Bismillahirrahmanirrahim
Kita pasti merasa sakit hati
dan marah jika dituduh sebagai pencuri, padahal kita tidak melakukannya. Lalu,
bagaimana jika kita dituduh sebagai “pencuri paling buruk”? Sudah pencuri,
ditambahi gelar “paling buruk” lagi. Tetapi, ternyata itu belum cukup. Bagaimana
jika tuduhan itu datang dari junjungan kita, Rasulullah sendiri, padahal kita justru sedang beribadah dan berusaha melaksanakan perintahnya? Kita sedang
beribadah malah dituduh sebagai maling? Tetapi,
bukankah pernyataan beliau pasti benar dan tidak pernah mengada-ada?
Benar, memang demikianlah adanya. Diceritakan
oleh Abdullah bin Mufadhdhal, bahwa Nabi bersabda: “Pencuri paling buruk
adalah orang yang mencuri shalatnya.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana bisa dia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Dia tidak
menyempurnakan ruku’ serta sujudnya. Dan, orang yang paling pelit adalah yang
pelit mengucapkan salam.” (Riwayat Thabrani dalam tiga Mu’jam-nya.
Menurut al-Haitsami: para perawinya bisa dipercaya).
Para sahabat itu sama keheranannya
dengan kita. Tetapi, penjelasan Nabi adalah sangat masuk akal. Bila seseorang
mengerjakan shalat dengan tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, bukankah ia
seolah hanya bermain-main di hadapan Tuhannya? Ia mungkin terlihat beribadah,
tetapi sebenarnya tidak. Mengapa ia tidak berdiri di hadapan Tuhannya seperti
seorang perindu yang menjumpai kekasihnya? Ingin berlama-lama, dan bila saja
boleh, tidak perlu beranjak dari situ untuk selamanya. Akan tetapi, ia justru mempercepat
ruku’ dan sujudnya seakan berdiri di depan bangkai busuk dan ingin secepatnya
kabur, karena muak dan mau muntah. Ia membaca doanya secara cepat dan sangat terburu-buru,
seakan tidak sadar bahwa ia tengah memuji dan mengagungkan Tuhannya. Orang seperti ini, rasa-rasanya cukup pantas disejajarkan dengan “pencuri
paling buruk”, untuk menggambarkan buruknya perbuatan yang ia lakukan.
Lalu, bagaimana kita bisa menyempurnakan
ruku’ dan sujud?
Diceritakan oleh Ibnu Mas’ud:
sesungguhnya Nabi bersabda, “Jika salah seorang dari kalian ruku’ lalu
membaca: subhana rabbiyal ‘azhim – tiga kali – dalam ruku’-nya, maka telah
sempurnalah ruku’-nya, dan itu adalah yang paling minimal. Dan jika ia sujud
lalu membaca: subhana rabbiyal a’la – tiga kali – maka telah sempurnalah
sujudnya, dan itu adalah yang paling minimal.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits dha’if).
Di belakang hadits ini, Imam Tirmidzi
menyatakan bahwa, isnad-nya tidak bersambung, namun isinya diamalkan
para ulama’. Artinya, kita dianjurkan membaca tasbih tidak
kurang dari tiga kali dalam ruku’ dan sujud. Imam Abdullah bin Mubarak
menganjurkan para imam agar membaca tasbih sebanyak lima kali supaya makmum bisa bertasbih tiga kali.
Dalam kitab-kitab fiqh kita temukan bahwa salah satu rukun shalat adalah thuma’ninah
(tenang), yang biasanya disertakan bersama ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk
diantara dua sujud. Kita pasti temukan keterangan ini dalam kitab fiqh standar
yang paling ringkas sekalipun, seperti Al-Ghayah wa at-Taqrib karya
Qadhi Abu Syuja’ yang populer di pesantren-pesantren. Jika sikap tenang, tidak
buru-buru, dan penuh kekhusyu’an merupakan “rukun shalat”, itu artinya shalat
kita tidak akan sah jika ia terlewatkan. Tanpa thuma’ninah, gerakan-gerakan
tersebut tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah.

Tampaknya, mengerjakan shalat dengan cepat dan buru-buru bukan cerita
baru. Bahkan, di masa hidup Nabi sendiri, ada saja orang-orang yang tidak benar
dalam shalatnya. Teguran beliau demikian jelas: “Kembalilah, sebab sungguh
engkau belum mengerjakan shalat.” Tindakan orang itu juga memperlihatkan
dengan jelas maksudnya: dia kembali, dan mengulangi shalatnya, bahkan sampai
tiga kali!
Apa yang terjadi, andai beliau hidup kembali di tengah-tengah kita sekarang,
lalu duduk di salah satu sudut masjid ini, dan memperhatikan shalat kita? Jika kita
ditegur seperti itu, bukankah shalat kita harus diulangi? Bagaimana jika kita menjadi
imam? Bukankah seisi masjid akan beliau nilai tidak mengerjakan shalat, dan beliau
akan meminta kita – seluruhnya – mengulang kembali? Bagaimana jika lima kali
sehari, tujuh hari sepekan, empat pekan sebulan, duabelas bulan setahun, seumur
hidup? Atau, belasan dan puluhan rakaat dalam tarawih sepanjang Ramadhan? Subhanallah!
Maka, sempurnakan shalat kita, agar kita tidak ber-takbiratul ihram
dan merasa sebagai mushalli (orang yang mengerjakan shalat), tetapi di
mata Allah justru menjadi sekumpulan pencuri! Na’udzu billah.
[*] M. Alimin Mukhtar, 22 Ramadhan 1431 H. Pernah dimuat dalam Lembar Taushiyah, BMH Malang.