Bismillahirrahmanirrahim
Al-Hafizh Abul Faraj Ibnul Jauzi
menceritakan dalam Shaydu al-Khathir, bahwa pada suatu perjalanan Imam Sufyan
ats-Tsauri membawa bekal faludzaj (sejenis makanan mewah) dan daging panggang. Orang-orang
pun keheranan melihat makanan tersebut, namun beliau berkata, “Sungguh,
binatang tunggangan itu, jika diperlakukan dengan baik, maka ia akan bekerja
(dengan baik pula).” Ya, beliau menunjuk kepada dirinya sendiri, agar
diperlakukan dengan baik sehingga giat dalam menggapai cita-cita yang mulia.
Memberi
makanan yang baik hanya sebagian bentuk perlakuan. Masih banyak lainnya, yang dalam hadits
disebut dengan “memberikan hak-haknya”. Salman al-Farisi pernah berkata kepada Abu
Darda’, “Sungguh Tuhanmu memiliki hak atas kamu, dirimu punya hak atas kamu,
dan keluargamu pun punya hak atas kamu.
Maka, berikanlah kepada setiap yang berhak hak mereka.” Rasulullah pun membenarkan
ucapan Salman. (Riwayat Bukhari).
Islam mengajarkan keseimbangan, yakni
menjaga posisi tengah-tengah diantara dua ekstrem. Dalam Ilmu Akhlaq
kita diajarkan bahwa ada tiga daya (al-quwa) dalam diri manusia, yaitu: daya nalar,
emosi dan syahwat. Akhlaq mulia adalah titik keseimbangan diantara dua ekstrem
yang selalu muncul dari ketiganya. Pertama, kebijaksanaan (hikmah)
adalah puncak
kesempurnaan daya nalar, yaitu pertengahan antara kedunguan dan kejeniusan. Kedua,
keberaniaan (syaja’ah) adalah puncak kesempurnaan daya emosi, yakni
pertengahan antara pengecut dan sembrono. Lalu, ketiga, ‘iffah
(menjaga diri) adalah puncak
kesempurnaan daya syahwat, yaitu pertengahan antara dingin-beku dengan liar.
Maka, memaksakan diri (takalluf) tidak disukai, sama
dengan kemalasan (kaslan). Karenanya, kesungguhan
(mujahadah) ada diantara keduanya. Nabi melarang kerahiban (rahbaniyah),
dimana seseorang membujang dan fokus beribadah. Beliau pun tidak mengizinkan berpuasa sepanjang
tahun (shaum dahr), tanpa ada hari-hari berbuka di dalamnya. Sebaliknya,
beliau mencela orang yang tidur sepanjang malam seperti bangkai,
tidak sedikitpun terbangun untuk bermunajat menyeru Tuhannya. Beliau juga menegur
Sahabat yang shalat dengan cepat dan terburu-buru, karena tidak
mencerminkan kesungguhan yang wajar.
Kehidupan Rasulullah dan para Sahabatnya
adalah kisah manusia biasa, sama dengan kita kaum muslimin sesudah mereka. Andai
kehidupan mereka seperti malaikat, tentu tiada faedahnya samasekali, sebab mustahil
dicontoh. Maka, ada saatnya mereka berperang dan berjibaku
menantang maut, namun ada pula saat-saat dimana mereka bergembira dan berdendang. Suatu hari ‘Aisyah – bersama lainnya –
mengantarkan seorang pengantin wanita dari kaum Anshar kepada pengantin
prianya, maka Nabi bertanya, “Hai Aisyah, apakah bersama
kalian tidak disertai permainan? Sebab, kaum Anshar sangat menyukai permainan.”
(Riwayat Bukhari). “Permainan” disini adalah menabuh rebana dan mendendangkan nyanyian yang mubah, bukan pengundang syahwat dan
maksiat.

Maka, jangan sampai kita lebih sibuk mencari-cari riwayat bagaimana generasi
Sahabat bersantai, lalu membesar-besarkannya. Kita memperdebatkan hukum hiburan
serta nyanyian yang sebenarnya mubah dan bersifat sesekali, namun lupa
membicarakan bagaimana mereka bersungguh-sungguh mengisi waktunya, yang
mengambil porsi terbesar. Lebih disayangkan bila kita justru memadati kehidupan
ini dengan kesantaian, diatas dalih bahwa para Sahabat pun bersantai. Belum
lagi, ternyata kita pun tidak mewaspadai apa jenis hiburan yang kita nikmati.
Sebenarnya, tidaklah mengapa merehatkan jiwa
sesekali, dengan cara-cara yang mubah. Sebab, rehat akan membangkitkan kekuatan
dan memperbaharui motivasi. Hanya saja, jangan berlebihan, karena berkubang dalam senda-gurau dan permainan adalah bukti kelemahan serta
kemalasan.
Al-Hafizh
Sa’id bin Manshur al-Khurasani mengutip bahwa Mu’awiyah bin Qurrah berkata: aku
bertanya kepada al-Hasan, “Mana yang lebih Anda sukai: saya membaca mushhaf
(Al-Qur’an) atau duduk mendengarkan penutur kisah?” Beliau menjawab, “Bacalah
mushhaf-mu.” Aku bertanya lagi, “Mana yang lebih Anda sukai: saya
menjenguk orang sakit atau duduk mendengarkan penutur kisah?” Beliau
menjawab, “Jenguklah orang sakit.” Aku bertanya lagi, “Mana yang
lebih Anda sukai: saya mengiringkan jenazah atau duduk mendengarkan penutur
kisah?” Beliau menjawab, “Iringkanlah jenazah.” Aku bertanya lagi, “Ada
seseorang meminta tolong kepada saya untuk suatu keperluan, mana yang lebih
Anda sukai: apakah saya pergi menolongnya atau duduk mendengarkan penutur
kisah?” Beliau menjawab, “Pergilah menolong keperluan saudaramu.” Sehingga
beliau menjadikan (kegiatan-kegiatan lain itu) sebaik-baik pengisi waktu luang. (dari: Sunan Sa’id bin Manshur. Sanad-nya shahih).
