tidak boleh engkau ceritakan kepada siapapun untuk selamanya.
Sesungguhnya aku dilarang (oleh Allah) untuk menshalati (jenazah) si fulan
dan si fulan, sejumlah orang dari kaum munafiq.” Ketika Rasulullah r telah wafat dan ‘Umar memangku jabatan sebagai khalifah,
maka setiap kali ada salah seorang sahabat Nabi r yang meninggal, yang
menurut persangkaan ‘Umar dia termasuk salah seorang kelompok munafiq tadi,
beliau menggandeng tangan Hudzaifah dan mengajaknya. Jika Hudzaifah mau
berjalan maka ‘Umar pun mau menshalati (jenazahnya), namun jika Hudzaifah
menolak berangkat maka ‘Umar pun tidak mau menshalatinya, dan menyuruh orang
lain untuk melakukannya.”[5]
20425 — Dari az-Zuhri:
sesungguhnya Tsabit bin Qais bin Syammas t berkata, “Wahai
Rasulullah, sungguh saya khawatir bila celaka. Allah melarang bila seseorang
suka dipuji dengan apa yang tidak diperbuatnya, padahal saya mendapati diri
saya suka dipuji. Allah melarang keangkuhan, padahal saya mendapati diri saya
menyukai keindahan. Allah melarang kami meninggikan suara melebihi suara Anda,
padahal saya ini orang yang mempunyai suara lantang.” Maka Nabi r pun bersabda, “Hai Tsabit, tidakkah engkau ridha jika
hidup terpuji, terbunuh sebagai syahid, dan masuk surga?”[6] Az-Zuhri
berkata, “Maka dia pun hidup terpuji dan terbunuh sebagai syahid di hari
(pertempuran menghadapi) Musailamah.”
20426 — Al-Hasan
mengungkapkan hadits: dari ibunya: Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha
berkata, “Ketika Nabi r dan para sahabatnya
membangun masjid, maka setiap orang dari mereka pun mengangkut satu balok batu
bata, sementara ‘Ammar mengangkut dua balok; satu dari dirinya sendiri, dan
lainnya dari Nabi r. Maka beliaupun bangkit
berdiri dan mengusap punggung ‘Ammar seraya bersabda, “Wahai putra Sumayyah!
Orang lain mendapat satu pahala, sedangkan engkau dua. Bekal terakhirmu adalah
seteguk susu, dan engkau akan dibunuh oleh sekelompok orang yang zhalim.”[7]
20427 — Dari Abu Bakr bin
Muhammad bin ‘Amr bin Hazm: dari ayahnya, yang memberitahunya: tatkala ‘Ammar
bin Yasir t terbunuh, ‘Amr bin Hazm t masuk menemui ‘Amr bin
al-‘Ash t lalu berkata, “’Ammar terbunuh, padahal aku telah
mendengar Rasulullah r bersabda (bahwa) ia akan
dibunuh oleh sekelompok orang yang zhalim.” Maka ‘Amr bin al-‘Ash pun bangkit
pulang dengan sangat ketakutan sampai akhirnya ia masuk menemui Mu’awiyah t. Ia ditanya oleh Mu’awiyah, “Ada apa?” Dijawab, “’Ammar
terbunuh.” Ditanyakan, “’Ammar terbunuh, lalu kenapa?” Dijawab, “Aku mendengar
Rasulullah r bersabda (bahwa) ia akan dibunuh oleh sekelompok orang
yang zhalim.” Maka Mu’awiyah pun berkata, “Terputuslah perkataanmu! Benarkah
kita yang telah membunuhnya? Sungguh ‘Ali dan teman-temannyalah yang
membunuhnya! Mereka datang membawa ‘Ammar sampai akhirnya mereka meletakkannya
di bawah tombak-tombak kita – atau, diantara pedang-pedang kita!”[8]
20428 — Az-Zuhri berkata:
kaum Muhajirin berkata kepada ‘Umar t, “Mengapa kami tidak
boleh mengajak anak-anak kami sebagaimana engkau mengajak Ibnu ‘Abbas?” Beliau
menjawab, “Ini adalah pemuda yang telah matang. Ia memiliki lidah yang selalu
bertanya, dan pikiran yang cerdas.”[9]
20429 — Dari Hisyam bin
‘Urwah: ayahnya berkata: pedang yang pertamakali dihunus di jalan Allah (fi
sabilillah) adalah pedang milik az-Zubair t. Berhembus kabar burung
dari syetan bahwa Nabi r telah diculik di dataran
tinggi Makkah. Maka az-Zubair pun keluar dengan menghunus pedangnya seraya
menembus kerumunan orang banyak. Nabi r kemudian berjumpa
dengannya dan bertanya, “Ada apa engkau ini, hai Zubair?” Dijawab, “Saya
diberitahu, wahai Rasulullah, bahwa Anda diculik.” Maka, Nabi r pun mendoakan az-Zubair dan juga pedangnya.[10]
20430 — Qatadah berkata:
tatkala az-Zubair t berbalik (meninggalkan
medan pertempuran) di hari Perang Jamal, berita itu sampai kepada ‘Ali t, lalu beliau berkata, “Andai putra Shafiyyah itu tahu
bahwa ia berada diatas kebenaran, pasti ia tidak akan berbalik pergi.” Qatadah
melanjutkan: hal itu karena Rasulullah r pernah berjumpa dengan
mereka berdua di Saqifah Bani Sa’idah, lalu beliau bertanya, “Apakah engkau
mencintainya, hai Zubair?” Ia menjawab, “Apa yang menghalangiku (untuk
mencintainya)?” Beliau kemudian bersabda, “Bagaimana keadaanmu bila engkau
memeranginya, sementara engkaulah yang zhalim padanya?”[11] Qatadah
berkata, “Orang-orang berpendapat, bahwa az-Zubair berbalik pergi karena
(teringat) sabda Rasulullah r itu.”
20431 — Dari Isma’il bin
Umayyah: Rasulullah r bersabda, “Ada dua pemuda
yang aku tidak ingin mereka masuk neraka: ‘Attab bin Usaid dan Aban bin Sa’id”,
atau Jubair bin Muth’im – perawi ragu-ragu – dan hal itu (beliau ucapkan)
sebelum mereka berdua masuk Islam.[12]
20432 — Al-Hasan berkata:
Rasulullah r bersabda, “Aku adalah pendahulu (sabiq) bangsa
Arab, Bilal adalah pendahulu bangsa Habasyah, Shuhaib adalah pendahulu bangsa
Romawi, dan Salman adalah pendahulu bangsa Persia.”[13]
183. Keyakinan dan
kebimbangan (al-waswasah)
20439 — Az-Zuhri berkata:
ada salah seorang Anshar di kalangan sahabat Nabi r yang datang kepada beliau
dan berkata, “Wahai Nabi Allah, apa pandangan Anda tentang sesuatu yang
dibisikkan oleh syetan di dada kami, (dan bahwa) bila salah seorang dari kami
menjatuhkan dirinya dari bintang tsurayya adalah lebih baik baginya
dibanding terang-terangan mengungkapkannya (kepada orang lain)?” Nabi r pun bersabda, “Apakah kalian telah merasakan hal itu?
Sesungguhnya syetan menginginkan yang kurang dari itu dari seorang hamba. Bila
ia terpelihara dari (godaan) yang demikian itu, maka syetan akan
mencampakkannya kepada yang lainnya lagi. Dan, itulah bukti kuat adanya iman.”[14]
20440 — Dari Hisyam bin
‘Urwah: dari ayahnya: Nabi r bersabda, “Sungguh
sekelompok orang akan ada yang berkata: ‘Allah menciptakan makhluk, lalu
siapakah yang menciptakan Allah?’ Jika kalian mendengar pernyataan seperti ini
maka katakanlah: ‘Kami beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”[15]
20441 — Ibnu Sirin
berkata: saya sedang berada di dekat Abu Hurairah t ketika datang seseorang
yang bertanya kepada beliau tentang suatu persoalan yang tidak saya mengerti.
Maka, beliau pun berkata: Allahu akbar! Sudah dua orang menanyakannya,
dan ini yang ketiga! Aku mendengar Rasulullah r bersabda, “Sungguh ada
orang-orang yang disebabkan oleh mereka maka akan muncul beraneka ragam
pertanyaan, sampai-sampai mereka berkata: ‘Allah menciptakan makhluk, lalu
siapakah yang menciptakan Allah?’”[16] Ma’mar
melanjutkan hadits ini dengan berkata, “Allah menciptakan segala sesuatu; Dia
ada sebelum segala sesuatu; dan Dia tetap ada setelah segala sesuatu.”
184. Orang yang melayani
temannya
20442 — Abu Qilabah
berkata: seseorang disebut-sebut perihal dirinya di sisi Nabi r, lalu beliau berkomentar tentang orang itu, “Dalam
dirinya terdapat kebaikan.” Ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, ia keluar
bersama kami untuk menunaikan ibadah haji. Bila kami singgah (di suatu tempat),
maka ia terus-menerus mengerjakan shalat sampai kami berangkat (melanjutkan
perjalanan) kembali; dan bila kami berjalan maka ia terus-menerus membaca
(Al-Qur’an) dan berdzikir sampai kami singgah.” Beliau bertanya, “Lalu, siapa
yang mencukupi pakan unta tunggangannya dan memasak makanan untuknya?” Mereka
menjawab, “Kami semua.” Beliau bersabda, “Kalian semua lebih baik dibanding
dia.”[17]
185. Orang yang menyiksa
sesamanya di dunia
20443 — Dari Hisyam bin
‘Urwah: dari ayahnya: Hisyam bin Hakim bin Hizam t masuk menemui ‘Umair bin
Sa’ad al-Anshari t di Syam, dan ‘Umair adalah pejabat (yang ditunjuk oleh)
‘Umar bin al-Khaththab t. Hisyam pun mendapati di
dekatnya ada sekelompok orang Nabata yang tengah dijemur di bawah terik
matahari, sehingga Hisyam bertanya, “Ada apa dengan orang-orang itu?” Dijawab,
“Aku menahan mereka karena jizyah.” Hisyam kemudian berkata: aku
mendengar Rasulullah r bersabda, “Sungguh orang
yang menyiksa sesamanya di dunia akan disiksa oleh Allah di akhirat kelak.”
Maka, ‘Umair pun melepaskan mereka dan tidak menghukumnya.[18]
20444 — Dari Ibnu Thawus:
ayahnya berkata: Buhair bin Risan datang menemui Ibnu ‘Abbas t untuk meminta tolong menghadapi Ibnu az-Zubair t – dan dia adalah pejabat yang bekerja untuknya. Maka Ibnu
‘Abbas pun berkata kepadanya, “Engkau ini orang yang banyak berbuat zhalim.
Tidak seorang pun boleh membantumu, tidak juga membelamu!”[19]
20445 — Abu Rafi’ berkata,
“Fir’aun memancang empat pasak untuk istrinya, lalu meletakkan batu
penggilingan yang sangat besar diatas perutnya, hingga akhirnya wanita itu
meninggal.”[20]
186. Kemerosotan Islam dan
umat manusia
20446 — Sa’id bin Wahb
berkata: aku mendengar Ibnu Mas’ud t berkata, “Orang-orang
akan senantiasa baik dan berpegang teguh (pada agamanya) selama ilmu datang
kepada mereka dari para sahabat Muhammad r dan dari orang-orang yang
lebih tua diantara mereka. Namun, bila ilmu itu datang dari orang-orang yang
lebih muda, maka mereka pasti celaka.”[21]
20447 — Dari Salim: Ibnu
‘Umar t berkata: Rasulullah r bersabda, “Manusia itu
seperti seratus ekor unta, orang tidak bisa mendapati seekor pun yang dapat
ditunggangi.”[22]
20448 — Dari az-Zuhri:
dari ‘Urwah: dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: Lubaid berkata – dalam
bentuk syair, “Telah pergi orang yang (kita) dapat hidup di bawah
pengayomannya; tinggallah tersisa (orang-orang) yang seperti selembar kulit
berkudis; kata-kata mereka penuh pengkhianatan dan kasih sayang mereka tidak
bisa diandalkan; dan orang yang mengatakannya pantas dicela meskipun dia belum
beranak-cucu.” ‘Aisyah kemudian berkata, “Bagaimana jikalau Lubaid mendapati
orang-orang yang kita hidup di tengah-tengah mereka?”[23] Ma’mar
berkata, “Bagaimana jikalau az-Zuhri mendapati orang-orang yang kita hidup di
tengah-tengah mereka?”
189. Orang yang berwajah
dua
20453 — Dari az-Zuhri:
sesungguhnya Nabi r bersabda, “Orang terbaik
diantara kalian adalah yang paling membenci perkara ini sebelum akhirnya ia
masuk ke dalamnya – maksudnya, agama Islam – sedangkan yang terburuk diantara
kalian adalah orang yang menjumpai kelompok ini dengan satu wajah dan menjumpai
kelompok lain dengan wajah lain pula.”[24]
20454 — Dari Qatadah: –
Ma’mar berkata: Ayyub as-Sakhtiyani juga menuliskan hadits ini untukku:
sesungguhnya Abu Mas’ud al-Anshari t masuk menemui Hudzaifah t, lalu berkata, “Beri kami nasihat, hai Abu ‘Abdillah!”
Hudzaifah bertanya, “Bukankah telah datang padamu keyakinan?” Dijawab, “Sudah,
demi Allah.” Hudzaifah berkata, “Kesesatan yang benar-benar sesat adalah bila
hari ini kauakui kebenaran sesuatu yang sebelumnya kauingkari, dan bila hari
ini kauingkari kebenaran sesuatu yang sebelumnya kauakui. Jauhilah sikap at-talawwun,
karena sesungguhnya agama Allah itu satu.”[25]
192. Ilmu
20465 — Dari Abu Qilabah:
Ibnu Mas’ud t berkata, “Hendaknya kalian mempelajari ilmu, sebelum ia
dicabut, dan dicabutnya ilmu adalah dengan diwafatkannya orang-orang yang ahli
di bidang itu. Hendaknya kalian mempelajari ilmu, sebab siapapun dari kalian
tentu tidak tahu kapan ia dibutuhkan — atau: ilmunya itu dibutuhkan. Hendaknya
kalian mempelajari ilmu. Jauhilah tanaththu’ dan ta’ammuq.
Hendaknya kalian memilih ilmu-ilmu lama, karena akan datang suatu kaum yang
membaca Kitabullah namun mereka melemparkannya ke belakang punggungnya.”[26]
20466 — Abu Harun berkata:
kami pernah masuk menemui Abu Sa’id al-Khudriy t, maka beliau berkata:
Selamat datang, wahai wasiat Rasulullah r, sesungguhnya beliau
bersabda kepada kami, “Sungguh orang-orang akan akan datang kepada kalian dari
berbagai penjuru untuk mempelajari agamanya (ber-tafaqquh), maka aku
berpesan kepada kalian agar memperlakukan mereka dengan baik.”[27]
20467 — Dari Qatadah: Abu
ad-Darda’ t berkata: “Sesungguhnya persoalan yang paling aku takutkan
atas kalian adalah jika di hari kiamat nanti ditanyakan kepadaku, ‘Engkau sudah
tahu, lalu apa yang sudah engkau amalkan dalam hal yang engkau ketahui itu?’“[28]
20468 — Mutharrif bin
‘Abdillah bin asy-Syikhkhir berkata, “(Mendapat) satu bagian dari ilmu lebih
aku sukai dibanding satu bagian dari ibadah. Diselamatkan dari bahaya lalu aku
bersyukur lebih aku sukai dibanding diberi cobaan lalu aku bersabar.” Beliau
melanjutkan, “Aku sudah meneliti kebaikan yang di dalamnya tidak mengandung
keburukan, ternyata aku tidak mendapati hal lain yang sebanding dengan
keselamatan dan syukur.”[29]
20469 — Qatadah berkata:
Ibnu ‘Abbas t berkata, “Mengingat-ingat suatu ilmu (mudzakarah)
pada sebagian malam itu lebih aku sukai dibanding menghidupkannya.”[30] Yakni, dengan qiyamul-lail.
20470 — Abu Qilabah
berkata: ditanyakan kepada Luqman, “Siapakah manusia yang paling sabar (atau:
paling baik)?” Dijawab, “Kesabaran yang tidak diikuti dengan kejelekan.”
Ditanyakan lagi, “Siapakah manusia yang paling pandai?” Dijawab, “Orang yang
menambahkan ilmu-ilmu yang diketahui orang lain ke dalam ilmu yang sudah
diketahuinya.” Ditanyakan lagi, “Siapakah manusia yang paling baik?” Dijawab,
“Orang kaya.” Ditanyakan, “Kekayaan dalam hal harta benda?” Dijawab, “Bukan,
tetapi orang kaya adalah seseorang yang jika dibutuhkan suatu kebaikan di
sisinya maka akan ditemukan, dan jika tidak maka ia (berusaha) menyelamatkan
orang lain dari keburukan dirinya.”
20471 — Dari ‘Urwah: dari
‘Abdullah bin ‘Amr t: Rasulullah r bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu
dari manusia setelah Dia memberikannya kepada mereka. Akan tetapi Dia akan
mewafatkan pada ulama’. Setiap kali seorang ulama’ wafat maka musnah pula semua
ilmu yang ada padanya, sehingga akhirnya hanya tersisa orang-orang yang tidak
berilmu, maka jadilah mereka itu sesat dan menyesatkan.”[31]
20472 — Abu Qilabah
berkata, “Ulama’ itu ada tiga macam. Pertama, seseorang yang hidup dengan ilmunya,
sementara orang lain tidak bisa hidup dengan keberadaannya. Kedua, seseorang
yang mana orang lain hidup berkat ilmunya, sedangkan ia sendiri tidak hidup di
dalamnya. Ketiga, seseorang yang hidup dengan ilmunya dan orang lain pun hidup
dengan ilmunya itu.”[32]
20473 — Dari Abu Qilabah:
Abu ad-Darda’ t berkata, “Engkau belum benar-benar faqih selama
belum dapat melihat Al-Qur’an dari berbagai macam sudut pandang. Engkau pun
belum benar-benar faqih selama belum membenci bagaimana perilaku manusia
tatkala berhadapan dengan Allah, kemudian engkau mengarahkan pandangan ke dalam
dirimu sendiri, dan ternyata engkau lebih membenci perilakumu sendiri ketika
berhadapan dengan Allah dibanding kebencianmu kepada perilaku manusia.”[33]
20474 — Ali bin Zaid bin
Jud’an berkata: Abu Nadhrah – atau lainnya – bercerita, “Kami pernah berada di
sisi ‘Imran bin al-Hushain t, kami sedang me-mudzakarah suatu ilmu. Lalu ada seseorang yang berkata,
‘Kalian jangan berbicara kecuali dengan apa yang ada dalam al-Qur’an.’ Maka,
‘Imran bin al-Hushain pun berkata kepada orang itu, ‘Kamu ini sungguh sangat
dungu! Apakah kamu mendapati di dalam al-Qur’an bahwa shalat zhuhur itu empat
rakaat, shalat ‘ashar juga empat rakaat, di dalam keduanya kamu tidak boleh
mengeraskan bacaan; shalat maghrib tiga rakaat, kamu mengeraskan bacaan dalam
dua rakaat pertama dan melirihkannya dalam satu rakaat (terakhir); shalat isya’
empat rakaat, kamu mengeraskan bacaan di dua rakaat (pertama) kemudian
memelankannya di dua rakaat (terakhir); dan shalat shubuh dua rakaat, kamu
mengeraskan bacaan dalam keduanya?’“ ‘Ali bin Zaid berkata, “Orang yang
mengucapkan kata-kata tadi sebenarnya bukan ahli bid’ah, akan tetapi
kata-kata yang diucapkannya termasuk bid’ah.”[34]
20475 — Ma’mar berkata,
“Pernah dikatakan bahwa ada seseorang yang mencari ilmu untuk tujuan selain
Allah, akan tetapi ilmu itu sendiri enggan dicari sebelum diniatkan untuk
Allah.”
20476 — Ibnu Abjar
berkata: asy-Sya’bi berkata, “Apa yang mereka sampaikan kepadamu yang berasal
dari sahabat-sahabat Rasulullah r maka terimalah, adapun
apa yang mereka katakan menurut pendapat akal (ra’yu) mereka sendiri,
maka pikirkanlah dahulu.” Ibnu Abjar berkata: Ibrahim an-Nakha’i berkata, “Saya
sering didesak, sehingga saya terheran-heran.” Dan, beliau sering ditanya kemudian
menjawab, “Saya tidak tahu.”[35]
20477 — Dari ‘Urwah bin
az-Zubair: ‘Abdull`h bin ‘Amr t berkata, “Aku bersaksi
bahwa Rasulullah r bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu
dengan cara melenyapkannya, akan tetapi Dia mewafatkan para ulama’ (yang
menginggal membawa) ilmu mereka, sehingga manakala tidak tersisa lagi seorang
‘alim pun, maka manusia akan mengangkat para pemimpin yang jahil, lalu mereka
ditanya, kemudian mereka membuat-buat sendiri (hukum), sehingga mereka sesat
dan menyesatkan (orang lain).”[36]
20478 — Az-Zuhri atau yang
lainnya berkata, “Ada dua jenis orang rakus yang tidak akan pernah terpuaskan,
yaitu: pencari ilmu dan pemburu dunia.”[37]
20479 — Az-Zuhri berkata,
“Tidaklah Allah disembah dengan sesuatu yang sepadan nilainya dengan fiqh
(kepahaman kepada agama).”
20480 — ‘Abdul Malik bin
‘Umair berkata: seseorang – sayang beliau lupa siapa namanya – berkata,
“Diantara bentuk penyia-nyiaan terhadap ilmu adalah jika ia disampaikan kepada
orang yang bukan ahlinya.”
20481 — Dari Qatadah: dari
‘Abdullah bin ‘Amr t: Rasulullah r bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari
dada manusia sesudah Dia memberikannya kepada mereka, akan tetapi musnahnya
ilmu adalah dengan wafatnya para ulama’, sehingga manusia pun mengangkat para
pemimpin yang jahil, lalu mereka ditanya dan menjawab tanpa landasan ilmu,
sehingga mereka sendiri sesat dan menyesatkan (orang lain).”
20482 — ‘Ikrimah berkata:
‘Isa bin Maryam berkata, “Jangan kau lemparkan permata kepada babi, sebab babi
tidak bisa berbuat apa-apa terhadap permata itu. Dan jangan kau berikan hikmah
kepada orang yang tidak menghendakinya, sebab hikmah itu lebih baik dari
permata sementara orang yang tidak menghendakinya lebih buruk dari babi.”
20483 — Dari Sa’id bin
Wahb: aku mendengar ‘Abdullah bin Mas’ud t berkata, “Manusia akan
senantiasa berada dalam keshalihan dan berpegang teguh (kepada agamanya) selama
ilmu datang kepada mereka dari para sahabat Muhammad dan juga dari orang-orang
yang lebih tua di kalangan mereka. Namun, tatkala ilmu datang kepada mereka
dari kalangan yang lebih muda, maka mereka pasti hancur.”[38]
193. Pencatatan ilmu
20484 — Dari ‘Urwah:
bahwasannya ‘Umar bin al-Khaththab t ingin membukukan
sunnah-sunnah Rasulullah r, maka beliau
bermusyawarah dengan para sahabat tentang masalah itu. Para sahabat sendiri
menunjukkan persetujuannya, lalu beliau beristikharah selama sebulan. Pada
suatu pagi beliau sudah bertekad untuk melaksanakan rencana tersebut, saat
beliau berkata, “Sungguh saya ingin membukukan sunnah-sunnah Rasulullah r, tetapi saya teringat suatu kaum yang hidup sebelum
kalian, dimana mereka menulis berbagai buku, lalu mereka sangat sibuk dengan
buku-buku itu dan meninggalkan Kitabullah, sedangkan saya sendiri — demi Allah
— tidak akan mencampur-baurkan Kitabullah dengan apapun, untuk selamanya!”[39]
20485 — Dari Thawus:
ayahnya berkata: ada seseorang dari Najran yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas t. Beliau bahkan sangat kagum kepada pertanyaannya yang
bagus sekali. Orang itu kemudian berkata kepada beliau, “Tuliskan untuk saya (jawaban
dari Anda).” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Sesungguhnya kami tidak mencatat ilmu.”[40]
20486 — Az-Zuhri berkata,
“Dulu kami tidak menyukai pencatatan ilmu, sampai kemudian para penguasa itu
memaksa kami melakukannya. Akhirnya kami berpandangan bahwa tidak seorang pun
dari kaum muslimin yang dilarang melakukannya.”[41]
20487 — Shalih bin Kaysan
bercerita, “Aku dan Ibnu Syihab membuat suatu kesepakatan. Kami sepakat untuk
mencatat sunnah-sunnah Nabi r. Maka kami pun membukukan
apa saja yang kami dengar berasal dari beliau. Kemudian kami juga mencatat apa
yang berasal dari para sahabat beliau. Tetapi aku katakan, ‘Tidak, (kata-kata
sahabat) bukan termasuk sunnah.’ Ibnu Syihab berkata, ‘Benar, (kata-kata
sahabat) adalah sunnah.’ Dia pun mencatatnya sementara aku tidak. Akhirnya dia
yang berhasil, sedang aku sia-sia (gagal).”[42]
20488 — Ma’mar berkata,
“Aku menyampaikan beberapa hadits kepada Yahya bin Abi Katsir, maka beliau
berkata, ‘Tuliskan untukku hadits yang bunyinya begini dan begitu.’ Aku
menjawab, ‘Kami tidak menyukai pencatatan ilmu.’ Beliau berkata, ‘Tulislah!
Karena sesungguhnya jika engkau tidak mencatatnya maka engkau telah sia-sia
(gagal) — atau, ia berkata: tidak berdaya.”[43]
20489 — Dari Hammam bin
Munabbih: sesungguhnya ia mendengar Abu Hurairah t berkata, “Tidak ada
sahabat Muhammad r yang lebih banyak haditsnya dibanding saya, kecuali
‘Abdullah bin ‘Amr t. Sebab, ia mencatat
sementara saya tidak.”[44]
196. Berbohong atas Nabi r
20493 — Dari Abu Harun
al-‘Abdiy: Abu Sa’id al-Khudriy t berkata: Rasululullah r bersabda, “Siapa saja yang berbohong atasku hendaklah ia
ambil rumahnya di neraka.”[45]
20494 — Dari al-Hasan:
sesungguhnya Nabi r bersabda, “Sampaikanlah
hadits dariku, dan itu tidak mengapa. Akan tetapi, siapa saja yang berbohong
atasku secara sengaja, hendaklah ia ambil tempat duduknya di neraka.”
20495 — Sa’id bin Jubair
berkata: ada seseorang yang mendatangi salah satu perkampungan milik kaum
Anshar, lalu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah r mengirim saya kepada
kalian dan memerintahkan kalian agar menikahkan saya dengan fulanah.”
Salah seorang lelaki anggota keluarga wanita itu berkata, “Orang ini mendatangi
kita dengan membawa sesuatu yang tidak kita kenal dari Rasulullah r. (Biarkan) orang ini untuk singgah dan muliakan dia,
sampai aku datang membawa berita tentang dirinya.” Maka ia pun mendatangi Nabi r dan menceritakan kepada beliau tentang orang tadi. Nabi r pun mengirim ‘Ali dan az-Zubair, radhiyallahu ‘anhuma,
dan bersabda kepada mereka, “Pergilah kalian! Jika kalian mendapatinya, bunuh
dia! Namun, menurutku kalian tidak akan bertemu dengannya.” Mereka berdua
berangkat dan didapatinya orang itu telah mati dipatuk ular. Mereka pun kembali
kepada Nabi r dan memberitahu beliau apa yang terjadi. Maka, Nabi r bersabda, “Siapa saja yang berbohong atasku, hendaklah
mengambil tempat duduknya di neraka.”[46]
20496 — Dari az-Zuhri: Abu
Hurairah t berkata: tatkala diangkat sebagai khalifah, ‘Umar t berkata, “Persedikitlah periwayatan dari Rasulullah r kecuali dalam hal-hal yang bisa diamalkan.” Abu Hurairah
kemudian melanjutkan, “Apakah aku bisa mengungkapkan kepada kalian
hadits-hadits ini ketika ‘Umar masih hidup? Jika kulakukan, demi Allah, pasti
aku akan mendapati cambuk rotan menyentuh kulitku.”[47]
197. Ketapel
20497 — Sa’id bin Jubair
berkata: aku berada di dekat ‘Abdullah bin Mughaffal t, lalu ada salah seorang
dari kaumnya yang menggunakan ketapel. Beliau berkata, “Jangan mengetapel,
karena Rasulullah r telah melarangnya.
Menurut beliau: ‘Sesungguhnya engkau tidak bisa menangkap binatang buruan
dengan ketapel itu dan tidak pula membunuh musuh. Hanya saja, ketapel bisa
mematahkan gigi dan mencungkil mata.” Namun orang itu tidak juga mau berhenti
sehingga ‘Abdullah bin Mughaffal berkata, “Aku ceritakan padamu hadits dari
Rasulullah r, bahwa beliau melarang ketapel namun engkau tidak juga
mau menghentikannya. Aku tidak akan berbicara denganmu sepatah katapun untuk
selamanya!”[48]
198. Ayam jago
20498 — Dari ‘Ubaidillah
bin ‘Abdillah bin ‘Utbah: Zaid bin Khalid al-Juhaniy t berkata: ada seseorang
melaknat ayam jago yang berkokok di dekat Rasulullah r, maka beliau bersabda,
“Jangan melaknatnya, sebab ia mengajak untuk mengerjakan shalat.”[49]
[*] Demikian akhir kutipan
dari Kitab al-Jami’ karya Ma’mar bin Rasyid.
--- selesai ---
(*) Bagian pertama, klik: disini
[1] Dikeluarkan oleh al-Bukhari, dari Sa’ad bin Abi Waqqash,
dengan redaksi, “Nabi r menyatukan kedua
orangtuanya untuk (menebus)-ku di hari (terjadinya) perang Uhud.”
[2] Hassan bin Tsabit al-Anshari, satu dari tiga penyair pembela
Nabi r, sedikit diantara para al-mukhadhram, yakni orang
yang telah hidup 60 tahun di zaman jahiliyah dan 60 tahun berikutnya di zaman
Islam. Sya’ir ejekan (hija’) adalah salah satu genre dalam sastra
Arab yang dipergunakan untuk menjatuhkan lawan, kebalikan dari syair-syair
pujian (madah). Dua penyair lainnya adalah ‘Abdullah bin Rawwahah dan Ka’ab bin Malik.
[3] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dari dua jalur berbeda. “Ummu
al-‘Ala’ binti al-Harits al-Anshariyah” adalah istri Zaid bin Tsabit, yakni
ibu dari Kharijah bin Zaid, perawi hadits diatas. “Abu as-Sa’ib” adalah
gelar ‘Utsman bin Mazh’un, diambil dari nama anak lelakinya. Beliau wafat tahun
2 H sepulang dari perang Badar. “Men-tazkiyah” artinya menyatakan,
memastikan atau mempersaksikan seseorang sebagai suci dan bersih di hadapan
Allah. Nabi melarang tindakan ini karena mengandung unsur menerka-nerka hal
ghaib tanpa landasan ilmu. Dalam Musnad ‘Abd bin Humaid, dijelaskan
bahwa putri Nabi r yang wafat dalam riwayat az-Zuhri diatas adalah Zainab.
Namun, menurut Ibnu ‘Abdil Barr dalam at-Tamhid, ucapan diatas
dinyatakan Nabi r ketika wafatnya Ibrahim putra beliau. Mungkin juga hal
ini beliau ucapkan dua kali. ‘Utsman sendiri adalah saudara sepersusuan Nabi r, sehingga kewafatannya meninggalkan rasa duka yang cukup
mendalam di hati beliau; sebagaimana ketika gugurnya Hamzah, paman dan juga
saudara sepersusuan beliau lainnya.
[4] Riwayat Ma’mar diatas menyelisihi para perawi lainnya, sebab
dalam al-Mustadrak, Musnad al-Bazzar, Hilyatu al-Auliya’, dan Majma’u
az-Zawa’id dinyatakan bahwa doa Nabi tersebut ditujukan kepada Sa’ad bin
Abi Waqqash dalam perang Uhud, bukan Sa’ad bin Mu’adz. Menurut al-Hakim,
riwayat yang beliau kutip adalah shahih ‘ala syarthi muslim, dan
demikian pula pernyataan adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.
[5] “Kaum muslimin mengepung al-Yaman...” maksudnya terjadi
kesalahpahaman diantara sesama kaum muslimin dalam situasi perang Uhud yang
kacau-balau, sehingga al-Yaman dibunuh secara tidak sengaja oleh teman-temannya
sendiri, sesama muslim. Kisah ini juga dikutip al-Bukhari dalam Shahih-nya. “Diyat”
adalah tebusan darah yang wajib dibayarkan dalam kasus pembunuhan tidak sengaja
atau sengaja namun pelakunya dimaafkan oleh ahli warisnya sehingga tidak di-qishash
dan diharuskan membayar sejumlah harta. Menurut riwayat Abu Dawud, nilai diyat
di zaman itu adalah 800 dinar atau 8.000 dirham, (1,09 milyar rupiah, kurs 1
dinar = 1,36 juta rupiah; atau 256 juta rupiah, 1 dirham = 32 ribu rupiah;
Oktober 2009). “Menyedekahkan diyat tersebut” maksudnya memaafkan para
pelaku pembunuhan dan tidak menuntut diyat-nya, sebagaimana dijelaskan
ath-Thabari dalam penafsiran QS an-Nisa’: 92. Ungkapan “turun dari unta
tunggangannya untuk menerima wahyu” menggambarkan betapa berat wahyu itu,
sebab seringkali unta yang beliau naiki langsung jatuh terduduk jika beliau
menerima wahyu dan tidak turun dari kendaraannya. Ungkapan “sesungguhnya aku
dilarang (oleh Allah)...” terkait dengan masa sebelum itu dimana beliau
memperlakukan kaum munafiq secara lembut, dengan bersandar pada lahiriah
keislaman mereka. Sepulang dari Tabuk, perlakuan beliau kepada mereka lebih
tegas, diantaranya dengan memerintahkan dirobohkannya Masjid Dhirar, markas mereka
di Quba’. Dalam al-Iman karya ‘Abdurrahman bin ‘Umar bin Yazid “Rustah”
az-Zuhri (w. 250 H) diriwayatkan bahwa ada jenazah diusung kepada ‘Umar untuk
dishalatkan. Beliau kemudian meminta air untuk berwudhu, sementara di dekat
beliau ada Hudzaifah yang kemudian mencubitnya dengan sangat keras. Maka, ‘Umar
pun berkata kepada orang-orang, “Pergilah kalian dan shalati teman kalian itu.”
Hudzaifah sendiri tidak mengatakan apa-apa kepada beliau. Beliau kemudian
bertanya, “Hai Hudzaifah, apakah aku termasuk diantara mereka?” Yakni, kaum
munafiq. Dijawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah diantara para
pejabatku ada salah seorang dari mereka?” Dijawab, “Ada, satu orang.”
Demikianlah seakan-akan Hudzaifah memberitahu beliau jatidiri orang munafiq
tersebut sehingga akhirnya beliau mencopotnya, walau Hudzaifah sendiri
sebenarnya tidak pernah mengungkapkannya.
[6] Dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Kabir,
secara panjang lebar maupun ringkas, dari beberapa jalur. Menurut al-Haitsami,
salah satu isnad-nya muttashil (bersambung), para perawinya
adalah perawi kitab ash-Shahih selain Isma’il (bin Tsabit bin Qais bin
Syammas), namun dia tsiqah, seorang tabi’in yang mendengar
sendiri riwayat tersebut dari ayahnya. “Musailamah” yakni: bin Tsumamah
bin Katsir bin Habib “al-kadzdzab”, si nabi palsu dari Yamamah.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim secara ringkas. Semua bagian riwayat
ini dikutip oleh berbagai sumber lain, kecuali “satu dari dirinya sendiri,
dan lainnya dari Nabi r”. Bagian ini tidak diketahui sumber lain
yang mengutipnya. “Sumayyah” adalah ibu dari ‘Ammar bin Yasir, seorang
budak muslimah dan syahidah pertama dalam Islam. “Sekelompok orang
yang zhalim” aslinya al-fi’ah al-baghiyah, yakni kelompok yang
zhalim, melampaui batas, memberontak, menuntut (hak), dan durhaka.
[8] “Terputuslah perkataanmu!” adalah redaksi dalam riwayat
‘Abdurrazzaq menurut manuskrip pegangan tahqiq edisi al-Maktab al-Islami
Beirut (1403 H). Dalam berbagai riwayat dan manuskrip lain seperti Ahmad,
al-Hakim, al-Baihaqi, dan Abu Ya’la, yang juga bersumber dari ‘Abdurrazzaq,
kalimat tersebut berbunyi: “terputuslah kencingmu”. Ini mungkin semacam
ungkapan kurang senang. Isnad riwayat Ahmad shahih, demikian pula
milik Abu Ya’la. Al-Hakim menilai hadits ini shahih ‘ala syarthi asy-syaikhaini,
yang disepakati pula oleh adz-Dzahabi.
[9] Selengkapnya dikutip al-Bukhari terkait penafsiran surah
an-Nashr. Keengganan kaum Muhajirin terhadap Ibnu ‘Abbas bisa dimaklumi, sebab
usianya masih sangat muda namun sudah diajak masuk majlis musyawarah ‘Umar yang
berisi para sahabat senior. ‘Umar memang memilih anggota majlisnya dari para
ahli Al-Qur’an, tanpa memandang usianya. Selama 10 tahun kekhilafahan beliau,
Ibnu ‘Abbas berusia antara 16 sampai 26 tahun, sebab beliau lahir 3 tahun
sebelum hijrah.
[10] Dikeluarkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi dalam al-Kubra,
dan Ibnu Abi Syaibah. Usia az-Zubair saat itu 11 atau 12 tahun, sehingga orang
yang tidak tahu saling bertanya, “Ada anak kecil membawa pedang?” Dalam isnad
al-Hakim terdapat Ibnu Luhai’ah yang dinilai dha’if oleh para ulama’.
Para perawi al-Baihaqi semua baik, tidak ada yang tertuduh atau dinilai dha’if,
hanya saja belum bisa mencapai derajat shahih. Sementara itu, semua
perawi Ibnu Abi Syaibah adalah tsiqah.
[11] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dala’il, dan
menurutnya riwayat ini mursal, namun beliau juga mengutip riwayat lain
yang maushul. “Perang Jamal” atau Perang Unta, terjadi tahun 36
H, karena sebab-sebab yang rumit antara khalifah ‘Ali di satu pihak dengan
‘Aisyah, az-Zubair dan Thalhah di pihak lain, yang berakhir dengan kemenangan
pihak ‘Ali dan terbunuhnya az-Zubair serta Thalhah. “Putra Shafiyyah”
maksudnya adalah az-Zubair sendiri, sebab ibunya adalah Shafiyyah binti ‘Abdul
Muththalib, bibi Nabi r dan juga ‘Ali. Jadi,
diantara mereka bertiga adalah saudara sepupu. “Saqifah Bani Sa’idah”
adalah balai pertemuan milik Bani Sa’idah dari kalangan Anshar, sekitar 500
meter di barat Masjid Nabawi.
[12] Riwayat ini mursal, sebab Isma’il bin Umayyah adalah tabi’in.
Al-Hakim mengutip riwayat serupa yang maushul bersumber dari Ibnu
‘Abbas, yang berkaitan dengan peristiwa Fathu Makkah, namun Nabi r menyebut empat nama yang sangat beliau harapkan masuk
Islam, yakni ‘Attab bin Usaid, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hizam dan Suhail
bin ‘Amr; sedangkan Aban bin Sa’id tidak termasuk. Dalam isnad al-Hakim
terdapat Yahya bin Sa’id bin Salim al-Qaddah, dan dia dha’if. Kelima
orang tersebut, semuanya kemudian masuk Islam.
[13] Riwayat ini mursal, karena al-Hasan adalah tabi’in.
Dikeluarkan juga oleh al-Hakim dan ath-Thabrani. Riwayat al-Hakim maushul
bersumber dari Anas, namun dihapus oleh adz-Dzahabi dari at-Talkhish
karena di dalam isnad-nya terdapat ‘Umarah bin Zadan yang lemah sekali (wahin).
Hanya saja, menurut al-Haitsami, ‘Umarah ini tsiqah dan statusnya
diperselisihkan para kritikus. Riwayat ath-Thabrani dalam ash-Shaghir
juga maushul dan dinilai hasan oleh al-Haitsami, bersumber dari
Abu Umamah. “Pendahulu” maksudnya pendahulu masuk surga, sebagaimana
dijelaskan secara eksplisit dalam riwayat yang lain.
[14] Dikeluarkan oleh Muslim secara ringkas, bersumber dari Abu
Hurairah. Menurut Syekh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqiy, sahabat tersebut merasakan
sesuatu yang sangat hebat di dalam hatinya, namun takut membicarakannya karena
sukarnya mengungkap sesuatu berkenaan dengan Allah. Maka, perasaan seperti itu
seharusnya ditahan untuk diri sendiri dan tidak diumumkan, demi mencegah
fitnah. Aneka perasaan dan pikiran berkenaan dengan keimanan justru akan hadir ketika
iman benar-benar ada di dalam hati dan tengah diuji, yang disebut dengan al-waswasah
(bisikian-bisikan). Sebagian orang gagal dalam ujian ini lalu mengobral
perasaannya kepada orang banyak, yang justru memicu aneka kesesatan dan
penyimpangan. Na’udzu billah min dzalik.
[15] Dikeluarkan oleh Muslim, bersumber dari Abu Hurairah, hadits marfu’.
[16] Hadits ini aslinya bersumber dari Abu Hurairah yang
diriwayatkan secara ringkas oleh al-Bukhari.
[17] Isnad-nya mursal, sebab Abu Qilabah adalah tabi’in.
[18] Dikeluarkan oleh Muslim dari beberapa jalur. “Nabata”
adalah sukubangsa tua yang memiliki akar sejarah panjang di Syam dan Iraq, dan
di zaman itu umumnya mereka menganut Kristen sehingga diwajibkan membayar jizyah.
Dalam riwayat diatas, mereka dihukum mungkin karena tidak mau membayar atau
sebab lain yang terkait.
[19] Dalam sebagian manuskrip, nama perawinya tertulis “Buhair
bin Wasnan”. Menurut editor, ini tidak tepat. Menurut Ibnu Abi Hatim,
Buhair berasal dari Yaman, salah seorang pejabat yang diangkat ‘Abdullah bin
az-Zubair di masa kekhilafahannya.
[20] Kisah penyiksaan Fir’aun terhadap istrinya yang beriman
kepada Allah dan menolak menyembah Fir’aun merupakan kisah heroik yang banyak
dituturkan. Dalam hadits riwayat al-Bukhari, Nabi r menyebut nama wanita itu
sebagai Asiyah.
[21] Dikeluarkan juga oleh Ibnu al-Mubarak. Menurut beliau, yang
dimaksud “orang-orang yang lebih muda” adalah para ahli bid’ah,
bukan muda dari segi usia. Sebab, sebagian sahabat ada yang mengutip riwayat
dari tabi’in, dan para ulama’ salaf biasa mengambil atau bertukar ilmu dengan
murid-muridnya sendiri, seperti antara asy-Syafi’i dan al-Humaydi.
[22] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini berbicara
tentang sulitnya mendapati orang yang baik dan benar-benar layak menerima ilmu.
[23] Lubaid adalah salah seorang penyair di zaman jahiliyah yang
termasyhur.
[24] Bagian akhir hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim
dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah.
[25] Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah,
dengan tambahan “dan Kitabullah” setelah kalimat “bukankah telah
datang padamu keyakinan?” Kalimat “menuliskan hadits ini untukku”
merujuk pada tradisi periwayatan dengan cara korespondensi diantara para
pelajar dan ulama’ yang hidup sezaman dan mungkin tinggal saling berjauhan.
Yang dimaksud “at-talawwun” adalah suka berubah-ubah sikap, plin-plan,
atau membunglon.
[26] Dikeluarkan oleh ad-Darimi dari dua jalur berbeda. “Tanaththu’”
artinya berlebihan dan melampaui batas dalam segala hal, atau sikap ekstrim. “Ta’ammuq”
artinya mendalami segala sesuatu dengan sangat berlebihan, sangat detil dan
melebihi kewajaran (Jw. njelimet). “Melemparkannya ke belakang
punggungnya” artinya meninggalkan dan tidak memperdulikan isinya, bersikap
masa bodoh dan seolah-olah tidak tahu.
[27] Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Menurut Syekh
al-Albani, sanad-nya dha’if.
[28] Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd dan
Abu Nu’aim dalam al-Hilyah.
[29] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah.
[30] Dikeluarkan oleh ad-Darimi.
[31] Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu al-Mubarak
dalam az-Zuhd. Riwayat semakna juga dikutip al-Bukhari, Muslim, Ahmad,
Ibnu Hibban, dan lain-lain.
[32] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, namun
untuk orang ketiga berbunyi: “seorang ‘alim yang tidak hidup dengan ilmunya
dan orang lain pun tidak hidup dengan ilmunya itu.”
[33] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah.
[34] Kalimat “jangan berbicara kecuali dengan apa yang ada
dalam al-Qur’an” atau yang serupa dengan itu biasa dilontarkan oleh
kelompok yang mengingkari sunnah Nabi (inkaru as-sunnah). Menurut mereka,
mengamalkan Islam sudah cukup dengan berpedoman pada Al-Qur’an saja. Inilah bid’ah yang dimaksud dalam riwayat diatas.
[35] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim.
[36] Dikeluarkan oleh Abu ‘Uwanah, dari Yahya bin Abi Katsir.
[37] Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, dari
Anas, secara marfu’.
[38] Lihat juga riwayat no. 20446.
[39] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dalam Taqyidu al-‘Ilmi.
[40] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dalam Taqyidu al-‘Ilmi.
[41] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dalam Taqyidu al-‘Ilmi.
Yang dimaksud “para penguasa” atau para pangeran, adalah khalifah ‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz bersama para wali atau gubernurnya. Sebagaimana
dimaklumi, dalam periode pemerintahannya yang singkat beliau menginstruksikan
kepada para ulama’ di seluruh wilayah kekhilafahan untuk membukukan berbagai
riwayat yang berasal dari Rasulullah r atau para sahabatnya.
[42] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dan Ibnu Sa’ad.
[43] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dan Abu Bakr bin ‘Abdil Malik.
[44] Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
[45] Hadits Abu Sa’id dalam tema ini diriwayatkan oleh Muslim.
[46] Kisah serupa dikutip ath-Thabrani dalam al-Ausath,
bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Amr, namun disana disebutkan bahwa yang dikirim
oleh Nabi r adalah Abu Bakr dan ‘Umar.
[47] “Cambuk rotan” atau al-mikhfaqah dalam teks
aslinya, yakni tongkat pemukul dari kayu.
[48] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Hadits diatas
berbicara perihal larangan menggunakan ketapel; sedang atsar yang
menyertainya berisi teguran keras kepada sikap menentang perintah atau larangan
dalam sebuah hadits. Atsar inilah yang diambil sebagai bagian dari
konsep ilmu.
[49] Dikeluarkan oleh al-Bazzar, dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas;
Abu Dawud dari Zaid bin Khalid, menurut Syekh al-Albani: shahih; Ahmad
dari Zaid bin Khalid, menurut Syekh al-Arna’uth: para perawinya tsiqah,
termasuk perawi al-Bukhari dan Muslim, namun riwayat ini diperselisihkan
statusnya apakah mursal atau maushul; dan Ibnu Hibban dari Zaid
juga, menurut Syekh al-Arna’uth: isnad-nya shahih ‘ala syarthi
asy-syaikhaini. Redaksinya sedikit berbeda satu sama lain, namun intinya
sama. Secara tidak langsung, hadits ini berbicara tentang adab dalam ilmu,
yakni tidak buru-buru melakukan atau mengatakan sesuatu jika tidak
mengetahuinya.