Bismillahirrahmanirrahim
Sebenarnya, mustahil
membayangkan kejayaan budaya dan peradaban Islam di masa lalu bisa lahir tanpa
landasan epistemologi ilmu dan metodologi pendidikan tertentu yang menopangnya.
Bagaimanapun, tidak ada budaya dan peradaban yang lahir dari ruang kosong, atau
muncul secara tiba-tiba tanpa elemen tertentu yang membentuknya. Masa kejayaan
yang merentang berabad-abad, keluasan serta keabadian pengaruh yang
ditanamkannya kepada berbagai bangsa dan benua, deretan panjang sarjana dan
pujangga legendaris dari berbagai bidang, juga jutaan peninggalan eksotis yang
masih menjadi pemicu decak kagum hingga kini, sudah cukup memberi kita
kesadaran akan adanya ruh yang menghidupinya. Siapapun yang memahami kewibawaan
Madinah di era kenabian, atau mengerti kegemilangan Baghdad, Cordoba dan
Istanbul di zaman berikutnya, tidak akan berkata bahwa semua itu terjadi begitu
saja. Belum lagi ribuan khalifah (pemimpin tertinggi), sulthan
(raja), wazir (perdana menteri), wali (gubernur), amir
al-jaisy (komandan militer) dan ‘ummal (pejabat administratif
pemerintahan) di seluruh penjuru kawasan yang mengharu-biru dunia dengan segala
prestasi dan sepak-terjang mereka.
Tidakkah kita
bertanya-tanya, bagaimanakah mereka dididik?
Untuk mendapatkan jawaban
atas pertanyaan itu, kita mesti menelusuri satu persatu catatan otentik para
ahli terhadap makna, tujuan, falsafah, metodologi, teknik, materi, atau
ringkasnya bagaimana “ilmu dan pendidikan” dipersepsi serta diselenggarakan di
zaman mereka. Walaupun semua ini bersifat historis, namun kita tidak cukup
bersandar kepada laporan para ahli sejarah (akhbari), sebab metodologi
mereka cenderung longgar. Satu-satunya komunitas ilmiah yang dengan teguh
menjaga standar pencatatan beritanya adalah ahli hadits (muhadditsun),
sehingga dokumen yang mereka hasilkan memiliki nilai sejarah dan ilmiah yang
sangat tinggi. Maka, menganalisis kitab al-’ilmi
dalam karya-karya ahli hadits merupakan salah satu pilihan paling logis.
Ilmu – sebagaimana dicatat
para ahli hadits – adalah sesuatu yang lebih bersifat spiritual dibanding
material. Ia tidak semata-mata memerlukan kesigapan fisik, namun sekaligus
keteguhan mental. Ia terutama adalah makanan ruhani, sehingga mutu maupun
jumlahnya haruslah memenuhi kriteria tertentu, agar benar-benar mencukupi dan
bermanfaat, bukannya meracuni. Kita akan temukan banyak riwayat yang senada dengan
kesimpulan ini dalam kitab al-’ilmi atau lainnya. Memandang ilmu sebagai
semata-mata elemen dunia material adalah kesalahan fatal, yang sayangnya telah
menjadi kelaziman peradaban kontemporer. Gagasan seperti ini telah menyebabkan
penelantaran jiwa manusia dalam tingkat yang akut, dan bahkan telah
membunuhnya. Manusia pun hidup dalam kehampaan dan ketersesatan, tanpa tahu
harus bagaimana dan kemana. Pengingkaran Barat terhadap jiwa dan metafisika telah
membawa mereka untuk mengabaikan kenyataan ini, dan memandang setiap gangguan
jiwa sebagai gejala fisik belaka. Kita berhadapan dengan fenomena ironis, sebab
psikologi – ilmu jiwa – pada dasarnya tidak mempercayai jiwa, dan justru
berkembang menjadi ilmu tentang kelainan-kelainan fisik yang membingungkan!
Karena watak ilmu yang
demikian, maka ia tidak bisa didekati dan diraih secara sembarangan tanpa
memperhatikan prasyarat serta tatacara yang selaras dengannya. Adalah
kekeliruan serius menganggap ilmu sebagai semacam barang bebas yang dapat
dipungut setiap orang, tak perduli bagaimana sikap, tujuan dan kesiapan
spiritualnya. Ilmu adalah anugrah ketuhanan, cahaya ke dalam relung jiwa
manusia yang dengannya mereka menjadi berbeda dengan makhluk lain. Ia merupakan
warisan kenabian, hanya setingkat di bawahnya, yang tidak mungkin dianugrahkan
ke dalam jiwa-jiwa yang tidak layak menampungnya.[1] Oleh karenanya,
Islam memperkenalkan “adab”, sebuah disiplin fisik dan spiritual yang dengannya
manusia siap menerima karunia-karunia ilmu dan mencerna manfaatnya.
Di lain pihak, nilai dan
kedudukan ilmu yang sangat agung menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak bisa
didapat dengan mudah. Ini sesuatu yang alamiah dan seharusnya. Diperlukan
banyak prasyarat untuk meraih ilmu, secara lahir maupun batin. Syekh az-Zarnuji
menulis dalam pembukaan Ta’limu al-Muta’allim, “Ketika saya melihat
mayoritas pelajar di zaman ini berusaha keras untuk menyelesaikan studi namun
gagal mendapatkan manfaat ilmu, atau minimal mereka terhalang untuk
mencapainya, yakni mengamalkan dan menyebarkannya, sebab mereka keliru memilih
jalannya dan tidak memenuhi persyaratan-persyaratannya; dan, siapa pun yang
keliru memilih jalan, ia pasti tersesat, gagal mencapai maksud dan tujuannya,
baik sedikit maupun banyak, maka saya ingin menjelaskan kepada mereka cara
mencari ilmu menurut apa yang telah saya baca dari berbagai kitab dan saya
dengar dari guru-guru saya, ahli ilmu dan hikmah, dengan harapan...”[2]
Sebenarnya, tanpa adab,
seorang pelajar bukan tidak mungkin menguasai ilmu yang ditekuninya. Ia bahkan
bisa saja sangat mahir dan kompeten. Namun, tanpa adab, ia pasti gagal meraih
manfaat dan keberkahan ilmunya, yaitu: amal yang bersih, rasa takut kepada
Allah, atau singkatnya: hidayah. Menurut pandangan Islam, ketika ilmu
gagal mengubah perilaku, melahirkan ketulusan amal, kehidupan yang lurus, perasaan
ta’zhim dan pengenalan yang selayaknya terhadap Allah, maka ilmu itu
pasti tidak bermanfaat bagi pemiliknya.
Al-Hasan berkata, “Dulu,
bila seseorang telah mencari ilmu, maka (pengaruhnya) akan selalu terlihat pada
tatapan matanya, kekhusyu’annya, lidahnya, tangannya, shalatnya dan
kezuhudannya.”[3]
Sufyan berkata, “Tidaklah
ilmu seorang hamba bertambah, lalu kencintaannya kepada dunia juga semakin
bertambah, melainkan ia akan semakin bertambah jauh dari Allah.”[4]
Hassan berkata, “Tidaklah
ilmu seseorang itu semakin bertambah melainkan ia akan semakin bertambah lurus
(jalan hidupnya), dan tidaklah Allah mengalungkan sesuatu yang lebih baik
kepada seorang hamba dibanding ketenangan (as-sakinah).”[5]
Malik bin Dinar berkata, “Siapa saja yang tidak diberi
suatu ilmu yang bisa mengekangnya (dari dunia), maka sebenarnya ia tidak diberi
ilmu yang bermanfaat baginya.”[6]
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Siapa saja yang mencintai
dan menggemari dunia, pasti lenyap dari hatinya rasa takut terhadap akhirat.
Siapa saja yang semakin bertambah ilmunya kemudian semakin rakus kepada dunia,
pasti ia semakin jauh dari Allah, dan pasti ia semakin dimurkai oleh Allah.”[7]
Adab juga bukan sesuatu
yang bersifat sekunder dan sampingan dalam proses mencari ilmu. Adab adalah
metodologi pendidikan. Sebagai metodologi, tentu saja ia inheren dan terikat
erat dengan epistemologi tertentu yang “dilayaninya”, yaitu Islam. Kaidah ini
berlaku dalam semua metodologi pendidikan yang dianut berbagai lembaga
pendidikan di seluruh dunia, baik yang berasal dari Timur maupun Barat, sekuler
maupun religius, theistik maupun atheistik, modern maupun klasik. Dengan
sendirinya, sebagai misal, kita dapat menyimak bahwa sebenarnya berbagai
metodologi, metode maupun teori pendidikan ala Barat semacam CTL (Contextual
Teaching and Learning), Quantum Teaching and Learning, Muliple
Intelligencies, Neuro Sciences, dan lain sebagainya, pada dasarnya
adalah “pelayan” dari sebuah epistemologi tertentu, yakni epistemologi Barat.
Sebagai muslim, diperlukan kewaspadaan ekstra untuk bersentuhan dengan
elemen-elemen asing seperti ini sebelum mengadopsi dan mengadaptasikannya ke
dalam praktik pendidikan kita. Benar, bahwa tidak adil untuk menolak
bulat-bulat semua hasil kerja keras ribuan ilmuwan dan spesialis dari Barat di
bidang ini, namun menelannya mentah-mentah adalah kebodohan yang tak
terjelaskan. Dalam kadar tertentu, adab juga dapat dipandang sebagai teori
tentang ilmu, sehingga tidak bisa dilepaskan dari visi dan misi Islam, demi
meraih ridha Allah dengan merealisasikan tugas kehambaan dan kehilafahan di
muka bumi.
Bertaut-eratnya adab
dengan ilmu sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh. Bagaimanapun juga tanpa
adab, ilmu tidak akan tumbuh dengan baik dalam jiwa manusia, karena adab adalah
proses penyiapan jiwa agar bersih dan layak menerima ilmu. Sekali lagi perlu
diingat bahwa – menurut Islam – ilmu adalah sesuatu yang lebih bersifat
spiritual, mukan material. Tradisi pendidikan ulama’ salaf menekankan
pentingnya mendahulukan adab sebelum ilmu (al-adab qabla al-’ilmi). Malik bin Anas berkata kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai
anak saudaraku, pelajarilah adab sebelum ilmu.”[8] Beliau juga pernah berkisah
mengenang masa kecilnya, ketika beliau mulai belajar kepada para gurunya, “Ibuku
pernah memakaikan sorbanku, dan berkata: ‘Pergilah kepada Rabi’ah, lalu
pelajarilah adabnya sebelum ilmunya.”[9]
Ketika menjelaskan hadits “addabani
rabbiy (Tuhanku telah mendidikku)”, Imam al-Minawi antara lain menulis, “...tampak jelas disini bahwa adab itu sangat diagungkan,
sehingga dari sinilah orang berkata, “Adab adalah gambaran jiwa, maka
gambarkanlah jiwamu sekehendakmu!” Mereka berkata, “Keutamaan itu dengan
akal dan adab, bukan dengan asal-usul dan nasab, sebab siapa saja yang buruk
adabnya pasti lenyap nasabnya, dan siapa saja yang hilang akalnya maka hilang
pula asal-usulnya.” Mereka berkata, “Sucikan hatimu dengan adab,
sebagaimana api disucikan dengan kayu. Kebaikan adab itu akan menutupi buruknya
nasab.” Dikatakan dalam kitab al-’Awarif, “Dengan adab ilmu bisa
dipahami, dengan ilmu amal menjadi baik, dan dengan amal hikmah akan diraih.”
Ketika Abu Hafsh an-Nisaburi tiba di Iraq, al-Junaid datang menjumpainya, dan
dilihatnya murid-murid beliau berdiri di dekatnya serta melaksanakan segala
perintahnya. Al-Junaid berkata, “Engkau mendidik murid-muridmu seperti
pendidikan para raja (kepada bawahannya).” Dijawab, “Tidak demikian.
Akan tetapi, baiknya adab lahiriah mencerminkan baiknya adab batiniah.”
Al-Minawi juga mengutip kisah seseorang yang datang kepada
Burhanuddin al-Biqa’iy untuk membaca sebuah kitab, lalu ia duduk bersila di hadapannya
sehingga beliau enggan meneruskannya seraya berkata, “Engkau lebih butuh
kepada adab dibanding kepada ilmu yang engkau cari dengan datang kemari itu.”
Dikisahkan pula bahwa di awal masa belajarnya, Syamsuddin al-Jauhari
berkeliling menemui para ulama’ besar di negerinya, namun tidak satupun yang
dianggapnya hebat karena beliau memang orang yang sangat cerdas. Lalu, pada
suatu saat datanglah Syaikhul Islam Yahya al-Minawi ke negerinya, dan
al-Jauhari pun segera mendatanginya untuk belajar. Dipikirnya, al-Minawi ini
sama saja dengan semua ulama’ lain yang pernah dijumpainya, sehingga beliau
agak sembrono berperilaku di hadapannya dan langsung saja membaca. Ketika
itulah al-Minawi memperhatikannya dan didapatinya salah satu ujung jari kakinya
terbuka, tidak tertutup oleh ujung bajunya; maka dibentaknya al-Jauhari saat
itu juga, “Kurang ajar kau ini! Jangan sampai hal ini kau lakukan lagi dalam
belajar! Tutup jari kakimu itu dan gunakan adab yang baik!” Saat itu
jugalah padam seluruh kesombongan al-Jauhari sehingga akhirnya beliau tampil
sebagai seorang ulama’ besar.[10]
Ibnul Mubarak berkata, “Siapa
saja yang meremehkan adab, ia dihukum dengan terhalang dari (amalan-amalan)
sunnah; siapa saja yang meremehkan (amalan-amalan) sunnah, ia dihukum dengan
terhalang dari (amalan-amalan) fardhu; dan siapa saja yang meremehkan
(amalan-amalan) fardhu, ia dihukum dengan terhaladang dari ma’rifat.”[11] Maka, cukup
jelas kiranya, seorang pelajar akan gagal mencapai ma’rifat hanya karena
ia meremehkan adab. Menurut al-Jurjani, ma’rifat adalah memahami
sesuatu menurut hakikat sesuatu itu sendiri, setelah sebelumnya tidak tahu (jahil).[12]
Inilah yang melatari
mengapa sebagian ahli hadits tidak memisahkan bab-bab ilmu dalam kitab
tersendiri, dan justru memadukannya begitu saja dengan bab-bab adab,
sebagaimana yang dapat kita saksikan dalam Kitab al-Jami’ karya Ma’mar bin
Rasyid, Sunan Sa’id bin Manshur dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Membicarakan konsep ilmu
dalam Islam sebenarnya tidak mungkin dilepaskan dari konteks asalnya sebagai
bagian dari konsep adab. Menurut Islam, mendidik manusia pada kenyataannya
adalah proses menanamkan adab itu. Tentu saja, menjadi keharusan alami jika kitab
al-adab memuat penjelasan praktis bagaimana cara yang tepat dalam berpikir,
merasa, berbicara, dan bertindak; serta apa saja yang diperintahkan maupun
dilarang di dalamnya. Adakah materi pendidikan yang lebih bermanfaat selain
ini? Bukankah sia-sia belaka mempelajari sesuatu yang sebenarnya tidak ada
kaitannya dengan kehidupan dan bahkan tidak bisa dibangun diatasnya amal? Maka,
adab akan menanamkan – pertama-tama dan diutamakan – hal-hal praktis, atau “ilmu
yang bermanfaat”,[13] karena dengan
itulah kita hidup dan mengabdi kepada Allah; bukan dengan sesuatu yang muluk
dan berbelit-belit.
Sifat pendidikan yang
semacam ini memastikan bahwa materinya berlaku untuk segala situasi dan
kondisi, dan juga lebih adil karena semua orang bisa mempelajari dan
menyerapnya, tanpa diperlukan prasyarat khusus. Misalnya, kitab al-adab
menggariskan bahwa mengharap kematian adalah pikiran terlarang, sebaliknya kita
dituntun memohon pertolongan Allah dan selalu bersandar kepada-Nya. Perasaan
kita dituntun untuk tidak merasa iri-dengki kepada sesama, sebaliknya ditempa
agar turut bergembira atas karunia yang diterima orang lain. Kata-kata yang
keluar dari mulut harus dikendalikan, agar tidak merusak orang lain maupun diri
sendiri. Maka, melontarkan ejekan kepada ayah orang lain disamakan dengan
mengejek ayah sendiri, dan kita diminta menghormati siapa saja yang lebih tua.
Setiap tindakan kita pun harus dilandasi “pemikiran yang jauh”, sehingga –
sebagai misal – kaum wanita dilarang mengenakan pakaian yang ketat dan tipis,
karena itu sama dengan menjatuhkan martabat diri sendiri dan mendorong orang
lain melakukan kejahatan; sebaliknya ia didorong untuk menutup aurat dan
memelihara rasa malu. Demikian seterusnya. Semua ini biasa kita temukan dalam kitab
al-adab, yang mencitrakan bahwa Islam menekankan – dalam porsi besar –
pendidikan sebagai proses pembentukan jiwa, sementara fisik mengikutinya.
Disini tidak berlaku semboyan materialis yang sangat menyesatkan: “dalam
tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”. Sebab, Islam mendefinisikan
kesehatan fisik sebagai kondisi tatkala ia ringan menaati Allah, tidak
didominasi nafsu jahat dan merusak, serta mampu mempersembahkan manfaat bagi
sekitarnya; bukan semata-mata ketika ia tidak sakit dan bisa berfungsi dengan
benar. Ketika Al-Qur’an menyebut kaum munafiq sebagai “orang sakit”,
maka makna inilah yang sedang dimaksudkannya.
Secara alamiah, konsep
ilmu dan adab pasti memiliki kaitan yang erat dengan bab-bab tentang Al-Qur’an
dan Sunnah. Alasannya tidak sulit dicari, sebab ketika kita percaya bahwa jiwa
merupakan rahasia Allah,[14] maka berpegang
kepada tuntunan wahyu adalah pilihan paling logis. Siapakah yang lebih memahami
sebuah teka-teki selain penciptanya sendiri? Jelasnya, sebagaimana akan Anda
temukan sendiri dalam buku ini, “menyerahkan sesuatu kepada ahlinya”
dipandang sebagai salah satu prinsip paling penting dalam Islam, yang dengannya
keselarasan dan kebajikan senantiasa dapat dipelihara. Kondisi chaos dan
rusak kebanyakan diawali dari kezhaliman, yang adalah kebalikan dari adab itu
sendiri. Di puncak sikap zhalim itu bertenggerlah syirik, sebuah kezhaliman
yang terbesar.[15]
Oleh karenanya, segenap
hal terkait Al-Qur’an menjadi sangat penting untuk dihadirkan: hakikat, sejarah
penurunan, susunan, pengumpulan, keutamaan, penafsiran, rasm, qira’at,
asbabun nuzul, nasikh-mansukh, ayat dan surah, adab, segala yang
berhubungan dengannya. Sebab, betapa sering kita memusuhi segala yang tidak
kita kenal, dan mengesampingkan apapun yang tidak kita mengerti. Dewasa ini,
banyak orang sanggup berbicara berjam-jam seputar musik, sport, teknologi, dan
makanan, namun segera tersedak dan bisu jika harus membahas kitab sucinya
sendiri. Maka, menelusuri rangkaian bab tentang Al-Qur’an pelan-pelan akan
membawa kita pada satu cakrawala baru: “seolah-olah kita hadir disana saat
ia diturunkan!”
Untuk itu, perlu
dihadirkan rekaman otentik tentang “suasana” saat Al-Qur’an itu diturunkan,
termasuk bagaimana sikap dan tindakan sang penerima wahyu itu sendiri.
Kebutuhan terhadap hal ini terpenuhi dalam bab-bab khusus yang biasanya disebut
kitab as-sunnah atau ittiba’u as-sunnah. Bila Anda membaca satu
demi satu riwayat pada bagian ini, ayat demi ayat dari Al-Qur’an akan
terjelaskan, rahasia demi rahasia dalam firman Allah pun tersingkap satu demi
satu. Sungguh tepat apa yang dinyatakan oleh Masruq, “Tidak ada satu masalah
pun yang kami tanyakan kepada para sahabat Muhammad r melainkan ilmu tentangnya (sudah ada) di dalam Al-Qur’an,
hanya saja pengetahuan kami terhadapnya sangat terbatas.”[16]
Bila kita melanjutkan
membaca bab-bab tentang Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menyadari bahwa
keduanya membutuhkan peragaan nyata. Konsep-konsep sehebat apapun selalu
membutuhkan para pendukung setia. Di sinilah arti penting kumpulan riwayat yang
biasanya dicatat dalam bentuk biografi Rasulullah r, fragmen kehidupan para
sahabat dan juga atsar-atsar yang mereka wariskan. Di sepanjang zaman,
kita tidak mungkin mengabaikan catatan-catatan ini, sebab merekalah yang
menerima dan mengalami wahyu, mempraktikkan, dibimbing langsung, dan kemudian
diumumkan sebagai puncak kesempurnaan eksistensi agama-Nya di muka bumi,
sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Ma’idah: 03. Mendapatkan gambaran perihal
kehidupan mereka samadengan memandangi potret manusia-manusia yang telah
dididik dengan benar, yang benar-benar telah terdidik.
Seluruh kitab al-’ilmi
yang kami alihbahasakan disini menyajikan benang merah diatas secara nyata.
Tidak satu pun yang terlepas dari logika ini, baik keseluruhan maupun sebagian.
Konsep-konsep tentang ilmu (al-’ilmu), adab (al-adab), keutamaan
Al-Qur’an (fadha’il al-qur’an), mengikuti sunnah (ittiba’ as-sunnah),
peperangan dan jejak kehidupan Nabi r (al-maghazi wa
as-siyar), keutamaan generasi sahabat (fadha’il ash-shahabah), bisa
saja ditulis terpisah, saling berbaur begitu saja, atau sebagian dipadukan
dengan lainnya menurut kadar kemiripannya satu sama lain. Sepertinya, ketika
tema-tema tersebut menyatu sedemikian erat, para ulama’ pun menulis menurut
ijtihadnya masing-masing. Sunan Ibnu Majah adalah contoh kasus paling
eksplisit, dimana semua topik diatas disatukan sebagai matarantai tak terputus
dalam muqaddimmah-nya. Fenomena ini juga muncul dalam sistematika
penulisan Sunan ad-Darimi, Shahih al-Bukhari dan Shahih Ibn Hibban.
Adapun Kitab al-Jami’ dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah keduanya
menempatkan adab sebagai puncak dimana di tema-tema lain tercakup di bawahnya.
Tak kalah menarik adalah ditempatkannya tema-tema diatas sebagai cabang-cabang
iman oleh al-Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman. Ini mempertegas
kesimpulan bahwa ilmu adalah sesuatu yang – pertama-tama – bersifat spiritual,
karena ia merupakan bagian dari tuntutan iman; walau selanjutnya kita tidak
boleh lupa bahwa iman sendiri mencakup ucapan verbal (iqrar bi al-lisan),
penerimaan hati (tashdiq bi al-qalb) dan tindakan fisik (‘amal bi
al-jawarih).
Menjadi jelaslah bahwa
adab merangkum disiplin fisik, mental, dan spiritual sekaligus, yang dengan
sendirinya mengarahkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan
untuk meraih keberhasilan secara utuh. Ini adalah sesuatu yang khas Islam, yang
merupakan konsekuensi langsung dari akidah tauhid yang melandasinya. Maka,
tidak mengherankan jika di masa lalu kita menemukan para sarjana yang menguasai
berbagai keahlian sekaligus, baik di bidang agama, sains, politik praktis,
bahkan kemiliteran. Terlalu banyak contoh yang bisa disebutkan dalam masalah
ini. Belum lagi fakta tak terbantahkan yang hampir selalu mewarnai biografi
mereka, baik secara eksplisit maupun implisit, bahwa mereka adalah figur-figur
dengan ketaatan beribadah yang luar biasa, menganut standar moralitas yang
tinggi, dan konsistensi yang luar biasa dalam membela kebenaran. Sebagai misal,
kita dapat menyaksikannya dalam biografi yang disertakan untuk para penulis
yang karyanya kita pilih, juga para perawi yang namanya terdaftar dalam indeks.
Tentu saja kita tidak akan menemukan orang semacam Jean-Jacques Rousseau
(1712-1778), pakar pendidikan anak yang sangat dihormati namun justru membuang
dan menelantarkan lima bayi darah dagingnya sendiri![17]
Adab tidak hanya berlaku bagi
seorang pelajar (thalib atau muta’allim), namun merupakan
kewajiban seluruh komponen yang terlibat dalam proses pencarian ilmu, mulai
dari pemimpin lembaga pendidikan atau guru besar (syaikh), pengajar
biasa (mudarris), asisten (na’ib), pendamping pelajar atau kakak
asuh (mu’id dan mufid), pustakawan (mutawalli al-kutub),
penasihat spiritual (wa’izh), pengelola masjid (mu’adzdzin),
sampai para staf lain yang terlibat di dalam sebuah lembaga pendidikan, seperti
juru masak, pengelola air bersih, penanggung jawab lampu penerangan, penyedia
kertas dan tinta, para penyalin naskah, dan lain sebagainya. Berbagai karya
telah ditulis dalam masalah ini, dan perpustakaan kita menyimpan khazanah
berharga tersebut dengan sangat baik.[18]
[1] Diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq, dan Abu
Dawud [sanad-nya shahih] secara lengkap, dari Abu ad-Darda’. Di
dalamnya, Nabi r bersabda, “Sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris
nabi-nabi.”
[2] Ta’limul Muta’allim Thariqa at-Ta’allum, dicetak
bersama syarh-nya, hal. 3.
[3] Sunan ad-Darimi, no. 385. Sanad-nya shahih.
Ada tambahan, menurut Ibnul Mubarak: “(dalam) perkataannya”, dan menurut
Hisyam: “(dalam) tindak-tanduknya.”
[4] Sunan ad-Darimi, no. 386. Isnad-nya shahih.
[5] Idem. Aslinya adalah tiga atsar yang
disatukan, karena isnad-nya sama.
[6] Dikutip dari Fathul Mannan, III/140, dalam syarah
untuk hadits no. 408.
[7] Idem.
[8] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, VI/330.
[9] Dikutip al-Qadhi ‘Iyadh dalam Tartibul Madarik,
I/31. Rabi’ah disini adalah Ibnu Abi ‘Abdurrahman Farrukh, dikenal sebagai Rabi’ah
ar-Ra’yu, salah seorang guru terawal Malik bin Anas.
[10] Faidhul Qadir, I/224, riwayat no. 310.
[11] Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi, no. 1015.
[12] At-Ta’rifaat, hal. 221.
[13] Imam asy-Syafi’i berkata, “Ilmu itu bukan apa yang
dihafalkan, akan tetapi apa yang bermanfaat.” [lihat: al-Adab asy-Syar’iyah,
II/116; juga Bustanul ‘Arifin, hal. 10].
[14] Allah berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh
itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit.” [QS
al-Isra’: 85].
[15] QS al-An’am: 82 dan Luqman: 13.
[16] Riwayat Ibnu Abi Khaytsamah, Kitabul ‘Ilmi, no. 51.
[17] Jean-Jacques Rousseau, Intelektual yang Bukan Teladan,
oleh Suryanto; dalam Jurnal Islamia, Thn I, No. 2, Juni-Agustus 2004; hal.
93-103.
[18] Salah satunya adalah Ma’alimul Qurbah fi Thalabil Hisbah, karya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin
Abi Zaid, al-Qurasyi, asy-Syafi’i, Dhiya’uddin, al-muhaddits, atau lebih
dikenal sebagai Ibnul Ukhuwwah. Beliau lahir tahun 648 H (1250 M) dan meninggal
tanggal 02 Rajab 729 H.